Feelings

A Johnten Oneshot

700+words


Hari ini, kamar milik Ten menjadi tempat untuk Johnny dan Ten menghabiskan waktu berdua. Hanya ditemani dengan sebuah kipas angin juga teh hangat yang baru saja Johnny buatkan untuk keduanya. Ten menidurkan kepalanya tepat di paha milik Johnny sedangkan Johnny mendudukkan dirinya di lantai yang sudah beralaskan karpet halus milik Ten.

Dengan pelan, Johnny mengelus rambut milik Ten yang terasa lebih halus dibanding dengan rambutnya, juga wangi rambut milik Ten menyeruak menyapa indera penciuman milik Johnny. Manis.

“Jo, kamu bahagia nggak?” Tanya Ten tiba-tiba membuat Johnny memberhentikan sejenak elusan tangannya di rambut milik Ten.

Johnny tersenyum kecil kemudian mengangguk, “Bahagia,”

Ten menatap kedua bola mata milik Johnny yang juga sedang menatap wajahnya dengan tatapan yang sangat teduh, “Bahagia itu, rasanya gimana Jo?”

“Rasa bahagia itu susah buat didefinisiin. Tapi aku tau, aku bahagia kalau ada kamu di samping aku. Aku bahagia kalau kamu ada di sini sama aku.” Jawab Johnny seadanya, karena sebenarnya Johnny juga tidak bisa menjelaskan rasa bahagia. Tetapi Johnny tau, arti bahagia baginya adalah di mana ketika Johnny berada di sebelah Ten dan Ten berada di sebelah dirinya.

“Kenapa kamu tau kalau kamu bahagia? Kan kamu juga nggak tau bahagia itu kayak gimana, sedih itu kayak gimana?”

Johnny tersenyum mendengar ucapan Ten kemudian Johnny memajukan tubuhnya untuk mencium kening milik Ten membuat Ten merasakan sesuatu yang bergejolak dalam tubuhnya, jantungnya sedikit berpacu lebih cepat dari sebelumnya yang terasa sedikit lebih tenang.

“Gimana?” Tanya Johnny.

Ten terdiam, kedua matanya berkedip seperti anak kecil yang bingung terhadap sesuatu.

“Hm? Jantungku nggak karuan?” Ucap Ten terlampau polos dengan mata yang masih berkedip sambil menatap wajah Johnny yang sedang terkekeh gemas.

“Gemas banget sih kamu.” Ucap Johnny kemudian mencubit pelan hidung milik Ten.

“Terus kalau itu kenapa Jo? Aku nggak sakit jantung kan? Aku baik baik aja kan?” Mendengar ucapan yang dilontarkan Ten membuat Johnny semakin tertawa, lelaki itu sangat gemas melihat kekasihnya yang sedang bingung dengan perasaannya sendiri.

“Itu kamu namanya lagi salah tingkah aku cium. Kamu suka dan senang aku cium keningnya, sayang.” Ucap Johnny sambil mengelus kembali rambut halus milik Ten sedangkan Ten hanya mengangguk-anggukkan kepalanya dan mencatat hal tersebut di dalam otaknya.

Jadi, dia juga selama ini bahagia ya kalau di samping Johnny? Karena, jantungnya selalu nggak karuan ketika dirinya berada di sebelah lelaki tinggi ini.

Kemudian suasana di sekitar keduanya kembali hening, hanya ada suara kipas angin yang mengisi indera pendengaran keduanya.

“Jo,”

“Iya, sayang?”

“Aku boleh nangis ngga?”

Pertanyaan yang baru saja dilontarkan Ten membuat Johnny terdiam kemudian kembali dengan kegiatan mengelus rambut halus milik Ten.

“Ya boleh dong sayang. Semua manusia di muka bumi ini, boleh nangis. Kamu pun kalau ngerasa sedih, nangis juga engga apa-apa.”

Ten menganggukkan kepalanya, “Oohh.. Sedih itu, gimana?”

Johnny sedih bingung harus jawab bagaimana, namun Johnny kembali ingat bagaimana reaksi Ten ketika ia ditinggalkan oleh kedua orang tuanya, lelaki itu tidak menangis juga tidak mengeluarkan ekspresi apapun. Tetapi Johnny tau, mata tidak pernah bisa bohong. Ten merasa kehilangan, sangat kehilangan. Hanya saja, lelaki itu tidak tau rasa itu rasa apa dan bagaimana cara dirinya mengeluarkan perasaan yang tidak enak di dalam dirinya itu. Ten, tidak mengerti juga tidak ada yang memberitahu pada dirinya.

“Aku pernah ngerasain rasa nggak enak,” Ten tiba-tiba mengeluarkan suara lagi ditengah-tengah sunyi jeda pertanyaan yang baru saja dilontarkan oleh dirinya.

“Itu ketika Johnny pergi dua hari tanpa kabar. Rasanya gelisah? Tapi aku nggak tau itu gelisah atau bukan, tapi sekujur tubuh aku nggak enak rasanya. Jadi aku cuma diem? Aku bengong, aku nggak tau harus apa. Itu, sedih bukan? Aku waktu itu mau nangis, tapi aku nggak bisa nangis. Aku takut, aku cowok, kenapa aku nangis? Aku kuat, kan ya?”

Johnny tak berhenti mengelus rambut halus milik Ten, “Sayang, nangis bukan berarti lemah, nahan nangis juga bukan berarti kamu kuat. Biarkan semua yang kamu rasain keluar dari diri kamu sendiri. Kamu berhak nangis, kamu nggak lemah. Kamu kuat karena diri kamu sendiri itu memang kuat bukan berakaku karena kamu nggak nangis. Bukan sayang. Kamu berhak ngeluarin semua emosi yang ada di dalam diri kamu sendiri. Orang-orang nggak tau apa yang kamu rasain, tapi kamu tau, kamu lebih tau tentang diri kamu sendiri, tentang apa yang kamu rasain. Bahagia, sedih, marah, semuanya, kamu lebih paham dan orang lain nggak tau tentang hal itu, nggak ada alasan buat mereka bisa nge-judge kamu karena kamu lebih tau tentang itu.”

Ketika Ten akhirnya memahami sebuah rasa dan emosi yang ada di dalam dirinya, tanpa Ten ketahui malam itu menjadi malam terakhir keduanya bercengkrama, juga menjadi malam terakhir Ten menidurkan kepalanya di paha milik Johnny. Sebab, keesokan harinya, Johnny memilih pergi meninggalkan semua, meninggalkan Ten.

“Johnny, ini rasanya sedih, ya? Johnny, aku nangis, engga apa-apa kan? Johnny, aku sayang sama kamu. Aku, harus apa, Johnny?”


@roseschies