Florist

A Johnten oneshot by roseschies


Pagi ini menjadi pagi yang sama seperti pagi pagi lainnya, toko yang diisi dengan suara omelan Ten pada Dejun dan Kun yang berusaha untuk jadi penengah antara kedua manusia yang sedang adu mulut itu.

“Jun gue kan udah bilang hari ini dateng lebih pagi. Jam 7 bukan jam setengah 8. Lo dengerin gue gak sih?!” Tanya Ten sambil sibuk mengeluarkan beberapa pot bunga untuk dijadikan display di luar toko untuk mempercantik toko ini.

Dejun yang sedang meletakkan tasnya lalu buru-buru memakai celemek untuk menutupi pakaiannya supaya tidak kotor terkena tanah dari pot bunga atau tumbuhan yang ada di sini ketika ia sedang memindahkan pot hanya bisa menjawab dampratan Ten yang juga sama sibuknya, “Gue dengerin sumpah Kak, tapi gue dipaksa Hendery buat sarapan dulu, tadi gue kesiangan bangunnya, kalau gue nggak sarapan dulu yang ada gue kena semprot Hendery juga.”

“Ya lo udah tau mau masuk lebih pagi kenapa tidurnya malem malem! Paling si Hendery juga nih yang bikin lama, emang tuh manusia sebiji bikin pala gue mumet aja kerjaannya.” Ucap Ten kali ini Hendery menjadi sasaran omelan Ten, padahal orangnya saja tidak ada, karena setelah mengantar Dejun ke toko, Hendery langsung menancapkan gas menuju kampunys. Selain ada kelas, ia juga menghindari semprotan Ten. Apapun alasan Dejun telat, Hendery adalah sasaran empuk bagi Ten.

“Udah Ten, yang penting Dejun udah sampai di toko dengan selamat.” Giliran Kun yang selalu menjadi penengah antara Ten dan Dejun.

“Jun, ini antar bucket bunga yang ini ke alamat ini, sama yang lebih gede satu ini ke alamat yang ini ya. Agak cepet ya Jun, udah ditunggu soalnya.” Ucap Kun sambil memberi kertas berisi alamat dan menunjuk dua bungkusan berisi bucket bunga yang akan dikirim oleh Dejun.

Dejun memang memiliki tanggung jawab sebagai delivery di toko ini. Maka dari itu, Ten selalu mengomel ketika Dejun telat, karena pelanggan yang sudah reservasi untuk dikirim pagi hari akan menunggu lebih dari perkiraan yang sudah Ten beri pada sang pelanggan.

Tanpa babibu, Dejun langsung mengangguk paham dan mengambil dua bungkusan tersebut lalu pergi menuju motor delivery yang sudah terparkir rapi di depan toko.

“Duduk dulu Ten. Kita hari ini open jam 8 lebih kan. Ini masih setengah delapan.” Pinta Kun pada Ten yang saat ini masih sibuk memindahkan beberapa pot bunga pada tempatnya masing-masing sebelum closing tiap malam.

Ten mengangguk patuh pada Kun, “Gue kayaknya galak banget ya Kun sama Dejun tadi? Sorry deh, abisan gue gak enak udah janji sama pelanggan mau antar lebih pagi. Takutnya dia butuh banget.”

Kun menggeleng, “Nggak kok. Wajar lo marah karena Dejun juga tadi telat dari waktu yang udah diomongin semalam. Mungkin juga semalam Dejun telat tidur karena sibuk ngerekap akhir bulanan, Ten.”

Ten lupa, semalam memang mereka bertiga sibuk merekap akhir bulanan pembelian bunga pada bulan ini dan bagian Dejun memang agak sedikit banyak dibanding dirinya dan Kun.

“Oh iya ya Kun, gue lupa banget. Duh, jadi merasa bersalah gue Kun.”

Kun tertawa kecil, memang selalu seperti ini ketika Ten dan Dejun adu mulut pasti berujung Ten selalu merasa bersalah. Meskipun begitu, besoknya akan diulangi lagi dan terus begitu.

Heaven's florist. Toko bunga yang saat ini menjadi tempat di mana Ten, Dejun, dan Kun bekerja mencari uang.

Sebenarnya, toko bunga ini pada awalnya dirintis dan dibesari oleh Irene, kakak satu-satunya Ten. Namun, setelah Irene menikah bersama Suho, Irene memutuskan untuk memberikan toko bunga ini pada Ten agar Ten meneruskan dan mengurus toko bunga yang sudah Irene besarkan bersama kedua staff setia toko bunga ini, Dejun dan Kun.

Faktanya memang Kun dan Dejun lebih lama bekerja di toko bunga ini, tetapi bagaimanapun juga Ten adalah atasan mereka berdua. Tetapi, rasanya aneh ketika Kun dan Dejun melihat Ten sebagai atasan, pun Ten rasanya aneh untuk melihat dirinya sebagai atasan Dejun dan Ten.

Pada awalnya memang Ten menolak karena ia sangat malas harus menjaga dan meneruskan toko bunga tersebut. Tetapi lama kelamaan Ten terbiasa juga enjoy karena dirinya bertemu Dejun dan Kun meskipun keduanya selalu menjadi bahan bahan omelan Ten, terutama Dejun. Bukannya Dejun sering telat tetapi karena kekasih Dejun yang bernama Hendery itu selalu merecoki Dejun di toko (tidak termasuk jam istirahat dan jam pulang) dan berujung Kun selalu menjadi penengah bersama Dejun sebelum pada akhirnya Hendery kena gebuk sapu oleh Ten.

Jam 8 lebih 10, teng! Kun membalikkan tanda close menjadi open kemudian dirinya kembali menuju kasir untuk duduk sembari menunggu pelantggan datang walau sekedar melihat-lihat bunga yang ada di display sedangkan bagian Ten adalah menjelaskan bunga-bunga yang ada ketika pelanggan bertanya juga sesekali Ten menyiram beberapa pot.

“Hari ini ada yang janji mau pick-up nggak Kun?” Tanya Ten sambil memerhatikan beberapa bunga yang ada, memastikan bahwa bunga yang dijual oleh tokonya itu bunga kualitas paling bagus dan tidak layu apalagi terkena semut semut tidak jelas yang tiba-tiba sudah menggantung di kelopak atau batang bunga.

Mendengar Ten bertanya, Kun langsung mencari buku yang berisi janji-janji yang sudah ditulis oleh Kun setiap ia menerima telepon dari pelanggan, kemudian Kun menggeleng, “Nggak ada Ten, hari ini cuma ada delivery yang dua tadi sama delivery nanti siang jam 1 an.”

Ten mengangguk lalu teringat jam yang ditentukan adalah jam setelah istirahat siang yang dipastikan Hendery akan datang untuk bertemu sapa dengan Dejun membuat Ten sudah waspada terlebih dahulu, “Awas aja si Hendery ngerecokin si Dejun.”

Kun hanya tertawa mendengar ucapan Ten, “Ten, dendam banget sama Hendery.”

“Ya abisan! Itu manusia suka banget recokin anak gue. Dih, ganteng kali dia.” Ucap Ten sambil memikirkan betapa menyebalkan wajah Hendery ketika menggoda Dejun, menyebalkan.

Kun tertawa lagi, “Lo belum ngerasain jadi budak cinta aja sih, Ten. Mana tau nanti lo kayak Hendery sama Dejun juga.”

“Dih, ogah gue Kun.”

“Btw Kun, tadi gue udah nyiram pot yang luar belum ya?” Tanya Ten pada Kun membuat Kun menggeleng karena seingatnya tadi Ten belum menyiram pot depan setelah Ten menaruh pot-pot tersebut sambil memarahi Dejun yang telat.

Ten langsung beranjak dari tempat duduknya lalu mengambil tempat untuk menyiram bunga-bunga tersebut yang membutuhkan air agar tetap bisa bernafas.


Pagi ini Johnny sedang mengitari komplek bersama dengan Yuta, hari ini keduanya sedang tidak ada kelas kuliah maka dari itu sejak pagi entah apa gerangan Yuta sudah meminta Johnny untuk menemaninya makan bubur di dekat pangkalan tempat biasa Johnny nongkrong.

Beberapa kali Johnny menyapa kawan satu tipenya dipinggir jalan lalu lanjut mendengarkan Yuta yang sedang berbicara. Meskipun Johnny ini merupakan preman yang lumayan terkenal di lingkungan sini, Yuta tidak merasa masalah berteman dengan Johnny. Walau begitu, Johnny tetap bisa memposisikan dirinya ketika dirinya sedang menjadi preman yang sebenarnya bukan preman juga, atau sedang menjadi seorang mahasiswa, atau terkadang menjadi orang biasa seperti saat ini.

Karena sebenarnya, Johnny hanyalah orang yang ingin membantu orang-orang sekitar yang memang harus ia bantu, bukan preman yang akan meresahkan warga seperti tawuran secara tiba-tiba, atau membakar mobil, misal. Lebih tepatnya, Johnny menjadi preman yang disayangi oleh lingkungan ini karena Johnny selalu menjaga ketertiban bagi lingkungan. Seperti, ketika tengah malam Johnny melihat ada perempuan jalan sendiri, maka Johnny akan senang hati menemani perempuan tersebut karena sejatinya orang-orang jahat di sekitar masih banyak sekali di sini.

Johnny memang kuliah, di kampus yang biasa saja sih, lagipula Johnny kuliah juga karena Papanya yang ingin dirinya tetap kuliah.

Menjadi preman? Papanya sama sekali tidak perduli dirinya ini mau jadi apa. Johnny hidup sendiri di Jakarta ini, paling dirinya hanya ditemani dengan Yuta dan Papanya sama sekali tidak menahu bahwa Johnny di sini menjadi preman-premanan.

Merokok dan minum? Tentu, sudah menjadi teman baik Johnny. Namun, lelaki itu masih paham dengan kadar yang masuk ke dalam tubuhnya. Kalau Papanya mengirim pesan pada dirinya, toh pertanyaannya hanya seputar kuliah.

Dan ya, Johnny pintar, kok. Setidaknya menurut dirinya dan juga menurut Yuta. Nilai yang didapat Johnny tidak jelek jelek amat, nggak ada yang D apalagi E, bagi Johnny itu aman.

Yuta terkadang takjub dengan Johnny. Johnny ini, orang yang sangat susah ditebak. Bagian luar ketika melihat Johnny pada pertama kali memang menyeramkan seperti preman pada umumnya yang suka menggodai perempuan secara sembarang, juga catcalling, dan lainnya. Tetapi ketika mengenal Johnny lebih dalam, Yuta yakin, Johnny ini adalah orang yang sangat baik.

Perjalanan menuju tukang bubur yang dimaksud memang memakan waktu lumayan lama karena tempatnya agak jauh dari kosan Johnny. Oh, mereka berdua juga memutuskan untuk berjalan kaki, sekalian olahraga kalau kata Yuta. Banyak gaya, kalau kata Johnny. Tetapi Johnny manut saja dengan Yuta. Benar juga, itung-itung olahraga pagi.

Jalan pagi keduanya hanya diisi oleh curhat curhit lebih tepatnya Yuta yang curhat tentang Jisung -adiknya Yuta, yang sekarang sudah lupa akan eksistensi dirinya (mungkin ini Yuta saja yang terlalu hiperbola) akibat Jisung terlalu banyak main dengan Chenle -kata Yuta dia adalah kekasih Jisung. Yuta memang sangat posesif dengan adiknya, padahal Jisung juga sudah besar kok.

“Makanya Yut, udah waktunya lo yang cari pacar, jangan ngintilin adek lo mulu.” Celetuk Johnny membuat Yuta semakin semangat untuk bercerita seakan Johnny sudah menyebut satu kunci utama yang ingin sekali Yuta ceritakan juga.

“Anjing tapi bener sih Jo, gue ngerasa juga kayaknya gue terlalu sayang sayangin Jisung banget. Ya gimana sih Jo, rasanya gue baru lihat Jisung lahir kemarin dah, eh anaknya udah gede aja. Mana dia cerita ke gue lagi kemarin abis di cium sama si Chenle, sialan.” Cibir Yuta membuat Johnny tertawa, memang dasarnya Jisung mudah sekali membuat Yuta ngamuk lalu menggodai kakaknya itu. Habis, ekspresi Yuta sangat lucu, setidaknya itu yang Johnny tahu dari Jisung. Maka dari itu, Jisung suka sekali menjahili kakaknya.

“Ngomong ngomong tentang gue cari pacar. Sebenernya ya Jo, gue lagi agak deket sama seseorang sih – “

Tiba-tiba saja saluran pendengaran Johnny terhadap cerita yang sedang berlangsung dari mulut Yuta terhenti ketika Johnny tidak sengaja melihat seseorang yang sedang menyiram bunga di depan toko bunga. Lelaki itu sangat serius menyiram bunga bunga tersebut lalu melihat satu persatu kelopak yang ada di sana, benar-benar definisi mencintai bunga sebegitunya. Namun, bukan bunga yang menjadi fokus Johnny. Tetapi, lelaki tersebut.

Entah Johnny yang sudah kehilangan fokus, Johnny membawa kakinya lurus menuju toko bunga tersebut ketika Yuta sudah membelokkan dirinya ke kanan karena jalur menuju tukang bubur memanglah jalur yang dipilih Yuta, bukan Johnny.

“Jo!”

“Johnny!”

“JOHNNY SUH WOI LO MAU KEMANA?!” Teriak Yuta lalu menarik tubuh Johnny yang langsung limbung ketika Yuta menarik tubuh tersebut yang seketika terasa kosong.

Yuta melihat arah mata Johnny yang sedang melihat dua orang lelaki yang sedang adu mulut, yang satu baru saja turun dari motor sedangkan yang satu sedang membawa tempat untuk menyiram bunga.

Johnny tiba-tiba tertawa dengan sendirinya membuat Yuta menatap Johnny horror karena lelaki itu tiba-tiba tertawa sendiri.

“Dasar orang gila, napa lo ketawa ketawa sendiri anjir.”

Johnny menggeleng lalu tersenyum kecil masih dengan pandangan yang tidak putus memandang lelaki yang saat ini sedang mendorong lelaki lainnya yang tadi baru saja turun dari motor kemudian menyeletuk dengan sendirinya, “Lucu.”

“Hah? Siapa lucu? Winwin lucu?” Tanya Yuta, ia masih bingung dengan topik yang dibawa oleh Johnny saat ini.

Johnny memutus pandangannya tadi karena lelaki itu sudah masuk ke dalam toko bunga lalu menghadap ke arah Yuta dengan dahi yang mengernyit, bingung.

“Winwin? Winwin siapa?”

“LO DENGERIN CERITA GUE GA SIH DARITADI?!” Decak Yuta, sebal dengan Johnny yang malah tidak tahu Winwin siapa, padahal daritadi Yuta mengoceh tentang Winwin, si adik tingkat Yuta yang sedang Yuta coba untuk dekati.

“Emang lo cerita apaaan Yut?” Dengan wajah tanpa dosa Johnny menjawab seperti itu pada Yuta membuat Yuta semakin jengkel dengan Johnny yang jiwanya entah kemana sejak tadi.

“GUE CERITA TENTANG GUE DAN MASA DEPAN GUE JOHNNY. Alah tau lah anjing pundung.” Ambek Yuta lalu meninggalkan Johnny dan jalan lebih dulu sedangkan Johnny langsung ikut jalan di sebelah Yuta yang sedang 'pundung' terhadap dirinya.

“Jelek lo, badan gede doang tapi pundungan,”

“Eh Yut, lo pernah beli bunga nggak?” Tanya Johnny tiba-tiba sekali membuat Yuta heran.

“Hah? Lo tiba-tiba napa nanya gitu dah Jo,”

“Kaga, gue ngidam bunga dah.”

Kali ini Yuta menatap Johnny semakin horror, aneh.

“Dih, aneh lo anjir.”

“Lo tuh nggak ngerti Yut,”

“APA YANG GUE GAK NGERTI? LO ANEH, JOHNNY SUH.”

“STOP TERIAK DI KUPING GUE NAKAMOTO YUTA.”

Beberapa orang yang sedang berlalu lalang olahraga pagi hanya menatap keduanya aneh.


Hari ini setelah beberapa hari Johnny selalu terbayang-bayang lelaki yang ia temu sedang menyiram bunga di depan toko bunga tempo lalu, akhirnya Johnny memutuskan untuk mendatangi toko bunga tersebut.

Di sinilah Johnny berada, di dalam toko bunga berdiri tepat di depan lelaki yang Johnny maksud. Sebenarnya Johnny tiadk begit paham dengan bunga, lagipula memang niat Johnny sejak awal bukan untuk membeli bunga, tetapi Johnny ingin bertemu dengan lelaki yang entah seorang pemilik atau hanya pekerja di toko bunga ini.

“Halo, Mas? Mau beli bunga yang mana ya Mas?” Berkali-kali juga Ten memanggil pelanggan yang sejak tadi haya berdiri di depannya, tidak berkutik juga tidak mengeluarkan sebuah pertanyaan.

Ten ini ketika dirinya sedang melihat seseorang, Ten akan melihati orang tersebut dari atas sampai bawah layaknya scanner ketika memasuki wilayah Mal.

Setelah Ten sadar dengan perawakan yang sedaritadi hanya di depannya itu merupakan seorang preman premanan yang memang sering berlalu lalang di lingkungan ini (yang katanya memang menjaga lingkungan ini sih, setidaknya itu yang ten pernah dengar) Ten langsung waswas, lalu Ten kembali bertanya pada lelaki tersebut yang masih saja diam tidak berkutik.

“Halo?” Sekali lagi, Ten sedikit meninggikan suaranya, namun Johnny tak kunjung juga kembali pada sadarnya.

Johnny hanya diam memandang Ten lurus, sedangkan Ten yang semakin waswas berakhir semakin meninggikan suaranya.

“Halo?! Lo mau ngapain di sini?! Mau nagih utang?! Gue gak punya utang, jangan berantakin toko gue!” Suara tinggi milik Ten mendadak masuk ke dalam indera pendengaran Johnny membuat Johnny kembali dalam sadarnya lalu berkedip beberapa kali guna memberi air matanya yang kian mengering.

Mendengar Ten yang sedikit membentak dirinya, Johnny hanya menggaruk tengkuknya yang tidak terasa gatal sama sekali, ia bingung. Tetapi sekon selanjutnya Johnny sadar, kali ini dia sedang menggunakan baju urakan ala premannya itu.

Dasar Johnny bodoh, pantas saja Ten waswas.

Johnny terkekeh guna memecahkan atmosfer canggung yang ada di sekitar keduanya, “Sorry sorry, gue bingung harus beli bunga apa.”

Ten menatap Johnny setengah menyelidiki lelaki yang perawakannya sedang seperti ala ala preman itu, “Lo beneran mau beli bunga apa nggak?”

Johnny mengangguk berkali-kali, “Beneran kok beneran. Ada rekomendasi nggak?”

“Buat siapa?” Setidaknya Ten harus mengetahui bunga yang akan dibeli untuk siapa dan untuk apa supaya rekomendasi yang diberi Ten akan sampai maksudnya pada seseorang yang akan diberi bunga.

Johnny sedikit berfikir sejenak, “Hmm, lo suka bunga apa?”

Mendengar pertanyaan yang dilontarkan untuknya, Ten sedikit terkejut, “Kok gue?”

“Ya siapa tau bunga yang lo suka juga ternyata gue suka juga.”

Ten hanya memutarkan bola matanya, dalam hati Ten menurut Ten lelaki yang ada di depannya ini sungguh tidak jelas.

Ten berjalan menuju sebuah pot yang sudah menanam bunga yang menjadi kesukaan Ten sejak dulu sedangkan Johnny mengikuti Ten dari belakang.

“Gue suka bunga ini, namanya bunga carnation.” Ucap Ten sambil memperlihatkan bunga bernama carnation pada Johnny.

Satu kalimat yang langsung muncul dalam benak Johnny.

“Cantik, kayak yang milih.” Gumam Johnny namun suara kecil gumanan itu dapat diterima oleh kuping milik Ten.

Ten hanya diam dan berusaha untuk tak peduli dengan gumaman tersebut.

“Gue mau ini deh, dibungkus yang rapi. Sama bisa nggak ya pakai surat gitu?” Ucap Johnny yang akhirnya memilih bunga kesukaan ten.

Ten mengangguk, “Bisa kok, ada additional addsnya. Jadi yang ini, ya?”

Johnny mengangguk membuat Ten mengambil bunga tersebut lalu mengajak Johnny menuju kasir untuk melanjutkan transaksi terakhir dan juga membicarakan additional adds yang akan Johnny tambahkan yaitu surat.

Karena hari ini Kun sedang menemani Dejun untuk antar beberapa pesanan yang lumayan banyak, jadi hari ini hanya Ten yang berdiam diri di toko, menjaga toko sendirian, melayani pelanggan sampai transaksi akhir yang biasa menjadi pekerjaan Kun.

Entah dewi fortuna sedang berpihak pada Johnny, tetapi hari ini benar-benar Johnny menjadi pelanggan yang dilayani oleh Ten dari awal hingga akhir.

“Namanya siapa Mas? Buat di surat butuh nama pengirim, nama penerima dan isi surat.” Ucap Ten sambil mengambil surat juga bolpoin untuk menulis di atas surat tersebut.

“Johnny.” Kemudian Ten menulis nama Johnny di bagian pengirim.

“Nama penerimanya siapa?”

“Nama lo siapa?”

Mendengar Johnny yang malah bertanya balik pada dirinya membuat Ten berhenti menulis lalu menatap Johnny bingung, “Hah?”

“Iya. Nama lo siapa?”

“Kok nama gue?”

Pertanyaannya tidak terjawab membuat Johnny akhirnya melihat ke arah nametag yang digunakan Ten.

Ten.

“Buat Ten.”

Lah, buat gue dong?, dalam hati Ten bergumam.

Ten hanya bisa menurut lalu nulis namanya sendiri pada kolom penerima.

“Terus isinya mau apa?”

“Hmm. Tulis aja, semoga bunga ini nggak minder ya, karena kalah cantik sama yang lagi mandangin bunga ini.” Ucap Johnny membuat Ten kembali berhenti menulis dan tanpa disadari pipi milik Ten memanas dan memerah mengingat tadi penerimanya adalah namanya sendiri.

“Oke...?” Tanpa basa basi, akhirnya Ten menulis isi surat yang sudah diucapkan oleh Johnny tadi, lalu memasukkan surat tersebut ke dalam bungkusan bunga dan memberikannya pada Johnny setelah Johnny selesai membayar.

Baru saja Johnny menerima bunga tersebut, namun bunga tersebut sudah diberikan kembali untuk Ten, “Ini kan buat lo, Ten?”

“Dalam rangka apa ya? Gue juga baru kenal sama lo? Oh, bahkan gue juga nggak kenal kenal lo banget?” Ucap Ten, dirinya bingung, ini ada apa sih?

“Kalau gitu, ayo kenalan. Nama gue Johnny Suh. Mungkin lo udah pernah tau gue ya? Hahaha, terserah lo mau ngeliat gue sebagai preman atau apa. Toh, memang itu identitas gue kok. Tenang aja, gue nggak akan apa tadi tuh, berantakin toko bunga lo? Hahaha, nggak kok, gue nggak begitu.” Lalu Johnny tersenyum hingga matanya membentuk bulan sabit.

Setidaknya Ten tahu, senyuman yang diberikan Johnny itu merupakan senyuman dari seseorang yang sangat tulus dan Ten tahu, Johnny orang baik tidak seperti penampilannya yang urakan ala preman-premanan.


Beberapa kali Johnny suka datang ke toko bunga, alibi membeli bunga untuk kakaknya, untuk orang tuanya, untuk sepupunya, padahal Johnny tinggal sendiri di Jakarta, sampai sampai kosannya itu sudah penuh dengan bunga dan berakhir Yuta juga menerima bucket bunga dari Johnny.

“Lo sepengen itu ketemu sama si Ten ten itu ya, Jo?” Tanya Yuta ketika dirinya kembali menerima bucket bunga.

“Lo tuh nggak paham, Yut.”

“Gue paham, lo gila, Johnny Suh.”

“Lo mending diem dan terima bunga itu, Nakamoto Yuta. Gue tau, beberapa bucket bunga yang gue kasih ke lo juga ujungnya lo kasih ke si Winwin Winwin itu kan?!”

Yuta hanya terkekeh, karena apa yang dibilang Johnny adalah fakta.

“Kalian berdua sama anehnya,” Celetuk Jisung ketika lewat ruang tamu sambil membawa minuman untuk ia bawa ke dalam kamar.

Jisung tidak salah juga sih.

Johnny memang sering datang ke toko bunga, tetapi Johnny tidak sesering itu bertemu dengan Ten, Johnny malah lebih sering bertemu dengan lelaki yang lebih tinggi dari Ten (bukan bermaksud ingin bilang Ten pendek) yang setiap Johnny datang mukanya seketika ingin menangis terbirit-birit, padahal Johnny sudah memasang muka seramah mungkin.

Tidak mungkinkan Johnny bertanya pada orang tersebut di mana Ten berada? Toh, mengingat lagi, Johnny juga tidak sedekat itu dengan Ten. Hanya beberapa kali mengobrol ketika Johnny tidak sengaja (yang sebenarnya disengaja) melewati toko bunga di pagi hari dan bertemu Ten yang sedang menyiram bunga di depan toko.

Ten yang mengetahui seberapa takut Kun ketika Kun bercerita dengan Ten dan Dejun saat closingan hanya tertawa mengingat ketika Johnny datang ke toko bunganya itu masih dengan tampilan urakan ala preman.

Hari ini, Johnny datang lagi, namun lagi-lagi keduanya tidak bertemu karena hari ini Ten sedikit sibuk di gudang belakang untuk melihat beberapa persediaan di sana. Ketika Ten kembali ke dalam toko, dirinya sudah di sambut dengan wajah Kun yang seperti ingin menangis terbirit-birit, yang sudah Ten pastikan Johnny baru saja datang lagi ke toko bunganya itu.

Ketika Johnny pergi dari toko, Ten mendekat ke arah Kun dan Dejun yang sedang duduk di depan meja kasir.

“Kenapa? Pada takut amat?” Tanya Ten, menimbrung dengan dua pegawainya.

“Itu, si preman yang waktu itu gue ceritain, datang lagi tadi, pas banget dia baru keluar.” Ucap Kun membuat Ten tertawa, ngakak sekali. Tangan Kun sampai keringat dingin.

Melihat Ten yang tertawa sebegitu lebarnya membuat Dejun memberanikan untuk bertanya pada Ten, “Lo nggak takut Kak? Itu dia preman yang biasa ada di lingkungan kita kan?”

Ten mengangguk, membenarkan pertanyaan Dejun.

“Gue nggak takut kok. Dia baik.”

Mendengar ucapan Ten membuat Dejun dan Kun sedikit melotot karena terkejut.

“KAK??”

“TEN??”

“Kenapa sih? Emang salah kalau gue mikir preman itu baik? Lagi nggak selamanya preman berbuat kriminal kali.”

“Tapi tampangnya cocok jadi orang kriminal, Ten.” Celetuk Kun membuat Ten tertawa.

“Iya juga sih,” Meskipun begitu, Ten menyetujui apa yang diucapkan Kun. Toh, pertama kali pertemuan mereka, Ten juga sempat waswas dengan keberadaan Johnny di dalam toko bunganya.

“Hati-hati kak,”

“Iya Dejunn.”

Setidaknya Ten tahu, kedua pegawainya ini mengkhawatirkan dirinya karena keduanya tahu, Ten dan Johnny terlihat dekat lebih dekat dari sekedar pelanggan dan pegawai toko bunga saja.


Satu minggu, dua minggu terlewati sampai pada akhirnya hari ini Johnny memberanikan diri untuk mengajak Ten makan malam di luar. Ini juga salah satu saran dari Yuta.

Tidak hanya itu, Yuta juga membantu Johnny untuk memilih pakaian yang digunakan malam ini agar lebih proper.

Johnny hanya mengajak Ten ke sebuah kedai, memang tidak terlalu mahal untuk setiap menu tetapi Ten tidak masalah ketika Johnny berbicara mengenai hal tersebut. Ketika Ten mendengar nama kedia yang Johnny maksud, Ten tahu, tempat tersebut memiliki makanan yang enak dan juga enak menjadi tempat tongkrongan. Dan Ten tidak masalah.

Setelah menghabiskan makanan dan minuman yang sudah keduanya pesan, keduanya tidak langsung beranjak dari tempat duduk masing-masing, rasanya keduanya masih ingin mengobrol lebih lama berdua, mengenal lebih dalam lagi.

“Lo nggak ngerokok?” Tanya Ten tiba-tiba karena sejak tadi Johnny hanya diam dan menatap ke beberapa orang yang ada di sekitar, tentu orang orang tersebut sedang merokok.

Johnny mengangguk, “Sahabat gue itu rokok. Kenapa, Ten?”

“Kok lo nggak ngerokok sekarang?”

“Gapapa sih. Gaenak ada lo, takutnya lo nggak bisa nyium asap rokok.”

Mendengar jawaban Johnny membuat Ten sadar, pantas saja sejak tadi Ten melihat Johnny seperti sedang memakan permen, ternyata itu alasannya. Ten jadi salah tingkah sedikit. Rasanya baru kali ini ada seseorang yang benar-benar memerhatikan eksistensi dirinya sampai memikirkan sedemikian rupa dan orang itu adalah Johnny.

Ten tertawa, “Gapapa Jo. Gue juga kadang suka ngerokok sedikit, kalau lagi stress aja sih.”

“Hahaha, gapapa Ten. Gue juga masih bisa tahan kok. Kita hirup udara segar tanpa kebulan asap rokok dulu aja.” Ucap Johnny kemudian meneguk air mineral yang menjadi pesanan tambahan Johnny lalu membuka kembali sebungkus permen sebagai pengganti pemanis mulutnya.

Entah kenapa Ten semakin penasaran dengan Johnny dan hidupnya sebagai preman-premanan itu.

“Lo minum juga Jo?”

Johnny mengangguk, “Iya, cuma nggak sesering itu. Kadang suka ditawarin sama anak-anak lain kalau lagi nongkrong.”

Ten mengangguk paham.

Belum juga Ten sempat mengeluarkan suara, Johnny lebih dulu membuka mulutnya, “Lingkungan gue emang nggak sebait itu Ten. Sorry.”

Ten tersenyum kecil, “No need to say sorry, Johnny.”

Johnny membalasa senyuman Ten, dalam hati ia berterima kasih Ten ingin melupakan fakta bahwa dirinya adalah preman urakan yang suka merokok, minum alkohol dan hidup dalam lingkungan yang tidak baik.

“Boleh nggak gue nanya sesuatu sama lo, Ten?” Tanya Johnny tiba-tiba membuat Ten mengangguk.

“Kenapa lo masih mau diajak kesana kemari sama gue?”

Ten terseyum, “Karena gue percaya, lo orang baik Johnny.”

“Thanks, Ten.”

Setelahnya Johnny dan Ten banyak mengobrol tentang dirinya masing-masing, tentang Johnny yang ternyata juga mengambil kuliah, tentang Ten dan toko bunganya, juga tentang Ten ketika pertama kali bertemu Johnny di dalam toko bunganya sewaktu dirinya jaga sendirian tanpa Kun dan Dejun.

Malam semakin larut dan akhirnya Ten dan Johnny memutuskan untuk pulang. Beberapa kali Ten menolak untuk diantar sampai rumah dengan Johnny. Tetapi yang bernama Johnny Suh itu sedikit keras kepala dan berakhir Ten menurut saja dengan Johnny.

Sesampainya Ten dan Johnny di depan rumah Ten, Ten kembali berterima kasih pada Johnny krena sudah mengajaknya jalan jalan malam ini juga sudah mengantarkan dirinya sampai di depan rumah.

“Santai aja, Ten. Makasih juga udah mau nerima ajakan gue. Good night?”

Ten tersenyum kecil, “Good night, Johnny.”

Lalu Ten menutup pagar rumahnya dan masuk ke dalam rumah meninggalkan Johnny yang sudah ingin terbang sampai langit kesekian, akibat rasa senangnya yang tidak bisa dihitung lagi seberapa senang malam ini untuk Johnny.

Tanpa Johnny sadari, sejak diperempatan ketika keduanya keluar dari kedai, ada seseorang yang mengikuti keduanya dan mulai menandai sosok Ten yang berdiri di sebelah Johnny.

Ten senyum sendiri di belakang pintu ketika dirinya menutup pintu rumahnya, lalu tangannya ia bawa untuk memegang pipinya yang kian memanas, rasa aneh menjalar pada tubuhnya, Ten merasa aneh pada dirinya sendiri dan itu semua berkat Johnny.

Semua perlakuan juga ucapan yang keluar dari Johnny membuat Ten merasa lebih dihargai.

Irene yang tiba-tiba muncul kemudian memergoki Ten yang sedang malu malu di belakang pintu. “Hayo, tadi pulang diantar siapa, dek?”

Mendengar suara Irene membuat Ten terlonjak kaget, “Kak!”

Irene tertawa, “Kenapa sih dek? Kaget banget begitu hahaha.”

“Kak Irene ngapain di rumah?”

“Loh, emang Kak Irene nggak boleh dateng ke rumah Ten?”

“Y-yaa, boleh boleh aja. Kak Suho ikut juga?”

Baru saja orangnya ditanya oleh Ten, Suho sudah ikut menongolkan kehadirannya di belakang Irene, “Ya ikut dong, Ten.”

“Kak Irene sama Kak Suho tumben ke sini?”

“Katanya Irene kangen sama adeknya yang namanya Ten Lee.” Ucap Suho membuat Irene mencubit lengan Suho karena sudah ember pada adiknya itu.

Irene kemudian mengajak Ten untuk duduk di ruang tamu sedangkan Suho sudah mengikuti Irene dari belakang dan Ten hanya manut lalu duduk di sebelah Irene.

Ten tahu, pasti sejak tadi sebenarnya Irene sudah melihat dirinya yang diantar Johnny.

“Dari mana, dek?” Tanya Irene pada Ten tanpa basa basi.

“Makan malem di kedai Dream, Kak.”

Irene mengangguk, “Bareng yang nganter tadi ya?”

Ten mengangguk.

“Berdua aja?”

Ten mengangguk lagi.

“Hati-hati dek. Kak Irene tau dia siapa. Dia itu preman yang suka nongkrong di deket lingkungan sini kan? Kok Ten bisa deket sama dia?”

Suho yang melihat Irene mulai bawel karena khawatir pada Ten langsung mengelus pundak Irene untuk pelan pelan memberitahu pada Ten.

Ten hanya diam, ketika teman-temannya berbicara seperti ini, Ten akan dengan tegas bilang bahwa Johnny itu orang baik, tetapi ketika kakaknya sendiri yang berbicara, maka Ten hanya bisa diam.

“Lingkungan preman itu nggak bener, Ten. Ten pasti tau kan?”

“Gimana kalau orang-orang yang nggak suka sama preman itu tau kalau Ten teman dekatnya dia dan Ten yang diincar.” Lanjut Irene mengeluarkan pemikiran khawatirnya itu terhadap Ten. Sebenarnya alasan kenapa Irene datang ke rumah karena ia sudah melihat dari CCTV yang ada di toko bunga, makanya Irene ingin memastikan dengan mata kepalanya sendiri secara langsung dan berbicara pada Ten.

“Johnny emang dari luar keliatan kayak anak nggak bener Kak. Ten juga tau, Johnny itu preman. Tapi Ten tau kalau Johnny itu baik, baik banget setidaknya Johnny nggak pernah macem macecm sama Ten dan bahkan Johnny jagain Ten dari bahaya, Kak.” Akhirnya Ten menggunakan mulutnya untuk membela Johnny.

“Tapi Ten, bisa aja sebenarnya si Johnny Johnny itu emang lagi nyari perhatian ten biar Ten percaya sama dia kalau dia itu orang baik. Ten-”

“Apa yang dibilang Ten bener, Irene. Apa yang dibilang Irene juga bener, Ten.” Ucap Suho sedikit memotong ucapan khawatir Irene pada Ten.

“Mungkin Ten nggak tau, tapi irene tau, Kakak juga mantan preman kok. Orang yang bareng sama Ten itu, tipe preman yang baik, seperti apa yang Ten baik. Tapi, kekhawatiran Irene juga nggak salah, karena pasti ada aja preman yang seperti itu dan nggak sedikit.” Ucap Suho sebagai penengah antara kakak beradik ini.

Irene memang tahu kalau Suho dulunya adalah preman, tetapi Irene nggak mau mengingat fakta tentang itu.

Tapi, lihat Suho sekarang, Suho baik baik saja kan dengan semuanya dan Irene juga percaya sama Suho. Padahal, pertemanan preman Suho sampai sekarang belum juga terputus kok.

“Kak, Ten tau, Kak Irene khawatir, tapi Ten bisa jaga diri Ten sendiri. Kak Irene nggak usah terlalu khawatir sama Ten. Kak Irene kan lagi hamil? Kak Irene harus happy biar janin kak Irene ikut happy.” Ucap Ten membuat Irene mengangguk lalu mengelus perutnya yang semakin membesar.

Irene akhirnya beranjak dari duduknya lalu menuju kamar karena dirinya sudah mulai mengantuk dan menyisakan Suho dan Ten di ruang tamu.

Suho mendekat ke arah Ten, “Ten, meskipun begitu, Ten harus tetap hati-hati ya? Orang jahat ada aja tetapi nggak semua orang juga jahat, yang baik pasti ada. Tinggal Ten aja yang pinter pinter jaga diri Ten. Irene lagi hamil, jadi banyak pikiran juga, Irene pasti pahamin Ten kok karena dulu kami berdua sama kayak Ten dan si preman itu. Pelan pelan, tapi Kakak tau, Irene pas setuju sama semua pilihan Ten. Ganti baju gih, dari luar kan?”

Ten tersenyum mendengar ucapan yang diucapkan oleh Suho, “Makasih Kak Suho, Ten ganti baju dulu ya. Tolong jagain Kak Irene ya, Kak.”

Suho mengangguk lalu keduanya beranjak dan masuk ke dalam kamar masing-masing.

Keesokan paginya, Ten berangkat sekitar jam delapan pagi karena hari ini toko buka jam setengah sembilan, memang khusus di hari Jumat.

Ten memang jarang membawa kendaraan pribadi, Ten lebih sering berjalan kaki dari rumahnya menuju toko sambil menghirup udara segar di pagi hari. Ketika malam, Ten biasanya meminta Kun untuk mengantarkannya ke rumah, karena kalau meminta Dejun, Dejun juga sama seperti dirinya, bedanya Dejun diantar jemput oleh kekasihnya yaitu Hendery.

Ketika Ten melewati gang yang terkenal sepi, tiba-tiba saja pipi Ten terasa ditonjok dari arah kanan oleh seseorang yang bahkan Ten tidak tahu siapa orang tersebut.

Tonjokan diarahkan sekali lagi dari arah kiri membuat pipi milik Ten saat ini terasa sakit kanan kiri, dan sekali lagi tonjokan diarahkan pada wajah Ten membuat bibirnya terasa nyerih dan Ten dapat merasakan anyir dari darah yang keluar di bibir Ten. Bibirnya luka akibat tonjokan terakhir yang terasa lebih keras daripada dua tonjokan sebelumnya.

“DI MANA JOHNNY?!” Tanya orang tersebut sambil membentak Ten yang sudah tersungkur di bawah jalan sana sedangkan orang tersebut berdiri di dekat Ten lalu menendang kaki Ten.

“Ngapain cari Koko?” Tanya Ten dengan intonasi suara lebih berani menandakan bahwa ia tidak takut dengan orang tersebut yang perawakannya seram dan besar. Ten tidak ciut, Ten tidak takut.

“Si Johnny Johnny itu udah macem-macem sama anak buah gue, dia udah nonjok anak buah gue sampai bonyok, KAYAK GINI!”

Buagh!

Satu tonjokan sekali lagi mengenai wajah milik Ten membuat bibir milik Ten yang tadi luka semakin terasa nyeri.

“Anak buah gue udah ditonjok sama Johnny sampai masuk rumah sakit! Dia juga harus kayak anak buah gue!” Lanjut orang tersebut membuat Ten melotot terkejut mendengar ucapan yang sudah dilontarkan oleh orang tersebut.

Johnny? Yang benar saja Johnny sudah menonjok seseorang sampai masuk rumah sakit?

“GUE GAK TAU JOHNNY DI MANA DAN JANGAN TANYA GUE!” Teriak ten tepat di depan wajah oarng tersebut lalu Ten menendang alat vital orang tersebut membuat orang tersebut tersungkur.

Tanpa Ten ketahui, orang tersebut membawa 2 orang anak buah lainnya yang sudah siap sedia di belakang sejak tadi lalu kembali menghabisi Ten yang hampir saja kabur dari jangkauan mereka.

Ten terus ditonjok oleh mereka sampai babak belur dan pingsan.

Ten mengerjapkan matanya, membiasakan cahaya yang masuk ke dalam jangkauan penglihatannya. Bibir, pipi, tulang hidung, rahang, dahinya, dan pinggangnya terasa sakit. Bibirnya yang luka akibat tonjokan terasa perih.

Ketika Ten akhirnya bisa melihat dengan jelas, pemandangan Ten kali ini adalah wajah panik Dejun dan Kun.

Kun membantu Ten untuk duduk sedangkan Kun sudah mengeluarkan berbagai pertanyaan yang langsung memadati indera pendengaran Ten.

“KENAPA BISA BABAK BELUR?!”

“SIAPA YANG NONJOKIN LO KAK?”

“APA SI PREMAN JOHNNY JOHNNY ITU YANG NONJOKIN LO?”

“Berisik, Jun.” Ucap Ten tanpa menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh Dejun.

Kun memberikan satu gelas air mineral dan membantu Ten untuk meneguk air tersebut karena Ten beberapa kali meringis akibat bibirnya yang seperti sobek terkena air.

“Makasih Kun.”

Ten memegang beberapa tempat yang ada di tubuhnya dan luka-luka Ten sudah diplester yang artinya luka Ten sudah diobati entah oleh Dejun atau Kun.

“Jadi itu kenapa, Ten?” Tanya Kun. Ten kembali membenarkan duduknya dan ingin memulai cerita.

Belum juga Ten membuka mulutnya, pintu toko sudah berbunyi tanda seseorang masuk ke dalam toko. Ten pikir seorang pelanggan atau yang lebih parahnya itu adalah Johnny. Tetapi ternyata yang masuk ke dalam toko adalah Irene dan Suho dengan wajah panik setengah mati yang tercetak di wajah Irene sedangkan Suho berusaha menenangkan Irene. Pasti Irene sudah melihat dari CCTV, belum lagi saat ini memang Irene dan Suho sedang ada di rumah Ten yang jaraknya lebih dekat ke toko daripada rumahnya yang memang jauh dari lingkungan ini.

Irene berkali-kali melihat ke arah wajah Ten yang babak belur dan melontarkan berbagai macam pertanyaan sampai pada akhirnya nama Johnny lagi lagi keluar dari mulut penanya membuat Ten terdiam.

Apa sebenarnya selama ini sebenarnya Johnny nggak sebaik itu? Apa yang dibicarakan orang tersebut tentang Johnny yang sudah menonjok seseorang hingga babak belur dan sampai masuk rumah sakit itu benar adanya? Kenapa dan hanya kenapa yang berputar di kepala Ten tentang kebenaran Johnny.

Pagi ini Ten tetap bersikukuh untuk tetap bekerja di toko membantu Dejun dan Kun, karena hari ini menjadi hari yang lumayan sibuk, beberapa orang sudah menjadwalkan untuk pick-up dan juga ada beberapa delivery membuat Dejun pasti membutuhkan bantuan Kun untuk mengantar bunga bunga tersebut agar bisa mengejar waktu.

Irene sudah berkali-kali meminta Ten untuk tetap beristirahat dan biarkan Irene yang menggantikan dirinya tetapi Ten tidak mau dan keras kepala krena Irene sedang mengandung maka dari itu Irene tidak boleh terlalu capek.

Dan di sinilah Ten, menjaga toko sendirian karena Kun sedang membantu Dejun untuk mengantarkan bucket bunga.

Terdengar suara pintu dibuka yang berarti ada seseorang masuk ke dalam toko membuat Ten mengangkat kepalanya dan tersenyu siap menyapa pelanggan, “Selamat dat- Pergi.”

Senyuman Ten seketika hilang ketika Ten melihat siapa yang baru saja masuk ke dalam tokonya, wajahnya berubah menjadi tanpa ekspresi dan menyuruh orang tersebut untuk pergi dari tokonya sekarang juga.

Johnny terkejut melihat wajah Ten yang saat ini sudah banyak tertempel plester.

“Keluar! Jangan berani nginjakin kaki di toko gue lagi!” Teriak Ten membuat Johnny terdiam. Johnny bingung dan juga panik melihat wajah babak belur Ten meskipun sudah diobati dan tertutup plester, tetapi Johnny tahu, wajah itu babak belur.

Johnny ini memang keras kepala, sudah diteriaki oleh Ten untuk keluar, tetapi Johnny malah membawa kakinya semakin mendekat kearah Ten.

“Wajah lo kenapa Ten?”

Ten mendorong tubuh Johnny yang semakin mendekatkan diri dengan dirinya, “PERGI!”

Johnny menggeleng lalu mencoba untuk menyetuh pipi babak belur milik Ten namun tangan Johnny langsung ditepis oleh Ten, Ten melengos, menghindari tatapan Johnny.

“Gue nggak nyangka, gue pikir lo sebaik yang gue kira, Jo. Gue pikir stigma tentang preman yang ada di kepala manusia tentang buruknya preman itu bisa gue tepis. Ternyata bener, semua sama aja.”

Johnny bingung dan mencoba mencerna apa yang dimaksud Ten.

“Lo udah buat seseorang masuk rumah sakit Johnny! LO JAHAT! Kenapa lo gebukin orang sampai masuk rumah sakit?! Lo punya rasa kemanusiaan nggak sih Jo?!” Ten kembali berteriak di depan Johnny dengan wajah yang tidak berekspresi, dirinya marah, tentu. Marah dengan fakta yang ada di depannya, fakta tentang Johnny yang menerjang dirinya. Ten marah, kuat kuat Ten menahan tangannya untuk tidak menampar Johnny saat ini.

Johnny diam dan kembali berfikir lagi apa yang dimaksud Ten. Sekon selanjutnya Johnny teringat tempo hari dirinya habis menggebuki preman gang sebelah ketika Johnny sedang tak sengaja lewat malam malam. Johnny melihat preman tersebut sedang macam-macam dengan seorang perempuan.

“Orang yang udah gue gebukin itu, dia orang yang udah macem-macem sama seorang perempuan. Beberapa hari lalu, gue lagi jalan malem sendirian dan nggak sengaja ngelewatin gang sebelah. Gue ngeliat dengan bantuan cahaya lampu jalan, ada beberapa orang yang lagi ngelilingi seorang perempuan. Mereka ngelecehin perempuan itu, bahkan hampir melucuti pakaian si perempuan itu. Waktu gue liat itu, gue langsung nonjok dan gebukin mereka satu persatu, Ten. Ketika mereka semua akhirnya lari karena mereka juga udah babak belur, gue ngedeket ke perempuan itu. Dia nangis, Ten. Badannya gemetar sewaktu gue coba buat bantu dia dengan pegang tubuh dia buat bantu berdiri. Gue telat, Ten. Trauma yang ada di perempuan itu belum tentu bisa hilang seperti babak belur yang udah di terima sama preman itu karena gue. Masuk rumah sakit? Mereka, preman gang sebelah itu nggak tau, segimana berjuangnya si perempuan itu bat ngilangin rasa trauma. Gue emang udah nggak ketemu lagi sama perempuan itu, karena yang gue tau, dia trauma untuk keluar rumah, Ten.”

Johnny mencoba untuk menjelaskan dengan pelan alasan kenapa Johnny bisa meluncurkan bogem mentah pada seeorang yang katanya sampai masuk rumah sakit.

Mendengar penjelasan Johnny, Ten ikut terdiam dan terkejut. Ten merasa bingung, dia semakin merasa bersalah karena sudah memikirkan yang tidak tidak tentang Johnny tanpa tahu alasan Johnny sampai bikin seseorang masuk ke rumah sakit.

“Mungkin emang image preman udah jelek banget di mata banak orang, maka dari itu lo bisa mikir gue sejelek itu. Tapi Ten, gue nggak begitu.”

Terlalu bingung ingin menjawab apa, Ten memajukan tubuhnya lalu memeluk tubuh Johnny, “Maaf. Jo, gue minta maaf. Maaf udah buruk sangka tentang lo. Gue pasti udah nyakitin hati lo, Jo. Padahal lo juga ngerasa bersalah karena merasa lo telat untuk bantu perempuan itu.”

Johnny menggelengkan kepalanya, “It's okay Ten. Karena gue yang diincer dan mereka tau lo deket banget sama gue belakangan ini, lo yang jadi diincer dan kena getahnya. Gue rasa mereka ngikutin kita semalam karena kita habis jalan berdua. I'm sorry Ten, is it hurt?”

Ten menggelengkan kepalanya, “Udah nggak kok.”

“Udah diobatin?” Tanya Johnny sambil melihar ke arah luka luka di wajah Ten.

Ten menggelengkan kepalanya lagi, “Dejun sama Kun lagi nganter keluar jadi nggak ada yang bantu obatin,”

“Let me help you, Ten.” Ucap Johnny membuat Ten memberikan kotak P3K pada Johnny kemudia Johnny membantu mengobati luka Ten dengan telaten dan pelan karena beberapa kali Ten meringis kesakitan membuat Johnny juga ikut meringis melihat Ten kesakitan.

“I'm sorry, Ten.”

Ten menggeleng, “Don't be sorry, Johnny. It's not your fault.”

Johnny tersenyum hingga matanya membentuk bulan sabit persis pada saat pertemuan pertama mereka, ketika Ten percaya bahwa Johnny adalah orang baik. Ten tidak pernah salah, Johnny memang orang baik.

Dejun dan Kun yang baru saja selesai mengantar barang ketika masuk ke dalam toko dan melihat Johnny yang sedang duduk di sebelah Ten langsung berisik dan menunjuk hingga memarahi Johnny, terutama Dejun membuat Ten kembali memarahi Dejun karena sudah memarahi Johnny. Akhirnya Johnny menceritakan alasan dan juga meminta maaf pada Dejun dan Kun, sekaligus kembali meminta maaf pada Ten, lagi.


@roseschies, 2025.