Tama, pulang.


Esok harinya Tama langsung menancapkan gas mobilnya dan menuju rumahnya dulu, kediaman Mama dimana Mama dan Sabil yang selalu menunggu kepulangan Tama di sana.

Tama memarkirkan mobilnya di parkiran rumah lalu keluar dari mobil kemudian membawa kakinya melangkah menuju pintu masuk rumah.

Mama benar-benar menunggu Tama di depan pintu masuk, melihat Mamanya yang sedang berdiri di sana, Tama langsung berlari dan memeluk Mama.

“Ma, Tama berhasil. Semua udah selesai Ma..”

Mama memeluk erat anaknya itu lalu mengelus punggung Tama dengan sayang membuat Tama menangis dipelukan Mamanya. Mama akan selalu menjadi tempat Tama mengadu dan derai air mata selalu turun ketika ia merasa hidupnya terlalu berat di dalam pelukan Mama.

“Anak Mama kuat, Nak.”

“Ma, tama sayang sama Evano Ma...”

Mama hanya mengangguk-anggukan kepalanya dan mengelus surai lembut milik Tama, “Iya sayang...”

“PAPIIIIII!!!!!!!” Suara milik Sabil menggema di dalam rumah membuat Tama melepas pelukan dengan Mamanya dan menghapus jejak air matanya lalu tersenyum dengan hidung yang sembab kearah Sabil, Tama juga merentangkan tangannya, menyambut Sabil dengan pelukan.

Tama memeluk Sabil lalu menggendong anaknya itu, rasanya sudah berapa hari ia tidak bertemu dengan anaknya ini, benar-benar semakin gembil.

“Papi kenapa nangis?” Tanya Sabil melihat jejak air mata yang ternyata masih tersisa di pipi Tama membuat Tama menggelengkan kepalanya dan tersenyum.

“Papi jangan nangis, cupcupcup, ini cookies buat Papi punya Sabil. Engga apa-apa Papi makan, buat Papi yaa.” Sabil lalu memberikan kue yang sedaritadi ia pegang ditangan kanannya pada Tama.

Tama yang langsung disuapi kue langsung menerima kue tersebut, “Terima kasih ya sayang, cookiesnya enak.”

Sabil tersenyum senang lalu mencium pipi Tama cepat, Tama tersenyum dan ia menangis lagi, anaknya benar-benar menggemaskan.

“Sabil, kita pulang ya?”

“Pulang? Ketemu Papa? Ke rumah?”

Tama tersenyum lagi, tidak bisa menjawab pertanyaan Sabil.

“Sabil, main dulu sendiri sebentar gapapa? Papi mau ngobrol sama grandma.”

Sabil mengangguk lalu turun dari gendongan Papinya, “Iya gapapa Papi, Sabil punya banyak temen main di kamar!”

Tama mengelus surai milik Sabil, “Gih, hati-hati ya sayang. Nanti Papi ke kamar.”

Sabil langsung naik ke lantai dua menuju kamarnya yang sebelumnya itu kamar milik Tama

Mama mengajak Tama duduk di sofa kemudian kembali mengelus pundak milik Tama.

Tentu, sesuatu yang sangat ingin Tama ceritakan pada Mamanya tak lain dan tak bukan adalah tentang Amanda, Johannes, sampai fakta tentang Papanya Johannes yang sedang dirawat.

Banyak sekali reaksi yang dikeluarkan oleh Mama, tentu Mama hanya bisa membantin mendengar hal tersebut, ia tak tega dengan anaknya yang ternyata mengalami hari-hari begitu buruk jauh dari perkiraannya.

Fakta tentang Papanya Johannes yang sedang dirawat pun Mama tidak tau sama sekali, yang Mama tau, Papanya Johannes adalah pria yang sangat sehat.

Sedang menikmati obrolannya, tiba-tiba saja ponsel milik Tama berbunyi, di sana nomor tidak dikenal menelpon dirinya.

Tama langsung mengangkat panggilan tersebut sebelum semakin terdengar nyaring, “Halo dengan siapa ya?”

“Tama, ini gue, Arga.”

“Oh iya kenapa Ga?”

“Tam, ke rumah sakit ya... Bokapnya Johan meninggal.”

Tama terkejut mendengarnya bahkan jantungnya berdetak lebih cepat, “Lo jangan bercanda Arga.”

“Gue mana bercanda menyangkut nyawa orang Tama!”

“Gue kesana, sekarang.”

Tama langsung mematikan sambungan telepon tersebut lalu raut wajahnya yang terlihat panik langsung terlihat oleh Mama.

“Tama ada apa Nak?”

“Ma, Papanya Johan meninggal, barusan Arga telepon Tama.”

Mama tentu terkejut mendengar hal itu, ia bahkan baru tau fakta Papanya Johannes dirawat beberapa menit lalu.

“Kamu keatas dulu, temuin Sabil.”

“Sabil aku bawa Ma..”

Mama menghela nafasnya dan akhirnya mengangguk, menyetujui ucapan Tama.


@roseschies