R E G R E T s


Tama yang sedaritadi duduk di depan ruangan dengan Sabil yang sudah tertidur di gendongannya langsung melihat Johannes yang sedang berlari-lari di ujung lorong menuju dirinya.

Wajah Johannes benar-benar jauh lebih berantakan dari sebelum ia bertemu dengan Johannes, mukanya terlihat sangat capek. Yang bisa Tama yakin adalah lelaki ini habis menyelesaikan atau mengobrol dengan Amanda semalaman kemarin.

Oh, bahkan Tama bisa menghirup bau alkohol yang biasa selalu menempel di tubuh Johannes ketika ia mabuk tiap malam.

Tanpa berbicara, Tama hanya bisa menunjuk ruangan tersebut dengan matanya membuat Johannes langsung buru-buru masuk ke dalam ruangan tersebut meninggalkan Tama yang kembali duduk menunggu Mamanya keluar bersama Arga.

Tiba-tiba saja ada seorang suster mendatangi dirinya lalu memberikan sebuah surat pada Tama, “Mas, maaf ini ada titipan dari Bapak dan minta dikasih ke anaknya, Johannes.”

Tama mengangguk lalu menerima surat tersebut, “Makasih ya suster..”

Suster tersebut mengangguk dan meninggalkan Tama, Tama mengantongi surat tersebut menunggu sampai Johannes keluar.

Melihat Johannes yang masuk ke dalam ruangan, Mama dan Arga langsung keluar tanpa di suruh.

Johannes langsung lari menuju tubuh kaku milik Papanya, air matanya tentu tidak berhenti menetes melihat tubuh milik Papanya terbaring di sana dengan suara detak jantung mati yang mengisi seisi ruangan menambah kepedihan yang ada di hati milik Johannes.

Ia tertampar realita, Papanya sudah meninggal, meninggalkan dunia juga meninggalkan dirinya.

Johannes menangis sampai meraung di pinggir kasur Papanya, lelaki itu beberapa kali memegang tangan milik Papanya yang sudah dingin, matanya takut-takut menatap wajah damai milik Papa yang sudah tidak bernyawa.

“Papa bangun..”

Lagi-lagi Johannes terus mengusap tangan Papanya yang sudah dingin, ia berharap tangan milik Papanya kembali hangat, sama hangatnya dengan tangan miliknya.

“Pa, Papa bangun Pa.”

Bibir milik Johannes bergetar, air matanya sudah tidak tau berapa banyak keluar dari matanya.

Tangisan Johannes semakin kencang, begitu memilukan untuk siapapun yang mendengar tangisan tersebut.

Johannes membawa tangannya dan pelan-pelan ia memberanikan melihat wajah damai milik Papanya.

Tangannya bergetar hebat dan pelan mengelus pipi milik Papanya. “PAPA BANGUN!”

“PA JANGAN TINGGALIN ANES SENDIRI PA... PA ANES TAKUT, PAPA JANGAN TINGGALIN ANES...” Johannes terus berteriak meminta Papanya untuk bangun secepat mungkin, Johannes ingin Papanya menolak fakta bahwa dirinya sudah meninggal.

Johannes kembali menggoyangkan lengan Papanya, “Paa... Papa bangun, Pa!”

Mama tiba-tiba datang setelah mendengar beberapa teriakan dari Johannes, Mama menepuk pundak milik Johannes pelan. Tanpa kata, Mama datang hanya untuk menenangi Johannes yang sedang terpukul akibat ditinggalkan oleh Papanya.

“Papa saya ngga sakit, Papa saya sehat. Papa bangun, Pa, ayo ngomong sama Anes. Marahin Anes Pa. Pa, Anes udah ngelakuin semua yang Papa Mau. Ayo Papa bangun Pa. Pa... Pa, Anes- Papa... Bangun Pa.”

“Pa, Anes, Anes, minta maaf, Papa ayo bangun Pa.. Papa Anes mau minta maaf, Anes mau sujud di depan Papa. Pa, Anes harus apa sampai Papa maafin Anes. Anes harus apa sampai Papa bangun?!”

Tiba-tiba Johannes menjatuhkan tubuhnya di sebelah kasur dimana tubuh Papa terbaring membuat Mama langsung terkejut melihat anak itu mendudukkan dirinya di lantai.

“PAPA BANGUN ANES UDAH DUDUK DI BAWAH ANES MINTA MAAF SAMA PAPA AYO PAPA BANGUN.”

“Johan, sayang, bangun ayo. Johan bangun dulu sayang.”

Johannes menggelengkan kepalanya, “Saya mau begini sampai Papa saya bangun dan memaafkan saya.”

Mama menghela nafas, “Johannes, bangun. Papa kamu harus segera dibersihkan, ayo sayang.”

“PAPA SAYA BELUM MENINGGAL!”

“Papa saya... Papa saya beneran meninggal... Meninggalkan saya....”

Johannes menundukkan kepalanya.

Benar, benar Papanya sudah meninggal, fakta yang tidak bisa lagi dipungkiri oleh Johannes.

Tubuh dingin, alat detak jantung yang sudah menyatakan bahwa Papanya meninggal pukul dua siang.

Semua ada bukti tepat di depan mata Johannes.

Dengan dibantu oleh Mama, Johannes keluar dari ruangan tersebut lalu menemui Tama yang masih duduk di sana.

Johannes duduk di sebelah Tama, matanya sembab, hidungnya merah, rambutnya sangat berantakan, bahkan bajunya sudah sangat lusuh.

“Mama kebawah dulu ya, Sabil mau sama Mama aja kasihan kamu keberatan Nak.”

Tama menggeleng, “Nggak usah, Sabil sama Tama aja. Mama hati-hati.”

Mama mengangguk lalu turun kebawah untuk membeli minum dan roti, tentu untuk Johannes.

“Bokap lo semuanya udah diurus sama Arga.” Ucap Tama tiba-tiba membuat Johannes hanya bisa menghela nafas.

Arga, sahabatnya itu bahkan sebenarnya tidak benar-benar meninggalkan dirinya, sahabatnya itu terus merawat Papanya disaat dirinya sama sekali tidak peduli dengan Papanya.

Untung Tama ingat, Tama langsung mengeluarkan surat yang tadi dititipkan oleh suster.

“Nih, dari bokap lo. Gue ngurus administrasi bokap lo dulu bareng Arga.”

Setelahnya Tama berdiri, meninggalkan Johannes sendirian di sana.

Pelan-pelan Johannes buka surat tersebut yang di dalamnya ada satu kertas yang sudah terlipat.

Johannes buka kertas tersebut dengan jantung yang terus berdebar, entah fakta apa lagi yang akan ia ketahui dari kertas ini.

Untuk anak Papa, Johannes.

Anes, gimana kabar Anes?? Papa kangen sama Anes, tapi Papa lagi nggak dibolehin keluar karena Papa sedang di rawat di rumah sakit. Maafin Papa ya nggak bilang tentang ini dan semua tentang penyakit Papa yang selama ini Papa rasakan.

Papa nggak bisa lagi tahan penyakit Papa supaya ngga kabuh dan bikin panik Anes nantinya. Papa berusaha nutupin semua tetapi Papa gagal. Penyakit Papa terus kambuh dan akhirnya Papa diantar Arga untuk periksa dan dinyatakan harus di rawat intensif di rumah sakit. Sekali lagi, maafin Papa ya Anes.

Anes, Papa nggak akan ninggalin Anes sampai kapanpun, Papa selalu ada disebelah Anes. Semua yang Papa minta, semua demi Anes. Cuma demi Anes. Maaf kalau sejak dulu rasanya Papa jarang memberi perhatian lebih untuk Anes juga Mama sampai membuat Anes berfikir kalau Papa membenci Anes.

Anes, perlu Anes ketahui kalau Papa sangat menyayangi Anes. Papa ngga pernah bohong ketika Papa bilang, Papa sayang sama Anes, anak kesayangan satu-satunya Papa.

Anes, Anes ingat nggak, tetangga kita yang dulu Anes selalu bilang lelaki itu terlalu gendut dengan pipi yang tembam dan merah. Tetangga kita yang pindah entah ke kota mana. Tetangga kita yang Anes tangisi sampai pingsan karena kepergiaannya. Tetangga kita yang Anes cari keberadaannya meskipun ketika lelaki itu ada di samping Anes, Anes hanya bisa mengeluarkan kalimat-kalimat pedas dari mulut Anes tetapi ketika lelaki itu hilang, Anes menangis terus menerus mengatakan bahwa Anes merindukan sosok lelaki itu. Anes ingat kan??

Lelaki itu, ada di sebelah Anes. Selama ini lelaki itu ada di sebelah Anes. Lelaki itu adalah Adhitama, suami Anes. Suami Anes yang Papa jodohkan untuk Anes.

Maaf sekali lagi kalau Papa tidak memberitahukan Anes tentang fakta Adit, tetangga kita dan lelaki yang selalu Anes tangisi.

Anes, mungkin ini bakal jadi pesan terakhir buat Anes dari Papa karena rasanya Papa sakit sekali Anes. Maaf Papa ngga bisa nemenin Anes sampai akhir hidup Anes, tetapi ingat Papa akan terus ada di samping Anes meskipun nanti Anes nggak bisa lihat keberadaan Papa.

Anes, lanjutkan hidupmu ya Nak. Hidup bahagia dengan caramu. Papa akan selalu maafin Anes, karena Papa tau Anes punya pemikirannya sendiri. Sekarang, Anes nggak perlu kesal ketika Papa banyak menuntut Anes ini itu, karena Papa nggak bisa lagi ngomong dengan Anes. Papa hanya bisa datang lewat mimpi Anes, tiap malam.

Anes, jangan lagi menyakiti orang lain dan diri Anes sendiri ya? Banyak orang yang sayang sama Anes, termasuk Papa, Adhitama, dan juga Sabil.

Nak, Papa pergi ya?? Bahagia selalu anak Papa.

Kertas tersebut sudah basah dengan air mata Johannes yang terus menerus menetes selama ia membaca surat yang ditulis mati-matian oleh Papanya yang sedang kesakitan di rumah sakit, sedangkan dirinya sibuk mengurusi orang lain yang bahkan sudah menghancurkan dirinya sampai berkeping-keping.

Ketika Johannes selesai membaca surat tersebut dan masih menangis dengan wajah yang ia kubur di tangkupan tangannya, Tama tiba-tiba datang memberikan minuman dan roti yang sebelumnya dibelikan oleh Mamanya.

Johannes menerima minuman dan roti tersebut namun tidak langsung meminum atau memakan, ia langsung menatap Tama yang duduk di sampingnya dengan Sabil yang ada di gendongannya, masih tertidur.

“Saya putus dengan Amanda, Amanda hamil dan akan nikah dengan pacarnya, pacarnya mau bertanggung jawab.”

Tama mengangguk, “Nanti pulang, tolong tanda tangan kertas yang ada di ruang TV.”

“Kertas apa?”

“Perceraian kita, Johannes.”

Tama kemudian berdiri dan menjaga tubuh Sabil agar tidak jatuh dari gendongannya kemudian menatap mata Johannes lekat-lekat.

“Ini kan yang lo mau? Ditinggal sama Papa, temen lo Arga, gue, dan Sabil.”

“Lo selalu terus ngebela Amanda, sampai lo lupa banyak orang yang sayang sama lo di belakang itu semua. Sekarang, gimana Johannes? Lo bahkan ditinggal sama Amanda yang selalu ngebela lo.”

“Selamat, setidaknya keinginan lo benar-benar tercapai, semua.”

Johannes memegang tangan milik Tama kemudian menatap mata Tama, “Adit.... Dit...”

Tama menghela nafasnya panjang, mati-matian ia menahan tangisannya, nama itu keluar dari mulut yang memang seharusnya memanggil nama dia seperti itu dan cuma satu-satunya orang yang memanggil nama itu pada dirinya.

Tama melepas genggaman tangan Johannes kemudian meninggalkan Johannes.

Tama pergi bersama Sabil yang tertidur dalam pelukannya meninggalkan Johannes dengan setumpuk penyesalan yang ada di dalam dirinya.

Johannes, perlu kamu tau, penyesalan selalu datang, di akhir.


Regrets; selesai,

@roseschies