032.
“Eh, kalian abis ini mau langsung pada pulang apa gimana?” tanya Yudha setelah akhirnya mereka berlima menyelesaikan permainan 2 jam badmintonnya itu di satu lapangan.
Permainan kali ini rasanya lebih terasa lelah karena pemainnya hanya lima dan gantian waktunya terasa cepat sekali, jadi 2 jam terasa melelahkan untuk kelimanya.
“Gue sih bebas, lagi free juga gue.” jawab Jovan dan diikuti anggukan oleh Jeve, Aksa, dan Tarendra.
“Roti bakar belokan deket lapangan yuk, kayaknya enak deh roti bakarnya, rame terus gue liat kalau lewat situ.” saran Jeve setelah ia mengingat kalau ada satu tempat makan di dekat lapangan yang selalu ramai. Ditambah dirinya juga ingin roti bakar saat ini. Sedangkan Yudha mengambil ponselnya yang tadi ia taruh di ransel yang ia bawa.
Yudha membuka ponselnya lalu melihat dirinya menerima beberapa panggilan tak terjawab dan sebuah pesan, mengatakan kalau malam ini ia ada job dadakan di sebuah club.
“Duh, gue baru aja dikabarin sama senior gue ini dapet kerjaan dadakan, gue gak bisa ikut kalau pergi lagi, lu pada mau ngikut gue atau mau ke roti bakar aja?” ucap Yudha membuat Aksa dan Tarendra bingung karena memang keduanya juga tidak tahu pekerjaan Yudha itu apa dan tiba-tiba saja diajak ke kerjaan Yudha.
“Dia DJ, jadi kerjaannya emang malem. Cuma, kalau kalian gak biasa ke club, kita ke roti bakar aja, makan lah laper juga nih.” Jeve yang paham dengan situasi dan mimik wajah Tarendra dan Aksa yang bingung akhirnya membantu menjelaskan apa pekerjaan Yudha membuat Tarendra dan Aksa.
“Iya roti bakar aja, kalian pasti gak pernah ke club juga kan, mending nggak usah. Biarin aja Yudha udah gede nggak perlu ditemenin.” lanjut Jovan sambil meledeki Yudha membuat Yudha melemparkan handuk kecilnya ke arah Jovan.
“Bilang aja lu berdua mau double date setan.” kali ini Yudha yang meledeki Jovan ditambahan meledeki Jeve juga, membuat keduanya memberikan mata sinis milik keduanya ke arah Yudha. Apapula, double date?
Aksa mengangguk-angguk saja sedangkan Tarendra hanya diam karena sebetulnya ia juga lapar, sih.
“Boleh kak, ke roti bakar aja langsung, gue sama Tarendra juga nggak kemana-mana sih.” jawab Aksa membuat Tarendra mengangguk, ia lapar juga.
“Yaudah, Jev, minjem motor lu dong, lu bareng Jovan dulu aja, gue kan nggak bawa motor sekarang.” Yudha berdiri sambil menepuk celana pendeknya dari debu-debu lapangan yang baru saja ia duduki lalu Jeve melemparkan kunci motornya ke arah Yudha, mereka memang sudah sedekat itu, saling meminjam motor sudah biasa.
“Gue cabut duluan ya, guys.” pamit Yudha lalu meninggalkan Jovan, Jeve, Tarendra, dan Aksa, keempatnya hanya melambaikan tangan ke arah Yudha yang tak lama kemudian sudah hilang dari balik pintu lapangan.
“Sa, bawa motor?” tanya Jeve setelah Yudha menghilang dari balik pintu dan dijawabi anggukan dari Aksa.
“Motor lo gue bawa, Tarendra bareng sama Jovan gimana ke roti bakarnya?” ucapan Jeve membuat Aksa diam-diam tertawa kecil dalam hatinya lalu lihat-lihatan dengan Tarendra, sedangkan Tarendra sudah melototi Aksa, ia tahu apa yang di dalam pikirannya Aksa.
Tarendra mengangguk, menerima saja, ia tahu diri, yang sedang dekat itu kan Jeve dan Aksa, masa Tarendra dengan tidak tahu diri minta dibonceng oleh Jeve?
“Iya kak, gapapa, aman aja. Gue bareng kak Jovan.” final Tarendra sedangkan Jovan mengangguk-angguk saja, terserah apa kata Jeve.
“Yaudah yuk, siap-siap kita langsung ke tempat roti bakarnya aja.” ajak Jeve membuat ketiganya mengangguk dan berdiri dari duduknya di lapangan sambil menepuk celana masing-masing.
Butuh beberapa menit keempatnya merapihkan barang-barang yang mereka bawa, tidak terlalu banyak sih karena hari ini juga tidak ada yang membawa mobil, biasanya Tarendra dan Aksa akan membawa lumayan banyak barang karena ada Winan yang membawa mobil. Jadi hari ini, Tarendra dan Aksa hanya membawa barang-barang penting yang pasti kunci motor milik Aksa, tempat minum dan uang.
Sesampainya Tarendra di depan motor berwarna kuning milik Jovan, Tarendra terdiam karena ia tidak pernah menaiki motor seperti ini, bagaimana pula naik motor milik Jovan ini.
“Bisa nggak naiknya, Tarendra?” tanya Jovan melihat Tarendra hanya diam di samping motornya ketika Jovan sudah naik ke motornya sedangkan Jeve dan Aksa sudah menunggu dengan motor milik Aksa di depan keduanya.
Tarendra menggaruk tengkuknya yang tidak gatal itu, “Gimana caranya, Kak?”
Jovan tertawa kecil, maklum, jika ingin menaiki motornya memang harus diajarkan dahulu oleh si pemilik, makanya Chavian malas diboncengi oleh Jovan, karena motor Jovan susah sekali dinaiki, apalagi saat berkendara, yang dibonceng harus memegang erat atau bahkan memeluk sipengendara.
“Kakinya naik dulu ke footstep, terus pegang pundak gue buat naik, pelan-pelan aja, gue jagain motornya kok biar nggak jatuh.” instruksi Jovan membuat Tarendra mengangguk, mungkin Tarendra bisa saja berfikir kalau Jovan sedang mencari kesempatan dalam kesempitan, Tarendra harus memegang pundak Jovan, tapi setelah Tarendra pikir lagi, memang seperti itu cara naiknya kalau tidak kakinya akan kesakitan.
Setelah mendengar instruksi Jovan, Tarendra menaikkan kakinya ke footstep motor milik Jovan lalu tangannya memegang pundak Jovan dan akhirnya ia duduk di motor milik Jovan. Pandangan Tarendra terlihat sangat tinggi, baru pertama kali ini ia menaiki motor seperti ini.
“Sorry gue nggak bermaksud modus, tapi daripada lo jatuh, kalau naik motor gue harus pegangan gue, lo cukup pegang tas raket gue aja, gapapa.” ucap Jovan lagi setelahnya Jovan menyalakan motornya dan disambut dengan suara knalpot yang sangat berisik di kuping Tarendra membuat Tarendra tanpa aba-aba dan mau tidak mau memegang tas raket milik Jovan.
“LAMA BANGET WOI, UDAH BELOM BUSET” Teriak Aksa dari depan yang daritadi hanya menunggu dan melihat kearah Tarendra dan Jovan yang tidak kunjung menjalankan motornya itu.
Tarendra mengeluarkan kepalan tangannya lalu berteriak, “Sabar, anJINGGG” dan diakhiri teriakan terkejut karena tiba-tiba saja Jovan menggas motornya, hampir saja Tarendra jomplang sedangkan Jovan hanya tertawa kecil, lucu pikirnya.
“KAK JOVAN PELAN-PELAN ANJIR, KAGET GUE.” omel Tarendra sambil teriak karena benar-benar suara knalpot milik Jovan berisik sekali, ia harus berteriak.
“Lo nggak usah teriak-teriak, gue denger kok.” ucap Jovan sambil tertawa kecil membuka kaca helmnya dan menghadapkan badan ke arah Tarendra yang sedang memasang wajah sebal, ia kan jadi deg-degan, maksudnya deg-degan karena hampir saja jomplang di motor orang, kan nggak lucu.
“Duluan Jev, gue ngikut dari belakang.” ucap Jovan karena sejatinya memang Jovan selalu berada di belakang, selain agar teman-temannya tidak hilang, ia juga sadar motornya ia memiliki knalpot yang berisik.
Sudah hampir satu jam mereka berempat berbincang di tukang roti bakar ini, sudah berlalu-lalang banyak orang disekitar mereka, silih berganti orang disekitar tidak membuat keempatnya memiliki keinginan beranjak dari tempat duduknya.
Di hampir satu jam itu juga akhirnya Aksa memberitahukan pada Jovan kalau dirinya merupakan teman kecilnya dahulu, tetangganya dahulu membuat Jeve tertawa, memang dunia milik Jovan sesempit itu ternyata.
Di hampir satu jam itu juga akhirnya Tarendra dan Aksa mengetahui kalau sebenarnya Jovan sejak pertama kali ketemu sudah tahu kalau Aksa adalah Aksa tetangganya dahulu dan Tarendra adalah teman dekat tetangganya itu. Teman yang selalu mengunjungi rumah Aksa setiap kali Jovan melihat.
“Terus sekarang lo sibuk apa, Kak?” tanya Aksa pada Jovan karena yang Aksa tahu, Jovan saat ini adalah kepala rumah tangga di rumahnya. Itulah yang Aksa tangkap dari cerita Jovan sejak tadi setelah mereka membicarakan tentang masa tetanggaan dulu.
Kepindahan Jovan merupakan terakhir kalinya ia melihat sosok Papa dari hidupnya. Bukan, Papanya masih hidup, kok. Hanya saja, sosok Papa itu sudah pergi, entah kemana Jovan tidak perduli. Saat ini dirinya hanya sibuk untuk dirinya, Mamanya, dan adik satu-satunya.
“Gue sibuk foto aja sih, Sa. Nyokap juga di rumah terus adik gue si Zafira juga masih sekolah jadi mau gak mau gue sibuk cari kerjaan buat nafkahin nyokap dan adik gue sih.” mendengar penjelasan Jovan yang ternyata sesibuk itu hidupnya membuat Tarendra mengangguk-anggukan kepala. Jika ia menjadi Jovan, ia tidak tahu lagi kemana arah hidupnya, menjadi kepala keluarga di umur kepala 2 rasanya sulit, belum lagi harus menafkahi 2 orang di keluarganya itu, semuanya ia emban sendirian.
“Nyokap gue aja sih yang suka berisik di rumah, nanya terus kapan gue nikah kapan gue nikah, mana diem diem liat tabungan gue yang katanya udah siap buat nikah.” lanjut Jovan membuat Jeve tertawa, sedangkan Aksa dan Tarendra dari pertemuannya ini mengenal Jovan lebih dalam, lelaki tersebut ternyata suka sekali bercerita.
“Nyokap lo mau lo juga bahagia kali Jov, masa ngurusin nyokap lo dan adik lo terus, dia juga mau liat lo punya pacar lagi kali.” ucap Jeve yang mengenal Jovan karena ia tahu, sepekerja keras apa Jovan untuk menafkahi Mama dan Adiknya itu.
“Lo lebih pilih kerja jadi fotografer dibanding kerja kantoran apa gimana, Kak?” tanya Aksa karena ia juga sedikit tertarik dengan pembahasan ini, rasanya dunia ternyata luas juga, banyak banget hal yang bisa dipilih dan nggak semuanya harus sesuai dengan tata nilai dunia yang entah siapa yang menilainya itu.
Jovan menggedikkan bahunya, “Gue pernah kerja kantoran kok, cuma banyak banget dramanya anjir. Kayak, lo pada tau nggak sih yang suka ada di drama drama tentang kantor, itu beneran kejadian di kantor gue yang lama, selingkuh sama temen sekantor, terus juga macem-macem lah. Stress emang kantor lama gue.”
Dan di hampir dua jam itu, Jovan bercerita mengenai kantor lamanya yang isinya penuh dengan drama, Jeve tahu cerita tentang itu dan memang Jeve yang menyuruh Jovan bercerita lebih dalam tentang drama kantornya, karena menurut Jeve cerita Jovan itu selalu lucu.
“Kalian tahun depan skripsian kan ya?” tanya Jeve setelah selesai dengan cerita milik Jovan, seingat Jeve seharusnya Tarendra dan Aksa sudah mulai menggarap skripsi mereka tahun depan karena umur mereka tidak terlalu jauh.
Tarendra dan Aksa mengangguk, “Minta saran dong kak, gimana ya menghadapi skripsi.”
Jeve tertawa kecil mendengar ucapan Aksa, Jeve juga baru saja lulus kok, walau telat hampir dua semester karena ia sibuk dengan pekerjaannya sebagai model itu.
“Dikerjain aja sih, Sa. Nanti juga selesai.”
“Yaiya dikerjain lah Kak, kalau nggak dikerjain nggak selesai dong namanya.” sambung Aksa sebal sedangkan Tarendra hanya tertawa.
“Gue mau ngasih saran tapi gue nggak kuliah, jadi nggak tau rasanya ngerjain skripsi lagi, cuma tau rasanya cari duit capek banget, cari kerja capek banget.” ucap Jovan membuat Tarendra kembali penasaran, ternyata hidup Jovan banyak sekali ceritanya ya, bagi dirinya.
“Kenapa milih nggak kuliah Kak?” sekarang Tarendra yang bertanya pada Jovan.
“Karena gue nggak ada dana buat lanjut kuliah, gue lebih mikirin gimana nyokap dan adik gue hidup kalau gue gak kerja nyari uang buat mereka hidup kedepannya. Waktu itu nenek gue mau bayarin gue kuliah, tapi gue tolak, lulus SMK gue mau langsung cari kerja aja biar bisa bantu keuangan keluarga gue.” jawab Jovan, Jeve yang tahu alasan Jovan tidak kuliah hanya mengangguk.
Sedangkan Tarendra dan Aksa juga ikut mengangguk mendengar jawaban dari Jovan.
Tarendra tidak banyak tahu rasanya gimana mencari uang apalagi cari kerja, semuanya masih dibiayai oleh kedua orang tuanya, bahkan kuliahnya saat ini masih dibiayai oleh kedua orang tuanya, apa yang dimau Tarendra masih diberikan oleh kedua orang tuanya.
@roseschies, 2025.