Universe — 0
A Johnten oneshot by roseschies
—
Dengan langkah yang sedikit terpontang-panting sambil membenarkan sepatunya yang masih belum masuk dengan benar di kakinya, Johnny mengejar Kakaknya — seseorang yang selalu merawat Johnny — yang berada di depan sambil berteriak, “Tunggu, Kak! Ish — tunggu sebentar, aku belum selesai pakai sepatu?!”
Sedangkan wanita yang akhirnya mensejajarkan tubuhnya di sebelah Johnny langsung tertawa dan merangkul Johnny, “Kamu pakai sepatu aja lambat banget sih, Jo. Jadwal check-up ku keburu lewat kalau harus nungguin kamu.”
Mendengar hal tersebut Johnny menggerutu, “Ya terus kenapa ngajak aku terus?! Lagi nanti di sana, aku cuma diam nungguin Kakak berjam-jam, bosan tahu!”
Wanita tersebut kembali terkekeh, gemas dengan adik kecil — yang sebetulnya bukan adiknya juga tetapi sudah dia anggap sebagai adik kecilnya. “Soalnya cuma Jo yang mau temenin Kakak check-up setiap minggu. Makanya, nanti Jo main jalan jalan, kan di belakang ada taman? Siapa tahu nanti Jo ketemu teman sebaya Jo. Nanti ajak kenalan? Gimana?
Johnny mengangguk dengan semangat, “Okay! Ayo, Kak!”
Setelahnya Johnny menarik tangan wanita tersebut membuat keduanya berlarian seperti dikejar waktu, walau kenyataannya memang sih. Waktu check-up juga waktu untuk Johnny yang ingin menjelajahi taman di belakang — karena sebelumnya Johnny tidak pernah tahu, lebih tepatnya Johnny biasanya hanya diam duduk di kursi menunggu sampai jam check-up selesai lalu pulang.
“Daah Kak!” Pamit Johnny sambil melambaikan tangan sedangkan wanita tersebut mulai masuk ke ruangan.
Akhirnya, Johnny mengangkat pantatnya yang sudah mulai panas akibat menunggu terlalu lama di bangku — menunggu antrian check-up yang ternyata lumayan memakan waktu lama — Johnny membawa tubuhnya menuju taman belakang yang sebelumnya sudah diberitahu oleh petugas yang sedang berlalu-lalang.
Dengan tangan yang mengerat memegang tas ranselnya, Johnny menyusuri taman yang terasa asing, namun sekali datang, Johnny merasa nyaman karena suasananya yang begitu sunyi begitu menenangkan hati.
Mata milik Johnny mulai melihat satu persatu keadaan sekitar, hanya ada segelintir orang yang berada di sini, terlebih lagi hanya orang tua dan beberapa orang yang memang seperti Johnny — menunggu seseorang yang sedang check-up.
Langkah kaki milik Johnny semakin maju, tangannya semakin mengerat ketika kedua bola matanya melihat seseorang yang mungkin sebaya dengannya sedang duduk di kursi roda dengan berbagai alat yang ada di tubuhnya, matanya yang terlihat lelah juga fokusnya yang hanya menghadap ke depan dengan seseorang yang sedang mendorong kursi roda tersebut. Terdapat tanda pengenal menggantung di lehernya, yang mungkin seseorang tersebut merupakan seorang caretaker untuk seseorang yang berada di kursi roda.
Mata milik Johnny seperti terkunci, langkahnya tiba-tiba berhenti ketika kedua orang tersebut semakin mendekat ke arah Johnny. Kakinya terasa berat, matanya tidak berhenti menatap lelaki sebaya yang berada di kursi roda tersebut.
Tidak bersuara, sampai akhirnya Johnny tersadar bahwa kedua orang tersebut sudah melewati dirinya yang mematung, terdiam.
Bukan, bukan rasa kasihan yang ada di dalam diri Johnny. Melainkan hal lain yang sebetulnya Johnny sendiri tidak mengerti apa itu.
Siapa dan kenapa menjadi pertanyaan utama yang berada di dalam kepala Johnny.
Entah pertanyaan tersebut akan terjawab atau tidak, tetapi ketika Johnny kembali datang — tentu untuk menemani Kakaknya seperti biasa, Johnny langsung membawa dirinya menuju taman tersebut dengan sebuah harapan ia akan bertemu dengan lelaki tersebut, lagi.
Mata milik Johnny menemukan seorang lelaki yang tengah duduk di ujung sedang menusuk sedotan di minuman miliknya lalu menyedot minuman tersebut sambil menatap sembarang.
Itu, lelaki yang kemarin mendorong kursi roda lelaki sebaya yang menjadi perhatian di kepala Johnny belakangan ini.
Tanpa mau membuang waktu, Johnny bangun dari duduknya lalu membawa dirinya menuju lelaki tersebut, tak lupa masih menggendong tas ranselnya yang saat ini sedang menjadi pegangan untuk dirinya.
“K— kak...?” Panggil Johnny dengan suara terbata-bata, setengah takut tetapi ia tetap memberanikan diri. Bagaimana tidak takut, anak SMP sekecil ini menyapa seseorang yang lebih tua, belum lagi itu orang asing.
Suara Johnny ditangkap dengan baik oleh orang tersebut membuat ia melihat ke arah Johnny dan tersenyum — amat manis. “Eh, iya, kenapa?”
Terasa asing namun tidak terlalu asing
“Mmm.. Kok sendirian, Kak? Yang di kursi roda kemana, Kak?”
“Lagi tidur sekarang, jadi Kakak keluar sendiri. Kok, kamu tahu?”
Johnny menggaruk tengkuknya yang tidak gatal itu, dengan malu-malu ia kembali mengeluarkan suaranya, “Minggu lalu, aku ketemu sama Kakak dan dia di sini. Aku, lagi cari teman sebaya di sini, lalu ketemu dia. Dia, seumuran sama aku kan, Kak?”
Gemas. Itu yang pertama kali muncul di kepala Nickhun — nama orang yang saat ini berada di depan Johnny.
Nickhun terkekeh gemas lalu mengangguk, membenarkan apa yang diucapkan oleh Johnny. Lagipula, memang kelihatannya mereka sebaya, “Iya, kayaknya seumuran sama kamu ya. Sini, duduk sebelah Kakak. Nama kamu siapa?”
Johnny langsung amat senang dan duduk tepat di samping Nickhun — entah seketika Johnny merasa nyaman untuk mengobrol dengan orang yang terbilang sangat baru ini.
“Johnny! Nama Kakak siapa?”
“Nickhun, panggil Nick aja nggak apa-apa.”
“Kalau begitu, Kak Nick panggil Jo aja!”
Nickhun terkekeh, “Boleh. Oh iya, Jo sendirian di sini?”
Johnny menggelengkan kepalanya lalu menunjuk satu ruangan tempat di mana Kakaknya sedang check-up mingguan. “Nemenin Kakak check-up.”
Nickhun mengangguk kemudian ia tersadar sejak tadi membawa dua buah roti, sepertinya memang sudah direncanakan alasan mengapa Nickhun ingin sekali membawa dua roti ke taman ini. Nickhun menyodorkan satu roti untuk Johnny, “Ini buat Jo, Kakak bawa dua. Kita makan sama sama ya?”
Mata milik Johnny berbinar melihat roti yang diberikan Nickhun untuk dirinya lalu mengambil roti tersebut dengan senang hati tak lupa mengucapkan terima kasih, “Terima kasih, Kak Nick! Jo makan ya rotinya?”
Nickhun mengangguk lalu ia mengambil pula roti satunya — roti miliknya, untuk dimakan bersama dengan Johnny. Harap harap hal ini dapat terjadi kedepannya bersama dengan sang adik, Chittaphon.
“Mm, Kak Nick. Yang kemarin itu, siapanya Kak Nick?”
“Oh, itu adik kakak. Namanya Chittaphon.”
Chittaphon, Chittaphon. Nama tersebut berputar di kepala Johnny.
“Kenapa, Kak?”
Ingatkan? Hanya siapa dan kenapa yang berdiam di kepala Johnny selama seminggu ini dan kedua pertanyaan itu mendapat jawaban setelah seminggu lamanya berdiam di kepala Johnny.
Nickhun bercerita dengan kalimat yang dapat dengan mudah di cerna oleh otak mungil milik Johnny — singkatnya menjelaskan sebab dan akibat mengapa adiknya bisa seperti itu sampai duduk di kursi roda dengan alat yang ada di tubuhnya.
Mendengar penjelasan yang sebetulnya mudah dipahami, Johnny hanya mengangguk-angguk, ia memahami hanya 30% dari penjelasan Nickhun.
Bisa mendengar, bisa melihat, namun tidak bisa berbicara dan bergerak.
Setidaknya itu yang bisa Johnny tangkap. Walau pada awalnya Nickhun menyamakan Chittaphon dengan tumhuhan sedangkan yang ada di kepala Johnny adalah Chittaphon menjadi tumbuhan.
Nickhun menunggu reaksi lain dari Johnny setelah ia menceritakan keadaan adiknya itu.
“Kak Nick, Jo boleh jadi teman Chittaphon?”
Pernyataan tersebut membuat Nickhun berhenti melakukan kegiatannya mendadak. Nickhun tersenyum dan mengusak kepala Johnny, sembari berterima kasih pada Johnny yang malah ingin menjadi teman adiknya walau adiknya sudah tidak bisa ngapa-ngapain lagi.
“Boleh, boleh. Jo boleh jadi teman Chittaphon.”
“Besok, Jo datang lagi ke sini, ketemu sama Chittaphon, boleh?” Ucap Johnny ketika melihat seseorang sudah melambaikan tangannya ke arah Johnny yang berarti check-up Kakaknya sudah selesai.
Nickhun mengangguk, “Boleh, besok ketemu sama Chitta, ya? Nanti kakak sama Chitta, main di sini, bareng sama Jo.”
Johnny mengangguk lalu berdiri dari duduknya dan berpamit dengan Nickhun, “Terima kasih, Kak Nick! Jo pulang dulu ya?”
“Hati-hati ya Jo!”
Terima kasih, Jo.
Nickhun tersenyum melihat punggung Johnny yang sebenarnya tertutup dengan tas ranselnya itu, sambil berlari-lari menuju seseorang yang ternyata sudah menunggu Johnny di sana.
“Kak! Besok antar Jo ke sini lagi, ya? Jo sekarang sudah punya teman! Namanya Chittaphon. Tapi hari ini dia lagi tidur siang jadi nggak ketemu.” Ucap Johnny ketika sampai di depan Kakaknya sedangkan Kakaknya tidak banyak omong dan hanya mengangguk lalu merangkul tubuh Johnny, ia percaya adik kecilnya ini bisa pintar dalam memilih teman.
Sesuai janjinya, Johnny benar benar datang kembali keesokan harinya, hari ini ia tidak menemani Kakaknya check-up melainkan bertemu dengan teman sebayanya, Chittaphon.
Setelah turun dari mobil, tanpa berfikir lebih lanjut, Johnny menuju taman belakang di mana tempat tersebut menjadi tempat yang akan ia datangi mulai sekarang, entah menunggu Kakaknya itu atau bertemu dengan Nickhun juga Chittaphon.
Masih terlalu pagi, sebetulnya. Johnny terlalu bersemangat bahkan masih sepi sekali di taman saat ini, hanya ada Johnny dan beberapa orang yang sedang menunggu. Namun seberapa lama Johnny menunggu, ia akan amat sabar menunggu di taman inui sendirian dengan kakinya yang tiddak berhenti bergerak-gerak.
Tak lama kemudian, mata milik Johnny melihat Nickhun yang sedang mendorong kursi roda di mana di sana Chittaphon sedang terduduk dengan beberapa alat. Johnny melambaikan tangan membuat Nickhun yang melihat lambaian tangan Johnny langsung tersenyum lalu mendorong kursi roda Chittaphon menuju tempat di mana Johnny sudah menunggu keduanya.
“Maaf nunggu lama ya, Jo?” Tanya Nickhun sesampainya ia di depan Johnny bersama dengan Chittaphon.
Johnny menggelengkan kepalanya, “Nggak kok, Kak!”
Nickhun melepas pegangan di kursi roda milik Chittaphon lalu membawa tubuhnya ke depan Chittaphon kemudian setengah jongkok untuk mensejajarkan tubuhnya dengan sang adik yang tengah duduk itu.
“Chitta, kenalin ini Johnny.” Nickhun memperkenalkan Johnny kepada adiknya membuat Johnny tersenyum dan ikut berdiri di dekat Chittaphon juga Nickhun, matanya tak berhenti melihat seluruh tubuh hingga kepala dan wajah milik Chittaphon. Tentu pemandangan itu tidak luput dari mata Nickhun, Wajar, Johnny hanya anak kecil yang tidak mengerti dan Nickhun membiarkan itu sambil menunggu ucapan yang akan keluar dari mulut Johnny.
Johnny melambaikan tangannya ke arah Chittaphon, senyumnya terukir dengan manis di wajahnya, menyapa Chittaphon yang kemungkinan besar tidak bisa menyapa Johnny balik. “Halo, Chittaphon! Aku Johnny, panggil Jo aja, ya?”
Johnny tersenyum getir mendengar ucapan terakhir, kalau saja Chittaphon bisa berbicara, pasti adiknya juga ingin memanggil Johnny dengan sebutan Jo saja. Nyatanya, tidak. Tidak sepatah kata pun atau anggukan juga pernyataan setuju dari Chittaphon yang keluar.
Namun, Johnny tetap berbicara di depan Chittaphon tanpa kenal lelah, “Kata Kak Nick, kita seumuran loh! Sekarang Jo lagi belajar banyak di sekolah. Nanti, Jo ajarin Chitta, ya?”
Lagi, mendengarnya membuat Nickhun tersenyum getir, andai adiknya ini masih memiliki otak yang bergerak dengan normal, ia pasti akan sangat senang memiliki teman sebaik Johnny.
“Jo, duduk di situ yuk?” Ajak Nickhun sambil menunjuk tempat duduk yang tidak jauh dari tempat di mana ketiganya sedang berdiam saat ini.
Johnny mengangguk lalu tiba-tiba saja ia mengambil alih pegangan kursi roda milik Chittaphon dan meminta izin pada Nickhun, “Kak Nick, Jo boleh yang dorong kursi roda Chitta? Soalnya Jo nggak bisa narik tangan Chitta buat ke sana jadi Jo yang dorong kursi roda Chitta, boleh Kak Nick?”
Tuhan. Tolong, Nickhun hanya mendengar beberapa baris kalimat yang terlontar dari mulut manis Johnny saja sudah ingin menangis.
Chitta, kamu bisa dengarkan?”
Nickhun mengangguk dan mengizinkan Johnny untuk mendorong kursi roda Chittaphon, sedangkan Nickhun berjalan tepat di samping kursi roda Chittaphon, menjaga adiknya juga Johnny yang terlihat agak kesusahan mendorong kursi roda Chittaphon, tetapi lelaki tersebut berusaha sekuat tenaga. Nickhun ingin tertawa kecil melihatnyat tetapi ia ajuga berterima kasih pada Johnny.
Sesampainya di tempat duduk, Nickhun langsung mengunci kursi roda Chittaphon lalu ia duduk di kursi sedangkan Johnny langsung kembali berdiri di samping Chittaphon, Johnny terlihat sangat bersemangat untuk bercerita banyak hal pada Chittaphon padahal Johnny tahu, Chittaphon tidak akan bisa memberi reaksi apapun terhadap hal yang diceritakan oleh Johnny.
Nickhun hanya bisa tersenyum melihat pemandangan yang ada di depannya ini. Hangat juga sedikit menyakitkan untuk menjadi sebuah realita yang harus dijalankan.
Sudah beberapa mingggu ini, Johnny selalu menemui Chittaphon juga Nickhun ketika Johnny memiliki waktu luang, bahkan beberapa kali Johnny pulang sekolah, ia langsung menghampiri Chittaphon dan Nickhun untuk sekedar menyapa keduanya dan tentu, Johnny dengan cerita yang ia bawa dan diceritakan pada Chittaphon.
Hari ini, Johnny memiliki jadwal untuk menemani sang Kakak check-up mingguan, maka dari itu ketika ia memiliki waktu untuk menunggu sang Kakak, ia langsung membawa kakinya terbirit-birit menuju taman belakang, tentu dengan membawa harapan Chittaphon dan Nickhun ada di sana, karena hari ini jadwal Kakaknya agak sedikit sore sedangkan biasanya Chittaphon dan Nickhun ada di sana setiap pagi hingga menjelang siang.
Gotcha!
“Kak Nick! Chitta!” Johnny berteriak memanggil Nickhun dan Chittaphon sambil melambaikan tangannya sedangkan Nickhun yang sedang mendorong kursi roda Chittaphon langsung tersenyum dan melambaikan tangannya kembali untuk Johnny yang sekarang sudah mendekat ke arahnya.
“Jo, kok tumben sore-sore ke sini?”
“Iya, nemenin Kakak, minggu ini jadwal check-upnya sore soalnya. Jo pikir Kak Nick sama Chitta nggak ada di sini soalnya udah sore.”
Nickhun terkekeh, “Biasanya memang jarang sih, tapi enggak tahu kenapa Kak Nick lagi mau ajak Chitta jalan jalan sore. Jo mau temenin juga?”
Mungkin Johnny juga tidak mendengar sepenuhnya ucapan dan pertanyaan Nickhun tetapi Johnny langsung mengangguk dengan semangat.
Kali ini Johnny membiarkan Nickhun mendorong kursi roda sedangkan dirinya beridri di samping kursi roda sambil berjalan sedikit-sedikit, mengikuti Nickhun yang juga pelan-pelan dalam mendorong kursi roda milik Nickhun.
“Chitta, hari ini Jo dapat permen dari teman Jo. Terus, kemarin Jo jatuh dari tangga di sekolah gara-gara lagi bercanda sama teman Jo, lihat, sakit banget sampai berdarah kemarin.” Johnny terus bercerita sambil memperlihatkan siku tangannya yang terdapat plester karena luka jatuh kemarin, Nickhun yang mendengarkan hanya bisa tersenyum.
“Sakit banget, Chitta. Kemarin waktu jatuh, Jo nangis sedikit. Chitta kalau lihat Jo jatuh dari tangga nangis juga nggak?”
“Lain kali hati-hati ya, Jo? Sudah diobati belum?” Tanya Nickhun disela-sela cerita Johnny. Ia khawatir juga sedikit bersyukur karena mengingat kejadian yang tertimpa adiknya tidak juga menimpa Johnny.
Johnny mengangguk, “Sudah diobatin kok, Kak Nick!”
“Oh iya Chitta, kemarin Jo coba masak kue bareng Kakak, tapi tepung Jo jatuh semua hahaha. Jadinya Jo nggak masak kue, Jo cuma lihatin Kakak masak sambil Jo diomel-omelin karena Jo buang buang tepung. Kapan kapan mau main tepung sama Chitta, boleh nggak Kak Nick?”
Nickhun terdiam mendengar ucapan Johnny. Nickhun juga sangat ingin menjawab boleh, boleh, Jo boleh ajak Chitta main apapun itu. Tetapi lagi-lagi Nickhun tertampar realita. Nggak, nggak bisa, Jo.
Melihat Nickhun yang hanya diam tidak menjawab, Johnny kembali mengeluarkan suaranya, “Nggak apa Chitta! Kita jalan jalan aja, Chitta senangkan jalan jalan sama Jo?”
Senang, Chitta pasti sangat senang, Jo.
Setidaknya itu jawaban mutlak yang ada di kepala Nickhun jika memang Chittaphon bisa mengeluarkan suaranya.
Johnny kembali menceritakan berbagai cerita, dari cerita lucu sampai sedih sampai bikin Nickhun menggelengkan kepala karena terlalu ajaib untuk Johnny yang masih bocah SMP ini. Ya walau dipikir juga, Nickhun seperti itu juga sih.
Tapi jauh dilubuk hati, Nickhun tahu, Johnny mengharapkan sebuah jawaban juga reaksi terhadap cerita-ceritanya. Johnny berharap Chittaphon bisa tertawa ketika Johnny menceritakan sebuah lelucon, Chittaphon bisa menangis bersama Johnny ketika Johnny menceritakan cerita sedih, dan mungkin Chittaphon bisa ikut khawatir ketika Johnny cerita kalau dirinya habis jatuh dari tangga.
“Kak Nick,” Panggil Johnny tiba-tiba membuat Nickhun berhenti mendorong kursi roda Chittaphon karena Johnny juga memberhentikan langkahnya dan menghadapkan diri menghadap ke arah Nickhun.
“Iya, kenapa Jo?”
Johnny melihat kearah Chittaphon sebentar lalu kembali melihat ke arah Nickhun lagi, “Chitta, bisa sembuh nggak? Chitta bisa kayak Johnny lagi nggak?”
Nickhun terdiam, kalau saja Nickhun bisa jawab sesuai keinginannya kalau Chittaphon bisa sembuh, Chittaphon bisa seperti manusia pada umumnya, Nickhun ingin sekali menjawab dengan lantang bahwa Chittaphon bisa, bisa sembuh.
Lagi lagi, nyatanya, tidak.
Diamnya Nickhun, Johnny mengerti, “Nggak apa! Jo janji, Jo janji bakal terus jagain Chitta, bakal selalu ada di samping Chitta. Boleh kan, Kak Nick?”
Kali ini, Nickhun mengangguk.
Setelah beberapa hari Johnny tidak kunjung datang bermain dengan Chittaphon dan Nickhun, hari ini Johnny kembali mendatangi Chittaphon dan Nickhun, tetapi sebelumnya Johnny meminta izin pada Nickhun untuk dijemput di depan karena katanya hari ini Johnny membawa sesuatu untuk Chittaphon. Johnny malu untuk membawanya sendiri, maka dari itu ia meminta pertolongan Nickhun.
Johnny baru saja turun dari mobil sambil memegang erat bunga yang ia bawa hari ini. Iya, bunga adalah barang yang akan ia beri untuk Chittaphon. Bunga cantik yang sudah dipilih oleh Johnny berlama-lama hingga berjam-jam ia berdiri memilah-milih bunga di toko bunga. Bunga tersebut ia beli pakai uang sendiri setelah ia menabung beberapa hari dari uang jajannya.
Dan bunga itu terkhusus ia berikan untuk Chittaphon.
Yang ada di kepala Johnny saat memilih bunga tersebut adalah bunga cantik untuk seseorang yang juga tak kalah cantik dengan bunga tersebut walau hanya diam, sesekali bergerak.
Bunga adalah hadiah yang cocok untuk Chittaphon, pikir Johnny.
Johnny melambaikan tangannya yang kosong ke arah Nickhun membuat Nickhun melihat Johnny dari kejauhan.
Ketika Nickhun menyadari keberadaan Johnny akibat dari lambaiannya itu, Nickhun melambaikan tangan kembali ke arah Johnny membuat Johnny sedikit berlari menuju Nickhun.
Detik kemudian, Nickhun mendengar suara klakson mobil berkali-kali, tubuhnya terkejut bahkan sampai tidak bisa bergerak, mulutnya menganga tidak mengeluarkan satu patah kata pun ketika melihat keadaan yang ada tepat di depan matanya.
Nickhun berani bersumpah detik sebelumnya ia bisa melihat Johnny yang sedang berlari sambil memegang bunga dengan wajah yang sangat cerah membawa kakinya menuju dirinya.
Namun apa ini, detik selanjutnya, pemandangan Nickhun berubah total. Johnny yang tergeletak dengan darah yang bercucuran dan bunga yang masih dengan manis berada pada gengaman tangan Johnny, ditambah beberapa orang mulai mendekat ke arah tubuh Johnny yang berlumuran darah.
Nickhun berdiri kaku, kakinya berat, berat sekali ingin mendekat ke arah Johnny.
Tubuh Johnny tidak bergerak, matanya tertutup, darah terus mengucur dari tubuhnya, bunga yang ia bawa sudah berganti warna menjadi merah darah.
Nickhun bersimpuh, mendekat ke arah tubuh Johnny bersamaan dengan beberapa orang dari rumah sakit yang mendekat ke arah Nickhun, membantu Nickhun untuk mengangkat tubuh Johnny.
Yang Nickhun ketahui, tepat ketika Nickhun menjatuhkan tubuhnya bersimpuh di depan tubuh Johnny yang sudah berlumuran darah itu adalah ketika Johnny menghembuskan nafas terakhirnya, Johnny meninggal di depan Nickhun dengan tangan yang masih setia memegang bunga untuk sang adik, Chittaphon.
Sudah satu minggu lebih sejak kejadian yang sebenarnya tidak ingin Nickhun ingat lagi. Tetapi, Nickhun merasakan bahwa Chittaphon seperti mencari-cari keadaan seseorang belakangan ini.
Iya, Nickhun belum sempat bahkan tidak bisa menceritakan kejadian yang tertimpa oleh Johnny kala itu.
Tapi kali ini, Nickhun semakin melihat Chittaphon yang semakin hari semakin lesu, walau Chittaphon tidak bisa bereaksi, tetapi ia bisa melihat dan mendengar, Chittaphon bisa melihat Johnny sehari-hari yang selalu menemani dirinya, Chittaphon juga bisa mendengar suara-suara Johnny ketika ia bercerita tentang keseharian. Tetapi sudah beberapa hari ini, sosok tersebut tidak ada.
“Chitta..” Ucap Nickhun ketika ia akhirnya berjongkok di dekat Chittaphon, menyetarakan tubuhnya dengan sang adik yang tengah duduk di kursi roda.
Nickhun membawa tangannya untuk mengelus kepala Chittaphon dengan sayang.
“Maaf ya Abang belum sempat cerita,”
“Jo kecelakaan beberapa minggu lalu. Chitta nyariin Jo ya?”
Tidak ada jawaban.
“Chitta, berdua sama Abang, nggak apa-apa kan? Doyoung dan Kun nanti kalau sudah nggak sibuk, pasti nemenin Chitta lagi.”
Chittaphon hanya diam, diam dan diam. Tatapannya hanya memandang lurus dengan mata yang semakin lama semakin menghitam.
Nickhun mendengus lalu berdiri dari jongkoknya kemudian kembali menjalankan kursi roda milik Chittaphon.
Nickhun tahu, walau Chittaphon tidak bisa memberikan ekspresi apapun, tetapi Nickhun tahu. Adiknya sangat kehilangan sosok yang belakangan ini selalu mengisi pandangan juga pendengarannya.
@roseschies, 2025.