Tama dan Mama
Tama benar-benar membawa Sabil ke rumah Mama. Tama pun masih bungkam tentang kejadian beberapa hari lalu.
Mama masih belum tau alasan kenapa Tama menitipkan Sabil di rumah Mamanya, yang Mama tau, Sabil merindukan dirinya, bukan yang lain karena itulah yang disebutkan Tama sebelum menitipkan Sabil.
Tama tidak benar benar meninggalkan Sabil di rumah Mamanya, Tama akan tetap bermain dengan Sabil dan akan pulang ketika Sabil tidur dan akan datang tepat ketika Sabil bangun.
Alasan kenapa ia tidak tidur di rumah Mamanya karena kamarnya sudah dipakai Sabil, dan kamar miliknya tidak akan cukup untuk dirinya dan Sabil. Selain itu, ia menghindari pertanyaan Mama.
Tama cukup paham pasti Mama sudah punya banyak pertanyaan, kenapa dan kenapa di kepalanya.
Alasan lain lagi kenapa Tama tak kunjung bercerita pada Mamanya karena ia takut Mamanya akan terus menyalahi dirinya tentang perjodohan ini.
Ini sudah hari ketiga Sabil dititipkan di rumah Mama, anak itu sedang bermain lego di kamarnya sewaktu Tama sampai setelah membelikan makanan di luar. Setidaknya Tama punya alasan bahwa sebelum Sabil bangun, Tama beli makan keluar terlebih dahulu, tidak meninggalkan dirinya.
Mama yang melihat Tama masuk langsung meminta izin pada Sabil untuk bermain sendiri sebentar karena Mama ingin berbicara dengan Papinya— Tama.
Tama dan Mama turun kebawah menuju dapur untuk menyiapkan makanan yang baru saja Tama beli.
“Tama, Nak.” Mama menepuk pundak Tama membuat anak itu sedikit ketar ketir, sepertinya Sabil sudah cerita.
Terlihat dari raut wajah Mama yang mulai merasa bersalah.
Tama menghadapkan dirinya kearah Mama, “Iya kenapa Ma? Eh, Ma ini tadi Tama beli risol kesukaan Mama.”
Mama mengangguk, “Sayang, kam—”
“Mama, Sabil tuh boleh makan gorengan ngga ya?” Potong Tama sebelum Mama bahkan menyelesaikan ucapannya.
Mama menghela nafas lalu mengangguk, “Sedikit aja, jangan banyak-banyak. Nanti batuk.”
Tama mengangguk lalu memindahkan beberapa untuk dirinya, Sabil, dan Mama.
Mama menepuk pundak Tama pelan, “Udah aja ya sayang?”
“Mama minta maaf udah bikin berat hidup Tama.”
Tama menunduk, pura-pura sibuk menyiapkan makanan padahal dirinya sudah gelisah, ia ingin menangis sekarang juga.
“Maaf ya Mama ngga tau sama sekali tentang gimana anak Mama di sana sama suaminya. Mama cuma bisa percaya sama semua kalimat Tama kalau Tama dan Johan baik baik saja.”
“Udahin aja ya?”
Tama menggeleng, “Ma, Tama bahkan belum mulai apa apa, apa yang harus diudahin?”
“Tama, sayang..”
“Ma, anak mama ini masih kuat. Tama kuat buat Mama dan Sabil. Tunggu ya Ma. Tama ngga akan diam aja, Ma. Tapi Tama titip pesan, jangan bilang ke Papanya Johan ya Ma, tentang semua ini. Biar Tama yang selesaiin semuanya, ya Ma?”
Mama mengangguk paham, Mama percaya dengan anaknya ini, ia pasti punya banyak cara yang sudah dipastikan sebelumnya dipikirkan secara matang-matang.
“Mama, Tama titip Sabil.”
Mama mengangguk namun wanita itu terdiam masih mengelus pundak anaknya, tegar sekali anaknya ini.
Tama membersihkan tangannya karena ia sudah selesai menyiapkan makanan di tiga piring lalu ia menghela nafas dan menatap kedua mata milik Mama yang sangat teduh.
“Ma, Tama bohong. Tama bohong tentang semuanya. Tama dan Johan ngga baik baik aja from the day one sampai sekarang. Ma, Tama ngga bisa ngubah sifat Johan pun Tama ngga bisa ngubah semua yang memang sudah ada di dalam diri Johan.”
“Awalnya Tama pikir, Tama bisa seiring berjalannya waktu, Johan juga akan menyerah dan mencoba buat mencintai Tama perlahan. Tapi nggak Ma. Tama salah. Johannes ya Johannes. Tama ngga bisa ngerubah semuanya bahkan fakta Evano.”
“Tama nggak tau Ma, apa yang ngebuat Johannes sebegitunya. Tama tau, Evano—maksud Tama Johannes itu memang keras kepala dengan mulut pedas. Tapi Ma, ini udah beda. Johannes nggak punya hati Ma.”
Runtuh. Runtuh semua tiang-tiang yang sudah dibangun oleh Tama.
Sejatinya ia tetap membutuhkan tempat mengadu, dan itu hanya Mamanya.
Mama mengangguk-angguk kepalanya mengerti, Mama sudah mendengar beberapa dari Sabil terlebih fakta Papanya yang sempat meninggikan suaranya di depan dirinya.
Bahkan anak itu berbicara pada grandmanya, “Grandma, Papa engga mungkin benci sama Sabil kan? Kemarin pasti Papa lagi capek, Sabil juga kalau capek suka marah marah tapi habis itu engga lagi deh... Ya kan grandma? Papa sayang Sabil kan grandma? P—papa....” Kemudian anak itu menangis memanggil nama Papanya.
Bagaimana bisa Johannes menyakiti anak semanis Sabil, bahkan disaat seperti ini Sabil terus meyakini dirinya bahwa Papanya itu menyayangi dirinya meskipun Johannes terlihat tidak peduli dengan keberadaan Sabil juga Tama.
“Mama minta maaf, Tama.. Nak, udahin ya?? Semua Mama bantu asal Tama dan Sabil bahagia.”
“Sedikit lagi Ma.. Tama masih kuat, Mama percaya sama Tama kan?”
Mama mengangguk lagi lalu memeluk sebentar anaknya itu memberikan sedikit kekuatan.
“Ma, dengerin Tama. Mama ngga usah merasa bersalah ya? Mama ngga salah sama sekali. Jalan ini dari awal udah Tama yang pilih. Mama sama sekali ngga pernah memaksa Tama untuk terima tapi Tama yang punya keinginan menerima perjodohan ini. Tama ngga akan mau ngakhirin sesuatu yang udah Tama pilih tanpa ada hasil akhir Ma.”
“Ma, Tamanya di dengerin lho.... Ya Ma?”
Mama yang masih menunduk rasanya sangat malu lalu mengangguk.
“Yaudah yuk Ma, kasihan Sabil nungguin di atas.”
Mama mengangguk lalu membawa piring miliknya dan milik Tama sedangkan Tama membawa piring milik Sabil dan minuman.
Ketiganya menghabiskan waktu di dalam kamar Tama dulu sambil bersenda gurau.
@roseschies