roseschies

A Johnten Oneshot

700+words


Hari ini, kamar milik Ten menjadi tempat untuk Johnny dan Ten menghabiskan waktu berdua. Hanya ditemani dengan sebuah kipas angin juga teh hangat yang baru saja Johnny buatkan untuk keduanya. Ten menidurkan kepalanya tepat di paha milik Johnny sedangkan Johnny mendudukkan dirinya di lantai yang sudah beralaskan karpet halus milik Ten.

Dengan pelan, Johnny mengelus rambut milik Ten yang terasa lebih halus dibanding dengan rambutnya, juga wangi rambut milik Ten menyeruak menyapa indera penciuman milik Johnny. Manis.

“Jo, kamu bahagia nggak?” Tanya Ten tiba-tiba membuat Johnny memberhentikan sejenak elusan tangannya di rambut milik Ten.

Johnny tersenyum kecil kemudian mengangguk, “Bahagia,”

Ten menatap kedua bola mata milik Johnny yang juga sedang menatap wajahnya dengan tatapan yang sangat teduh, “Bahagia itu, rasanya gimana Jo?”

“Rasa bahagia itu susah buat didefinisiin. Tapi aku tau, aku bahagia kalau ada kamu di samping aku. Aku bahagia kalau kamu ada di sini sama aku.” Jawab Johnny seadanya, karena sebenarnya Johnny juga tidak bisa menjelaskan rasa bahagia. Tetapi Johnny tau, arti bahagia baginya adalah di mana ketika Johnny berada di sebelah Ten dan Ten berada di sebelah dirinya.

“Kenapa kamu tau kalau kamu bahagia? Kan kamu juga nggak tau bahagia itu kayak gimana, sedih itu kayak gimana?”

Johnny tersenyum mendengar ucapan Ten kemudian Johnny memajukan tubuhnya untuk mencium kening milik Ten membuat Ten merasakan sesuatu yang bergejolak dalam tubuhnya, jantungnya sedikit berpacu lebih cepat dari sebelumnya yang terasa sedikit lebih tenang.

“Gimana?” Tanya Johnny.

Ten terdiam, kedua matanya berkedip seperti anak kecil yang bingung terhadap sesuatu.

“Hm? Jantungku nggak karuan?” Ucap Ten terlampau polos dengan mata yang masih berkedip sambil menatap wajah Johnny yang sedang terkekeh gemas.

“Gemas banget sih kamu.” Ucap Johnny kemudian mencubit pelan hidung milik Ten.

“Terus kalau itu kenapa Jo? Aku nggak sakit jantung kan? Aku baik baik aja kan?” Mendengar ucapan yang dilontarkan Ten membuat Johnny semakin tertawa, lelaki itu sangat gemas melihat kekasihnya yang sedang bingung dengan perasaannya sendiri.

“Itu kamu namanya lagi salah tingkah aku cium. Kamu suka dan senang aku cium keningnya, sayang.” Ucap Johnny sambil mengelus kembali rambut halus milik Ten sedangkan Ten hanya mengangguk-anggukkan kepalanya dan mencatat hal tersebut di dalam otaknya.

Jadi, dia juga selama ini bahagia ya kalau di samping Johnny? Karena, jantungnya selalu nggak karuan ketika dirinya berada di sebelah lelaki tinggi ini.

Kemudian suasana di sekitar keduanya kembali hening, hanya ada suara kipas angin yang mengisi indera pendengaran keduanya.

“Jo,”

“Iya, sayang?”

“Aku boleh nangis ngga?”

Pertanyaan yang baru saja dilontarkan Ten membuat Johnny terdiam kemudian kembali dengan kegiatan mengelus rambut halus milik Ten.

“Ya boleh dong sayang. Semua manusia di muka bumi ini, boleh nangis. Kamu pun kalau ngerasa sedih, nangis juga engga apa-apa.”

Ten menganggukkan kepalanya, “Oohh.. Sedih itu, gimana?”

Johnny sedih bingung harus jawab bagaimana, namun Johnny kembali ingat bagaimana reaksi Ten ketika ia ditinggalkan oleh kedua orang tuanya, lelaki itu tidak menangis juga tidak mengeluarkan ekspresi apapun. Tetapi Johnny tau, mata tidak pernah bisa bohong. Ten merasa kehilangan, sangat kehilangan. Hanya saja, lelaki itu tidak tau rasa itu rasa apa dan bagaimana cara dirinya mengeluarkan perasaan yang tidak enak di dalam dirinya itu. Ten, tidak mengerti juga tidak ada yang memberitahu pada dirinya.

“Aku pernah ngerasain rasa nggak enak,” Ten tiba-tiba mengeluarkan suara lagi ditengah-tengah sunyi jeda pertanyaan yang baru saja dilontarkan oleh dirinya.

“Itu ketika Johnny pergi dua hari tanpa kabar. Rasanya gelisah? Tapi aku nggak tau itu gelisah atau bukan, tapi sekujur tubuh aku nggak enak rasanya. Jadi aku cuma diem? Aku bengong, aku nggak tau harus apa. Itu, sedih bukan? Aku waktu itu mau nangis, tapi aku nggak bisa nangis. Aku takut, aku cowok, kenapa aku nangis? Aku kuat, kan ya?”

Johnny tak berhenti mengelus rambut halus milik Ten, “Sayang, nangis bukan berarti lemah, nahan nangis juga bukan berarti kamu kuat. Biarkan semua yang kamu rasain keluar dari diri kamu sendiri. Kamu berhak nangis, kamu nggak lemah. Kamu kuat karena diri kamu sendiri itu memang kuat bukan berakaku karena kamu nggak nangis. Bukan sayang. Kamu berhak ngeluarin semua emosi yang ada di dalam diri kamu sendiri. Orang-orang nggak tau apa yang kamu rasain, tapi kamu tau, kamu lebih tau tentang diri kamu sendiri, tentang apa yang kamu rasain. Bahagia, sedih, marah, semuanya, kamu lebih paham dan orang lain nggak tau tentang hal itu, nggak ada alasan buat mereka bisa nge-judge kamu karena kamu lebih tau tentang itu.”

Ketika Ten akhirnya memahami sebuah rasa dan emosi yang ada di dalam dirinya, tanpa Ten ketahui malam itu menjadi malam terakhir keduanya bercengkrama, juga menjadi malam terakhir Ten menidurkan kepalanya di paha milik Johnny. Sebab, keesokan harinya, Johnny memilih pergi meninggalkan semua, meninggalkan Ten.

“Johnny, ini rasanya sedih, ya? Johnny, aku nangis, engga apa-apa kan? Johnny, aku sayang sama kamu. Aku, harus apa, Johnny?”


@roseschies

A Johnten Oneshot

1,5k+ words


Suara ketukan tiba-tiba terdengar nyaring memasuki indera pendengaran Ten ketika lelaki itu baru saja menarik selimutnya sampai menutupi setengah badannya.

Ten sedikit menggerutu sebal karena kegiatan menikmati waktu bebasnya itu sedikit terganggu akibat ketukan tersebut tetapi Ten tetap membawa kedua kakinya menuju pintu untuk segera membuka pintu tersebut.

Ketika Ten membuka pintunya ia bisa melihat Managernya sudah berdiri di depan pintu sambil membawa sebuah bungkusan berwarna cokelat.

“Kenapa Kak? Tumben sekali mengetuk pintu malam-malam begini.” Ucap Ten, bertanya pada Managernya itu.

Lelaki yang selalu menemani dan mengurus kegiatan Ten selama di sini kemudian memberikan Ten bungkusan berwarna cokelat yang sedari tadi berada pada tangan sebelah kanannya, “Ini Tennie, ada titipan.”

Ten mengernyitkan dahinya kemudian mengambil bungkusan tersebut lalu mengintip sedikit ke dalam bungkusan tersebut, “Titipan? Titipan dari siapa Kak?”

“Dari, seseorang?”

“Ya aku juga tau Kak, bagaimana siihh Kaakk.” Omel Ten membuat sang Manager terkekeh.

“Maaf dong Tennie, pasti aku menganggu waktumu ya?”

Ten mengangguk cepat menjawab pertanyaan yang seharusnya sudah diketahui jawabannya itu, “Iyaa! Tapi kalau ini di dalamnya mengecewakanku, aku bakal sangat marah padamu.”

Sang Manager tertawa sampai menutup mulutnya dengan tangannya, “Ampun dong Tennie! Yasudah, aku yakin kamu nggak akan kecewa dengan isinya kok.”

Belum juga Ten sempat menjawab ucapan dari sang Manager, lelaki tersebut kembali membuka mulutnya, “Oh! Selamat ulang tahun, Tennie!”

Ten sedikit terkejut lalu melihat kearah Managernya yang saat ini sedang tersenyum kecil, “Ingat dengan ulang tahunku?!”

Sang Manager tertawa hampir saja sampai terbahak karena mendengar ucapan yang terlampau polos keluar dari mulut Ten, “ Ya ingat dong?? Jadwalmu saja aku yang urus, apalagi tentang ulang tahunmu, aku pasti ingat! Jangan bilang kamu lupa tentang ulang tahunmu hari ini??”

“Nggak laahh, mana mungkin aku lupa. Aku pikir tidak ada yang ingat.”

Sang Manager menggelengkan kepalanya, “Mana mungkin member lain sampai lupa ulang tahun kamu, Tennie. Mereka pasti juga ingat kalau hari ini ulang tahunmu! Hanya saja mereka memilih untuk mengucapkannya padamu nanti saja.”

Ten mengganggukkan kepalanya, “Betul juga, mana mungkin mereka semua lupa. Kalau sampai member lain lupa kalau hari ini ulang tahunku, lihat saja aku akan marah besar.”

Sang Manager kembali menggelengkan kepalanya, “Yasudah, selamat tidur Tennie, maaf menganggumu.”

Ten mengangguk dan tersenyum kearah sang manager yang hendak menjauh dari pintu kamar Ten, “Terima kasih Kak! Selamat tidur juga!”

Ten kemudian menutup pintu kamarnya lalu menuju meja yang ada di dekat lemari bajunya kemudian meletakkan bungkusan tersebut di atas meja dan ia duduk di kursi yang ada di sana.

“Dari siapa sih? Misterius banget.” Monolog Ten lalu membuka dengan pelan bungkusan tersebut.

Sekarang ia bisa lihat ke dalam bungkusan tersebut, di dalamnya terdapat satu kotak lumayan besar dan satu surat terselip di sana.

Ten mengeluarkan kedua barang tersebut lalu tak sengaja ia lihat tulisan 'Pertama, tolong buka ini.' tertempel di surat tersebut membuat Ten akhirnya sedikit menjauhkan kotak dan bungkusan tersebut kearah pinggir meja kemudian Ten dengan pelan melepas rekatan surat tersebut.

Di dalamnya tentu ada sebuah kertas dengan oretan tulisan tangan yang seharusnya Ten sangat ingat tulisan tersebut tulisan siapa.

Tulisan Johnny.

Dengan jantung yang semakin berdegup kencang, Ten perlahan membuka lipatan kertas tersebut dan meneguk ludahnya sendiri, ia gugup bahkan hanya dengan menatap oretan tulisan tangan Johnny di sana.

Tulisan tersebut tidak panjang namun tidak pendek juga.

Dengan hati yang sudah ia siapkan sejak tadi, Ten mulai membaca kalimat pertama yang tertulis di atas kertas tersebut.

Selamat ulang tahun, Tennie.

Maaf, aku menganggumu ya tengah malam malah menitipkan sebuah hadiah dan juga ucapan melalui managermu.

Sebenarnya aku cukup bingung mau memberikan kamu hadiah ulang tahun apa tahun ini, tetapi aku baru saja ingat, awal bulan ini aku habis membuat sebuah konten untuk JCC bersama dengan Jaehyun, seharusnya konten itu sudah keluar sekarang. Iya, konten membuat jas. jadi kupikir, aku juga ingin membuatkanmu Jas khusus meskipun aku sempat bingung mau memberimu warna apa dan jenisnya seperti apa. Tetapi aku memberikan fotomu lalu kuserahkan semuanya kepada mereka bahkan mereka dengan cepat mengetahui ukuran badanmu. Ku harap, jas ini tidak terlalu besar dan tidak terlalu kecil untuk badanmu ya.

Mungkin hadiah ini bisa dibilang sebuah surprise untukmu?? Anggap saja begitu karena aku tanpa aba-aba langsung menitipkan hadiah dan juga surat ini langsung ke managermu. Hahaha, semoga kamu suka, ya?.

Bagaimana di sana? Semua baik-baik saja kan? Apa pekerjaanmu membuatmu lelah? Tennie, tolong untuk lebih peduli dengan kesehatan tubuhmu ya? Kami semua di sini khawatir denganmu juga Winwin di sana. Meskipun jauh, tetapi semua member yang ada di sini, selalu mengingatmu dan Winwin, kok.

Aku, aku juga selalu menunggu kepulanganmu.

Aku bingung harus nulis apa lagi ya Tennie...

Sekali lagi, selamat ulang tahun, Tennie.

JSH.

“Kak, kamu benar-benar menunggu kepulanganku?” Monolog Ten lalu tersenyum kecil dengan tangan yang tidak berhenti mengelus kertas ucapan dari Johnny.

Bahkan, wangi kertas tersebut masih tertempel wangi yang sama dengan Johnny.

Meskipun sudah beberapa bulan bahkan hampir tahun keduanya tidak bertemu, Ten masih sangat ingat wangi khas Johnny yang sangat maskulin.

Ten kemudian mengambil kotak yang seharusnya berisi jas pemberian Johnny itu lalu membuka kotak tersebut.

Di dalamnya sudah terlipat dengan rapih jas yang Johnny maksud.

Ten mengeluarkan jas tersebut lalu ia membuka lebar jas tersebut kemudian ia tersenyum lagi, “Bagus. Suka. Suka banget, ini bagus banget.”

Dengan jas yang masih ada pada genggamannya, Ten berdiri untuk mengambil iPad miliknya yang terletak di kasur.

Ten duduk di atas kasurnya lalu menyenderkan tubuhnya di kepala kasur lalu mencari kontak bernama Johnny di kakaotalk miliknya.

Perlu beberapa menit ia menimang untuk melakukan video call bersama Johnny, tetapi akhirnya Ten memencet tanda video call pada kontak Johnny.

Toh, memang seharusnya ia menelpon seseorang yang sudah dengan baik hati mengirimkannya hadiah bahkan tengah malam seperti ini sampai harus menyuruh managernya memberikan padanya tepat waktu, kan?

Tanpa hitungan menit, layar iPad milik Ten suddah terpampang wajah Johnny dengan cahaya yang redup di dalam kamarnya, Johnny terlihat sedang menyender seperti Ten.

Tidak ada yang memulai percakapan terlebih dahulu, sunyi, sangat sunyi, keduanya sama-sama diam.

Demi memecah kesunyian diantara keduanya, Johnny berdeham lalu membuka mulutnya, mengeluarkan beberapa patah kalimat, “Sudah sampai titipan dari aku?”

Ten mengangguk kecil, “Eum.. Udah Kak. Makasih ya, ngerepotin banget...”

Johnny tersenyum, setidaknya titipannya benar-benar diberikan pada Ten tepat waktu pergantian hari di sana, “No need, Tennie, itu memang sudah aku niatkan dari lama. Maaf ya cuma bisa kasih itu, aku sempat bingung mau kasih apa tapi semoga kamu suka sama jasnya.”

“Kak, aku suka, suka banget.” Ucap Ten senang membuat Johnny yang melihatnya ikut tersenyum gemas, Ten memang tidak pernah berubah, selalu senang jika diberi hadiah.

“Kak, maaf ya...”

“Kenapa minta maaf?”

“Aku bahkan nggak ngucapin sewaktu kamu ulang tahun kemarin. Jangankan ucapan, kadopun aku nggak ngasih.”

Mendengar ucapan yang dilontarkan Ten dengan mata yang terlihat sedih, Johnny tersenyum, tersenyum sangat manis kearah Ten yang ada di layar sana, “Gapapa Tennie, aku ngasih kado ke kamu bukan buat kamu ngerasa bersalah gini. Enjoy your bday time, Tennie.”

“Terima kasih, Kak.”

Setelah ucapan terima kasih Ten yang kedua kali, Johnny hanya mengangguk sebagai jawaban sama-sama dan keduanya kembali diselimuti kesunyian.

“Kak, i miss you.

I miss you too, Tennie.”

No, i mean it. I really miss you, a lot, Kak.

Johnny tersenyum miris sedangkan Ten pundaknya semakin melorot, kesunyian sudah berganti dengan kesedihan yang menyelimuti diantara keduanya. Suasana ini, keduanya tidak inginkan.

“Tennie, sudah ya? Kita berdua kan sudah sepakat nggak akan bahas ini lagi. Kamu bahagia dengan jalan kamu, pun aku bahagia dengan jalanku. Maaf.”

Ten menggeleng, tangannya sedikit pegal memegangi iPadnya sejak tadi maka dari itu ia menjadikan kedua kakinya sebagai penyanggah iPadnya, Ten diam tanpa satu kata pun keluar dari mulutnya, Ten hanya memandangi Johnny dengan cahaya yang redup di kamar Johnny.

Namun ia bisa melihat kilatan mata dan senyuman kecil tercetak di wajah Johnny.

“Kamu gimana Kak?”

“Aku gimana apanya Tennie?'

“Kamu, bahagia?”

Johnny mengangguk, “Aku bahagia. Maka dari itu, kamu juga harus bahagia, ya?”

Ten mengangguk.

“Janji?'

“Iya, aku janji.”

“Yasudah, kamu tidur ini sudah malam.”

Ten kembali mengangguk, “Makasih Kak, sekali lagi. Daah.”

Good night, Tennie.”

You too, Kak.”

Setelah Ten mengakhiri sambungan telepon dirinya dengan Johnny, Ten mengunci iPadnya lalu membawa iPad miliknya juga jas dari Johnny yang sejak tadi berada dalam pelukannya itu, ia letakkan kedua barang itu di atas meja, bersebelahan dengan surat yang Johnny berikan bersamaan dengan hadiah tersebut.

Ten kembali membawa tubuhnya menuju kasur lalu menarik selimut dan menyelimuti tubuhnya sampai menutupi lehernya, ia menghadapkan tubuhnya ke arah kanan lalu perlahan menutup matanya, berniat untuk menjemput mimpi yang sudah menunggu.

Namun, bukan mimpi yang menunggu, tetapi realita yang harus ia hadapi ke depan, bahwa hubungan dirinya dengan Johnny sudah berhenti sejak beberapa bulan lalu.

Air mata miliknya perlahan menetes jatuh dari mata miliknya yang sudah tertutup sejak tadi hingga membasahi bantal miliknya.

Sedangkan Johnny setelah sambungan telepon dirinya dengan Ten berakhir, lelaki itu kemudian langsung menghela nafas berat. Johnny mengelus layar iPad miliknya kemudian bergumam, “Aku juga. Aku juga kangen. Kangen kamu, kangen kamu yang selalu ada dalam cerita harianku, kangen kamu yang selalu menceritakan kegiatanmu apapun itu tanpa terlewat, kangen kamu yang selalu bawel tentang aku yang selalu meminum kopi tanpa ingat kesehatan tubuhku, dan aku kangen, kangen semua tentang kita.”

Seperti orang aneh, namun Johnny benar-benar memeluk iPad yang tadi ia gunakan untuk melakukan video call dengan Ten seakan-akan iPad tersebut adalah sosok Ten yang sangat ia rindu mengisi kekosongan dalam pelukannya.

“Bahagia, Tennie.”


Yaudah, selamat ulang tahun Ten dan juga selamat ulang tahun Johnny meskipun ini agak telat ya bun.

@roseschies.


Tama yang sedaritadi duduk di depan ruangan dengan Sabil yang sudah tertidur di gendongannya langsung melihat Johannes yang sedang berlari-lari di ujung lorong menuju dirinya.

Wajah Johannes benar-benar jauh lebih berantakan dari sebelum ia bertemu dengan Johannes, mukanya terlihat sangat capek. Yang bisa Tama yakin adalah lelaki ini habis menyelesaikan atau mengobrol dengan Amanda semalaman kemarin.

Oh, bahkan Tama bisa menghirup bau alkohol yang biasa selalu menempel di tubuh Johannes ketika ia mabuk tiap malam.

Tanpa berbicara, Tama hanya bisa menunjuk ruangan tersebut dengan matanya membuat Johannes langsung buru-buru masuk ke dalam ruangan tersebut meninggalkan Tama yang kembali duduk menunggu Mamanya keluar bersama Arga.

Tiba-tiba saja ada seorang suster mendatangi dirinya lalu memberikan sebuah surat pada Tama, “Mas, maaf ini ada titipan dari Bapak dan minta dikasih ke anaknya, Johannes.”

Tama mengangguk lalu menerima surat tersebut, “Makasih ya suster..”

Suster tersebut mengangguk dan meninggalkan Tama, Tama mengantongi surat tersebut menunggu sampai Johannes keluar.

Melihat Johannes yang masuk ke dalam ruangan, Mama dan Arga langsung keluar tanpa di suruh.

Johannes langsung lari menuju tubuh kaku milik Papanya, air matanya tentu tidak berhenti menetes melihat tubuh milik Papanya terbaring di sana dengan suara detak jantung mati yang mengisi seisi ruangan menambah kepedihan yang ada di hati milik Johannes.

Ia tertampar realita, Papanya sudah meninggal, meninggalkan dunia juga meninggalkan dirinya.

Johannes menangis sampai meraung di pinggir kasur Papanya, lelaki itu beberapa kali memegang tangan milik Papanya yang sudah dingin, matanya takut-takut menatap wajah damai milik Papa yang sudah tidak bernyawa.

“Papa bangun..”

Lagi-lagi Johannes terus mengusap tangan Papanya yang sudah dingin, ia berharap tangan milik Papanya kembali hangat, sama hangatnya dengan tangan miliknya.

“Pa, Papa bangun Pa.”

Bibir milik Johannes bergetar, air matanya sudah tidak tau berapa banyak keluar dari matanya.

Tangisan Johannes semakin kencang, begitu memilukan untuk siapapun yang mendengar tangisan tersebut.

Johannes membawa tangannya dan pelan-pelan ia memberanikan melihat wajah damai milik Papanya.

Tangannya bergetar hebat dan pelan mengelus pipi milik Papanya. “PAPA BANGUN!”

“PA JANGAN TINGGALIN ANES SENDIRI PA... PA ANES TAKUT, PAPA JANGAN TINGGALIN ANES...” Johannes terus berteriak meminta Papanya untuk bangun secepat mungkin, Johannes ingin Papanya menolak fakta bahwa dirinya sudah meninggal.

Johannes kembali menggoyangkan lengan Papanya, “Paa... Papa bangun, Pa!”

Mama tiba-tiba datang setelah mendengar beberapa teriakan dari Johannes, Mama menepuk pundak milik Johannes pelan. Tanpa kata, Mama datang hanya untuk menenangi Johannes yang sedang terpukul akibat ditinggalkan oleh Papanya.

“Papa saya ngga sakit, Papa saya sehat. Papa bangun, Pa, ayo ngomong sama Anes. Marahin Anes Pa. Pa, Anes udah ngelakuin semua yang Papa Mau. Ayo Papa bangun Pa. Pa... Pa, Anes- Papa... Bangun Pa.”

“Pa, Anes, Anes, minta maaf, Papa ayo bangun Pa.. Papa Anes mau minta maaf, Anes mau sujud di depan Papa. Pa, Anes harus apa sampai Papa maafin Anes. Anes harus apa sampai Papa bangun?!”

Tiba-tiba Johannes menjatuhkan tubuhnya di sebelah kasur dimana tubuh Papa terbaring membuat Mama langsung terkejut melihat anak itu mendudukkan dirinya di lantai.

“PAPA BANGUN ANES UDAH DUDUK DI BAWAH ANES MINTA MAAF SAMA PAPA AYO PAPA BANGUN.”

“Johan, sayang, bangun ayo. Johan bangun dulu sayang.”

Johannes menggelengkan kepalanya, “Saya mau begini sampai Papa saya bangun dan memaafkan saya.”

Mama menghela nafas, “Johannes, bangun. Papa kamu harus segera dibersihkan, ayo sayang.”

“PAPA SAYA BELUM MENINGGAL!”

“Papa saya... Papa saya beneran meninggal... Meninggalkan saya....”

Johannes menundukkan kepalanya.

Benar, benar Papanya sudah meninggal, fakta yang tidak bisa lagi dipungkiri oleh Johannes.

Tubuh dingin, alat detak jantung yang sudah menyatakan bahwa Papanya meninggal pukul dua siang.

Semua ada bukti tepat di depan mata Johannes.

Dengan dibantu oleh Mama, Johannes keluar dari ruangan tersebut lalu menemui Tama yang masih duduk di sana.

Johannes duduk di sebelah Tama, matanya sembab, hidungnya merah, rambutnya sangat berantakan, bahkan bajunya sudah sangat lusuh.

“Mama kebawah dulu ya, Sabil mau sama Mama aja kasihan kamu keberatan Nak.”

Tama menggeleng, “Nggak usah, Sabil sama Tama aja. Mama hati-hati.”

Mama mengangguk lalu turun kebawah untuk membeli minum dan roti, tentu untuk Johannes.

“Bokap lo semuanya udah diurus sama Arga.” Ucap Tama tiba-tiba membuat Johannes hanya bisa menghela nafas.

Arga, sahabatnya itu bahkan sebenarnya tidak benar-benar meninggalkan dirinya, sahabatnya itu terus merawat Papanya disaat dirinya sama sekali tidak peduli dengan Papanya.

Untung Tama ingat, Tama langsung mengeluarkan surat yang tadi dititipkan oleh suster.

“Nih, dari bokap lo. Gue ngurus administrasi bokap lo dulu bareng Arga.”

Setelahnya Tama berdiri, meninggalkan Johannes sendirian di sana.

Pelan-pelan Johannes buka surat tersebut yang di dalamnya ada satu kertas yang sudah terlipat.

Johannes buka kertas tersebut dengan jantung yang terus berdebar, entah fakta apa lagi yang akan ia ketahui dari kertas ini.

Untuk anak Papa, Johannes.

Anes, gimana kabar Anes?? Papa kangen sama Anes, tapi Papa lagi nggak dibolehin keluar karena Papa sedang di rawat di rumah sakit. Maafin Papa ya nggak bilang tentang ini dan semua tentang penyakit Papa yang selama ini Papa rasakan.

Papa nggak bisa lagi tahan penyakit Papa supaya ngga kabuh dan bikin panik Anes nantinya. Papa berusaha nutupin semua tetapi Papa gagal. Penyakit Papa terus kambuh dan akhirnya Papa diantar Arga untuk periksa dan dinyatakan harus di rawat intensif di rumah sakit. Sekali lagi, maafin Papa ya Anes.

Anes, Papa nggak akan ninggalin Anes sampai kapanpun, Papa selalu ada disebelah Anes. Semua yang Papa minta, semua demi Anes. Cuma demi Anes. Maaf kalau sejak dulu rasanya Papa jarang memberi perhatian lebih untuk Anes juga Mama sampai membuat Anes berfikir kalau Papa membenci Anes.

Anes, perlu Anes ketahui kalau Papa sangat menyayangi Anes. Papa ngga pernah bohong ketika Papa bilang, Papa sayang sama Anes, anak kesayangan satu-satunya Papa.

Anes, Anes ingat nggak, tetangga kita yang dulu Anes selalu bilang lelaki itu terlalu gendut dengan pipi yang tembam dan merah. Tetangga kita yang pindah entah ke kota mana. Tetangga kita yang Anes tangisi sampai pingsan karena kepergiaannya. Tetangga kita yang Anes cari keberadaannya meskipun ketika lelaki itu ada di samping Anes, Anes hanya bisa mengeluarkan kalimat-kalimat pedas dari mulut Anes tetapi ketika lelaki itu hilang, Anes menangis terus menerus mengatakan bahwa Anes merindukan sosok lelaki itu. Anes ingat kan??

Lelaki itu, ada di sebelah Anes. Selama ini lelaki itu ada di sebelah Anes. Lelaki itu adalah Adhitama, suami Anes. Suami Anes yang Papa jodohkan untuk Anes.

Maaf sekali lagi kalau Papa tidak memberitahukan Anes tentang fakta Adit, tetangga kita dan lelaki yang selalu Anes tangisi.

Anes, mungkin ini bakal jadi pesan terakhir buat Anes dari Papa karena rasanya Papa sakit sekali Anes. Maaf Papa ngga bisa nemenin Anes sampai akhir hidup Anes, tetapi ingat Papa akan terus ada di samping Anes meskipun nanti Anes nggak bisa lihat keberadaan Papa.

Anes, lanjutkan hidupmu ya Nak. Hidup bahagia dengan caramu. Papa akan selalu maafin Anes, karena Papa tau Anes punya pemikirannya sendiri. Sekarang, Anes nggak perlu kesal ketika Papa banyak menuntut Anes ini itu, karena Papa nggak bisa lagi ngomong dengan Anes. Papa hanya bisa datang lewat mimpi Anes, tiap malam.

Anes, jangan lagi menyakiti orang lain dan diri Anes sendiri ya? Banyak orang yang sayang sama Anes, termasuk Papa, Adhitama, dan juga Sabil.

Nak, Papa pergi ya?? Bahagia selalu anak Papa.

Kertas tersebut sudah basah dengan air mata Johannes yang terus menerus menetes selama ia membaca surat yang ditulis mati-matian oleh Papanya yang sedang kesakitan di rumah sakit, sedangkan dirinya sibuk mengurusi orang lain yang bahkan sudah menghancurkan dirinya sampai berkeping-keping.

Ketika Johannes selesai membaca surat tersebut dan masih menangis dengan wajah yang ia kubur di tangkupan tangannya, Tama tiba-tiba datang memberikan minuman dan roti yang sebelumnya dibelikan oleh Mamanya.

Johannes menerima minuman dan roti tersebut namun tidak langsung meminum atau memakan, ia langsung menatap Tama yang duduk di sampingnya dengan Sabil yang ada di gendongannya, masih tertidur.

“Saya putus dengan Amanda, Amanda hamil dan akan nikah dengan pacarnya, pacarnya mau bertanggung jawab.”

Tama mengangguk, “Nanti pulang, tolong tanda tangan kertas yang ada di ruang TV.”

“Kertas apa?”

“Perceraian kita, Johannes.”

Tama kemudian berdiri dan menjaga tubuh Sabil agar tidak jatuh dari gendongannya kemudian menatap mata Johannes lekat-lekat.

“Ini kan yang lo mau? Ditinggal sama Papa, temen lo Arga, gue, dan Sabil.”

“Lo selalu terus ngebela Amanda, sampai lo lupa banyak orang yang sayang sama lo di belakang itu semua. Sekarang, gimana Johannes? Lo bahkan ditinggal sama Amanda yang selalu ngebela lo.”

“Selamat, setidaknya keinginan lo benar-benar tercapai, semua.”

Johannes memegang tangan milik Tama kemudian menatap mata Tama, “Adit.... Dit...”

Tama menghela nafasnya panjang, mati-matian ia menahan tangisannya, nama itu keluar dari mulut yang memang seharusnya memanggil nama dia seperti itu dan cuma satu-satunya orang yang memanggil nama itu pada dirinya.

Tama melepas genggaman tangan Johannes kemudian meninggalkan Johannes.

Tama pergi bersama Sabil yang tertidur dalam pelukannya meninggalkan Johannes dengan setumpuk penyesalan yang ada di dalam dirinya.

Johannes, perlu kamu tau, penyesalan selalu datang, di akhir.


Regrets; selesai,

@roseschies


Setelah sampai di rumah sakit, Tama dengan Sabil yang ada di gendongannya bersama Mama langsung menuju ruangan yang sudah Arga beritahu sebelumnya.

Sesampainya di ruangan tersebut, Tama langsung mendekat ke tubuh kaku Papa Johannes yang sudah menutup matanya dan suara detak jantung yang sudah mati langsung masuk menyapa indera pendengaran Tama.

Sabil turun dari gendongan Papanya dan hanya menatap tubuh terbaring milik grandpanya itu.

Tama dan Mama menangis melihat tubuh kaku dan dingin milik Papanya Johannes. Meskipun mereka tidak terlalu dekat, tetapi mereka tau, Papanya Johannes adalah orang baik penuh kasih sayang bahkan ke Tama juga Mama.

Grandpa ganteng Pi, grandpa lagi bobo ya Pi?”

Mendengar ucapan yang dilontarkan oleh Sabil, Tama semakin menangis, anaknya ini benar-benar tidak tahu apa-apa.

“Papi kenapa nangis? grandpa kenapa? Papi, tangan grandpa dingin banget Papi...” Sabil menyentuh tangan milik grandpanya itu, terlalu dingin bersentuhan dengan tangan sabil yang hangat.

“Sabil sayang, sini cium tangan grandpa.”

Sabil menatap Tama lalu Tama mengangguk, Sabil mencium tangan grandpanya yang dingin itu lalu memegang tangan tersebut, “Grandpa? Grandpa kok ngga bangun? Biasanya kalau Sabil kelitikin telapak tangannya grandpa bangun.. Papi, grandpa hiks- grandpa kenapa?”

Sabil menangis dengan tangannya yang masih berusaha menggelitiki telapak tangan grandpanya itu, ia menangis meskipun Sabil ngga tau apa yang terjadi pada grandpanya.

Tama memeluk Sabil dan mengelus surai milik Sabil, seingat Tama, Papanya Johannes lah yang pertama memilih Sabil.

Grandpa udah ngga lagi ngerasain sakit, grandpa udah di tempat yang lebih indah sayang.”

Grandpa sakit? Grandpa bangun ayo main sama Sabil lagi...”

Sabil menggoyangkan lengan grandpanya itu membuat Mama langsung berbisik kearah Tama untuk membawa Sabil keluar.

“Kabarin Johan, sayang.”

Ohiya Johannes, Tama hampir saja lupa.

Tama membawa Sabil dengan alasan akan membelikannya minuman dan roti, akhirnya keduanya turun kebawah membeli minum dan roti kemudian kembali ke ruangan tersebut namun mereka duduk di depan ruangan.

Tama sama sekali tidak melihat keberadaan Arga di luar, sepertinya Arga ada di dalam bersama Mama.

Tama langsung mengambil ponselnya untuk mengabari Johannes, semoga anak itu sudah menyalahkan ponselnya.


@roseschies


Esok harinya Tama langsung menancapkan gas mobilnya dan menuju rumahnya dulu, kediaman Mama dimana Mama dan Sabil yang selalu menunggu kepulangan Tama di sana.

Tama memarkirkan mobilnya di parkiran rumah lalu keluar dari mobil kemudian membawa kakinya melangkah menuju pintu masuk rumah.

Mama benar-benar menunggu Tama di depan pintu masuk, melihat Mamanya yang sedang berdiri di sana, Tama langsung berlari dan memeluk Mama.

“Ma, Tama berhasil. Semua udah selesai Ma..”

Mama memeluk erat anaknya itu lalu mengelus punggung Tama dengan sayang membuat Tama menangis dipelukan Mamanya. Mama akan selalu menjadi tempat Tama mengadu dan derai air mata selalu turun ketika ia merasa hidupnya terlalu berat di dalam pelukan Mama.

“Anak Mama kuat, Nak.”

“Ma, tama sayang sama Evano Ma...”

Mama hanya mengangguk-anggukan kepalanya dan mengelus surai lembut milik Tama, “Iya sayang...”

“PAPIIIIII!!!!!!!” Suara milik Sabil menggema di dalam rumah membuat Tama melepas pelukan dengan Mamanya dan menghapus jejak air matanya lalu tersenyum dengan hidung yang sembab kearah Sabil, Tama juga merentangkan tangannya, menyambut Sabil dengan pelukan.

Tama memeluk Sabil lalu menggendong anaknya itu, rasanya sudah berapa hari ia tidak bertemu dengan anaknya ini, benar-benar semakin gembil.

“Papi kenapa nangis?” Tanya Sabil melihat jejak air mata yang ternyata masih tersisa di pipi Tama membuat Tama menggelengkan kepalanya dan tersenyum.

“Papi jangan nangis, cupcupcup, ini cookies buat Papi punya Sabil. Engga apa-apa Papi makan, buat Papi yaa.” Sabil lalu memberikan kue yang sedaritadi ia pegang ditangan kanannya pada Tama.

Tama yang langsung disuapi kue langsung menerima kue tersebut, “Terima kasih ya sayang, cookiesnya enak.”

Sabil tersenyum senang lalu mencium pipi Tama cepat, Tama tersenyum dan ia menangis lagi, anaknya benar-benar menggemaskan.

“Sabil, kita pulang ya?”

“Pulang? Ketemu Papa? Ke rumah?”

Tama tersenyum lagi, tidak bisa menjawab pertanyaan Sabil.

“Sabil, main dulu sendiri sebentar gapapa? Papi mau ngobrol sama grandma.”

Sabil mengangguk lalu turun dari gendongan Papinya, “Iya gapapa Papi, Sabil punya banyak temen main di kamar!”

Tama mengelus surai milik Sabil, “Gih, hati-hati ya sayang. Nanti Papi ke kamar.”

Sabil langsung naik ke lantai dua menuju kamarnya yang sebelumnya itu kamar milik Tama

Mama mengajak Tama duduk di sofa kemudian kembali mengelus pundak milik Tama.

Tentu, sesuatu yang sangat ingin Tama ceritakan pada Mamanya tak lain dan tak bukan adalah tentang Amanda, Johannes, sampai fakta tentang Papanya Johannes yang sedang dirawat.

Banyak sekali reaksi yang dikeluarkan oleh Mama, tentu Mama hanya bisa membantin mendengar hal tersebut, ia tak tega dengan anaknya yang ternyata mengalami hari-hari begitu buruk jauh dari perkiraannya.

Fakta tentang Papanya Johannes yang sedang dirawat pun Mama tidak tau sama sekali, yang Mama tau, Papanya Johannes adalah pria yang sangat sehat.

Sedang menikmati obrolannya, tiba-tiba saja ponsel milik Tama berbunyi, di sana nomor tidak dikenal menelpon dirinya.

Tama langsung mengangkat panggilan tersebut sebelum semakin terdengar nyaring, “Halo dengan siapa ya?”

“Tama, ini gue, Arga.”

“Oh iya kenapa Ga?”

“Tam, ke rumah sakit ya... Bokapnya Johan meninggal.”

Tama terkejut mendengarnya bahkan jantungnya berdetak lebih cepat, “Lo jangan bercanda Arga.”

“Gue mana bercanda menyangkut nyawa orang Tama!”

“Gue kesana, sekarang.”

Tama langsung mematikan sambungan telepon tersebut lalu raut wajahnya yang terlihat panik langsung terlihat oleh Mama.

“Tama ada apa Nak?”

“Ma, Papanya Johan meninggal, barusan Arga telepon Tama.”

Mama tentu terkejut mendengar hal itu, ia bahkan baru tau fakta Papanya Johannes dirawat beberapa menit lalu.

“Kamu keatas dulu, temuin Sabil.”

“Sabil aku bawa Ma..”

Mama menghela nafasnya dan akhirnya mengangguk, menyetujui ucapan Tama.


@roseschies


Butuh waktu untuk Tama menunggu Johannes sampai ke titik lokasi yang sebelumnya Papanya Johannes sudah berikan pada Johannes sedangkan Tama diantar oleh Arga sesuai pesan dari Papa.

Tentu, Arga langsung mengumpat menunggu Tama selesai disuatu tempat tanpa ingin terlihat oleh Johannes.

Tak lama kemudian Johannes mengetuk pintu ruangan tersebut membuat Tama langsung menyahut menyuruh Johannes untuk masuk lalu menyuruh lelaki itu duduk di depannya.

Johannes benar-benar terlihat sangat berantakan, tetapi Tama tidak peduli untuk itu, ia kesini untuk menjalankan misinya, menjelaskan semua tentang Amanda melalui berkas milik Papanya Johannes, tentu berkas yang sebelumnya diberikan oleh Arga dan Nesya waktu lalu pada dirinya. Sekarang, saatnya dirinya yang menjelaskan semuanya pada Johannes.

Tanpa basa-basi, Tama langsung membuka map tersebut di depan Johannes membuat Johannes menaikkan alisnya, “Apa ini? Biodata Amanda?”

Tama mengangguk, “Lo mau tau kan, seberapa banyak yang udah gue tau tentang Amanda? Semuanya, ada di sini. Semua tanpa terlewat, Johannes.”

Johannes membuka lembaran selanjutnya, foto-foto Amanda dan pria yang ia lihat kemarin di club dan juga cafe.

“Lo udah liat kan ini pakai mata kepala lo sendiri? Iya, Amanda selingkuh di belakang lo, selama kurang lebih 2 tahun? atau satu setengah tahunan.”

Johannes masih sibuk membolak-balik melihat-lihat foto yang ada di sana, beberapa ada yang sudah ia lihat, awal-awal Papa memberikan bukti pada dirinya, dan beberapa baru Johannes liat saat ini.

“Lo ngga lupa kan ini rumah siapa?”

“Ini rumah yang saya belikan untuk Amanda tahun lalu.”

Tama mengangguk, “Lo liat ini, dengan jelas, Johannes.”

Tama menunjuk satu foto dan beberapa foto lainnya dimana di sana terlihat pria selingkuhan Amanda masuk ke dalam rumah, dan keluar rumah, selain itu pria tersebut memakai pakaian rumahan, kadang ada foto pria tersebut sedang menyiram tanaman yang ada di rumah, juga mobil pria itu terparkir rapih di sana layaknya rumah itu adalah miliknya.

“Amanda bawa selingkuhannya itu buat tinggal di rumah yang lo beliin buat Amanda. Sebenernya kita ngga nemu sejak kapan, tapi beberapa bulan lalu mereka keliatan tinggal berdua di sana. Lo sekarang tau kan alasan kenapa Amanda lebih milih di Apartemen yang juga lo beliin daripada di rumah itu. Ya karena di sana ada seseorang yang dia umpetin dan tinggal di sana layaknya rumah mereka berdua.”

Mendengar penuturan yang keluar dari mulut Tama sambil melihat bukti foto-foto tersebut membuat Johannes memijit pelipisnya, ia sudah sebodoh ini mempercayai semua kalimat yang keluar dari mulut Amanda untuk dirinya. Bodohnya lagi, ia terlalu percaya waktu Amanda bilang ia ingin tinggal di rumah sana bersama dirinya nanti kalau mereka sudah menikah padahal faktanya bukan itu.

Johannes kembali membuka lembaran lanjutnya, sudah berbeda kasus. Saat ini Johannes bisa melihat rentetan angka dengan nominal besar di sana.

“Lo suka ngirim duit kan ke Amanda? Tanpa lo sadar Amanda pakai duit yang lo kirim buat ngabisin waktu entah itu jalan-jalan atau berlibur ke luar negeri bareng sama selingkuhannya. Iya tentu pakai embel-embel rekan kerja.”

Johannes menggelengkan kepalanya, nggak mungkin. Nominalnya terlalu besar dan ia beri secara cuma-cuma untuk Amanda, Johannes sebetulnya hanya menjadi perantara supaya Amanda dan pacarnya itu berlibur pakai uang dan fasilitas yang diberikan Johannes.

Johannes tidak mengeluarkan sepatah kata, tangannya mengepal kencang, kepalanya terlalu pusing.

“Dan ini, kasus yang paling lo tutup mata Johannes, tentang kecelakaan nyokap lo tahun lalu.”

Tama membalikkan lembaran baru dan menampilkan judul kasus baru, kecelakaan Mamanya Johannes di tahun lalu.

“Lo bilang kan ke Papa lo dan Arga kalau sebelum lo pergi-pergi, lo itu seharian sama Amanda?”

“Bukan Amanda yang ngelakuin, bukan tangan Amanda yang ngelakuin kejahatan itu. Dia pakai tangan orang lain, Johannes.”

“H-1 sebelum keberangkatan, lo taro mobil lo di bengkel yang selalu jadi langganan lo buat periksa mobil lo itu supaya aman selama perjalanan. Dan Amanda pasti tau tentang itu, karena lo sama Amanda ngga cuma sebulan dua bulan menjalani hubungan. Lo nggak sadar kalau Amanda punya orang dalem di bengekl itu, dan dia pakai tangan orang dalem itu buat bikin rem lo blong.”

“Kenapa, kenapa?” Hanya itu yang keluar dari mulut Johannes setelah selama ini ia diam merutuki dirinya sendiri sambil memijit pelipisnya.

Tama menarik lembaran lain dimana alasan tersebut tertera dengan jelas di sana.

“Ini. Ini alasan Amanda kenapa dia sampai begitu Johannes.”

“Nyokap lo ketemu dan mergokin Amanda lagi bercumbu sama selingkuhannya itu di depan mata nyokap lo. Nyokap lo tentu belain nama lo dan Amanda tentu muter otak supaya nyokap lo ngga bocorin tentang ini ke lo secara Amanda tau, lo bakal percaya cuma sama Mama lo. Makanya dengan itu dia nyelakain nyokap lo.”

“Lo bisa selamat karena emang Amanda yang udah ngatur begitu Johannes, dia ngatur semua kecelakaan ini, dia dalang semua kecelakaan nyokap lo.”

Johannes menggebrak meja, ia tidak tahu ternyata Amanda sudah sejahat ini di belakang dirinya, dan ia selalu percaya dengan semua ucapan Amanda ketika ia bilang kalau dirinya melihat Papanya lah yang membuat remnya blong. Pada kenyataanya, Amanda sendiri lah yang membuat itu semua terjadi.

Dengan mata yang sudah menahan amarah, Johannes berdiri dari duduknya dan mengambil berkas tersebut lalu meninggalkan Tama, ia mau membawa semua berkas itu dan ia perlihatkan ke Amanda.

Tama tersenyum kecil melihat Johannes yang keluar dari ruangan tersebut dan tak lama kemudian Arga masuk ke dalam ruangan lalu langsung menepuk pundak Tama.

“Makasih dan maaf ya Tam. Lo beneran udah melakukan yang terbaik, sekarang sisa lo yang pilih jalan lo sendiri sesuai omongan bokapnya Johan, you have your own choice for your life, Tama.”

Tama mengangguk dan tersenyum pada Arga, “Thanks juga Ga. Gue mau balik ke nyokap sekalian jemput anak gue di sana. Gue harus ngobrolin banyak ke nyokap, sekali lagi thanks.”

Arga mengangguk, “Lo adalah manusia paling kuat yang pernah gue liat, Tam.”


@roseschies


Arga memberhentikan mobilnya di sebuah rumah sakit membuat Tama sedikit bertanya-tanya untuk apa Arga membawa dirinya ke sini? Lagipula dirinya baik-baik saja.

“Ayo turun, Tam. Ada yang mau ketemu sama lo.” Ajak Arga pada Tama untuk turun dari mobilnya yang sudah terparkir rapih diparkiran rumah sakit.

Tama turun dari kursi penumpang lalu berdiri di sebelah Arga.

“Ga, kita mau ketemu siapa? Siapa yang mau ketemu sama gue?” Tanya Tama membuat Arga menghadapkan dirinya menatap Tama.

“Papanya Johan.”

Mendengar ucapan yang keluar dari mulut Arga, Tama langsung terdiam dan mengikuti kemana langkah Arga membawa dirinya semakin masuk ke dalam rumah sakit.

“Arga, kapan?”

“Beberapa minggu lalu Tam, bokapnya Johan emang udah sakit cuma beberapa minggu lalu semakin parah jadi harus di rawat di rumah sakit. Awalnya bokapnya Johan nolak tapi gue paksa terus, karena emang makin parah Tam.”

Penjelasan dari Arga membuat Tama mengingat beberapa waktu lalu kejadian dimana ia melihat Papanya Johannes terus-terus batuk di rumahnya. Apa mungkin sejak itu Papanya Johannes memang sudah sakit tapi masih ia tutupi?

“Johan tau?”

Arga menggelengkan kepalanya, “Engga Tam, bokapnya ngga mau Johan tau. Bokapnya selalu nutupin dari Johan tentang penyakitnya dan bahkan sampai di rawat pun bokapnya tetep tutup mulut, yang ditanya ke gue juga cuma 'Arga, gimana Johan udah mau ninggalin Amanda? Dia mau ngga sama Tama? Gimana Tama?' Itu doang yang ditanya, gue sedih banget Tama.. Bokapnya Johan beneran sesayang itu sama Johan dari dulu, tapi sayang Johan beneran tutup mata tentang itu, dia cuma tau bokapnya benci sama dia dan Mamanya.”

Tama menghela nafasnya, bahkan ia sudah tidak tau mau bereaksi seperti apa lagi.

“Masuk Tam, beliau udah nunggu lo di dalem. Gue tunggu di sini ya.” Arga membuka pintu kamar dimana Papanya Johannes terbaring di sana. Tama mengangguk lalu meninggalkan Arga yang langsung duduk di bangku yang ada di dekat kamar tersebut.

Pelan-pelan Tama memasuki ruangan Papanya Johannes, “Permisi, Pa?”

Papa melihat kedatangan Tama langsung tersenyum lebar, ia menunggu kedatangan menantunya ini kemudian Papa melambaikan tangannya dan menyuruh Tama untuk duduk di kursi yang ada di sebelah kasurnya.

“Sini duduk, Adhitama.”

Tama mengangguk lalu duduk di sana, ia menatap lekat mata Papa yang sudah sayu.

“Apa kabar Adhitama?”

“Baik, Pa..”

Papa tersenyum manis lalu mengelus surai milik Tama, “Maafin saya ya. Maaf saya sudah bawa Adhitama ke permasalahan Johannes. Saya sudah tau sejak beberapa tahun lalu kalau Amanda begini, saya sudah mencoba cari banyak bukti yang sudah Adhitama lihat bersama Arga waktu lalu, saya juga sudah coba berbicara dengan Johannes tetapi anak itu tidak juga mendengarkan saya. Dia hanya terus membela Amanda karena bukti yang ada masih sedikit dan Johannes ngga percaya karena yang Johannes tau, Amanda baik dengannya. Tidak seperti saya, yang selalu dipandang jahat oleh Johannes.”

“Adhitama, mungkin salah pemikiran kolot saya yang mikir bagaimana kalau Johannes ketemu sama kamu lagi, dia bisa meninggalkan Amanda dan milih kamu. Tapi saya lupa Johannes itu selalu begitu sejak dulu. Saya ingat setelah kepergian kamu, ia menangis sampai pingsan dan hari-harinya hanya diisi memanggil nama kamu. Anak itu tidak tau sampai sekarang kalau yang ia cari dan ia tangisi sudah ada di sebelahnya sekarang. Ia terlalu buta untuk melihat itu.”

“Adhitama, semua saya balikkan ke kamu, terserah kamu mau gimana. Sekali lagi saya minta maaf karena sudah memaksakan perjodohan ini meskipun pada akhirnya Johannes enggan membuka mata hatinya tentang sesuatu yang benar tentang Amanda. Maaf, Adhitama. Saya pantas mendapatkan semua apa yang ingin kamu lakukan untuk saya.”

Tama yang sedaritadi hanya menunduk langsung mengangkat kepalanya dan menatap mata milik Papa, “Seharusnya Tama yang bersyukur bisa ditemuin sama Johannes lagi setelah berpuluh tahun, hangatnya pelukan Johannes masih sama dengan hangatnya pelukan Evano. Setidaknya Tama tau, Evano, teman kecil Tama, teman yang Tama sayang, teman yang janji bersama dengan Tama bakal terus bareng sampai dewasa dan saling menjaga satu sama lain. Janji Tama dan Evano semua sudah terpenuhi Pa, meskipun akhirnya cuma Tama yang ingat dan menjaga Johannes.”

Papa tersenyum kecil, “Nak, Tama, bahagia selalu ya?”


@roseschies


Nesya bersama Amanda dan pacarnya Amanda sudah aman di dalam cafe yang sudah dijadikan tempat dimana bukti akan terkuak semua hari ini.

Sedangkan Arga bersama dengan Deon dan Anan di dalam mobil yang tidak jauh terparkir di dekat cafe tersebut. Ketiganya menunggu di sana, entah menunggu Nesya, menunggu Tama, juga menunggu Johannes.

Dari kabar yang baru saja Deon dan Anan dapat dari Tama, Tama dan Johannes sudah di jalan menuju TKP.

Tak lama kemudian Arga bisa melihat mobil Johannes yang sudah terparkir lebih dekat di dekat cafe dan berjauhan dari tempat parkir dimana mobil Deon terparkir.

Oh, Arga juga bawa mobil, tapi ia parkir agak jauh dari sini supaya Johannes tidak curiga karena Johannes tau mobil Arga bahkan sangat hafal.

Ketiganya dapat melihat Nesya yang sudah beranjak dari tempat duduknya lalu menuju kamar mandi sebelum Tama dan Johannes keluar dari mobil.

Tanpa menggandeng tangan bahkan Tama harus membuka pintunya sendiri, keduanya turun dari mobil Johannes lalu jalan berdampingan masuk ke dalam cafe.

Tama lebih dulu menemukan keberadaan Amanda dan pacarnya yang ada di dalam cafe karena sebelumnya Nesya sudah bilang dimana ia duduk.

Tama tersenyum kecil melihat tangan pria tersebut melingkar di pinggang Amanda, keduanya terlihat sangat dekat, siapapun pasti tau kalau keduanya adalah sepasang kekasih. Amanda terlihat santai karena ia tidak takut, lagipula Nesya juga memang tau untuk apa Amanda tau.

Tetapi Amanda tidak tau kalau kegiatannya dengan pria yang ia sebut sebagai rekan kerjanya itu terlihat oleh Johannes yang tiba-tiba saja ikut melihat kearah pandangan Tama.

Johannes langsung membawa kakinya terburu-buru menuju meja di mana Amanda dan pria tersebut berada sedangkan Tama hanya mengikut dari belakang sambil melipat kedua tangannya di dada, mengekor langkah kaki Johannes.

Johannes tiba-tiba menarik lengan Amanda membuat Amanda tersentak hampir saja ingin memarahi siapapun yang berani menarik lengannya, tetapi ia urung niatnya ketika melihat kilatan mata Johannes di depannya, “Mas....”

Amanda ciut, ia gemetar sekarang, ia sudah tertangkap basah.

“Ini yang kamu bilang rekan kerja? Rekan kerja mana yang ngomongin kerjaan sambil peluk-pelukan pinggang, dan oh mata aku tadi ngga salah liat kamu cium pipi rekan kerja kamu?!” Johannes meninggikan suaranya di depan Amanda membuat perempuan itu kehabisan kata dan hanya gagu di depan Johannes.

“JAWAB AMANDA!” Suara Johannes menggelegar mengisi seisi ruangan sedangkan Tama hanya bisa tersenyum miring dibelakang Johannes, Nesya yang sudah selesai dari 'urusan kamar mandinya' hanya diam berdiri tidak jauh dari mereka.

“Mas... A-aku bisa jelasin, mas...” Ucap Amanda terbata-bata.

“Memang sudah seharusnya kamu jelasin ke saya, Amanda.”

Johannes menatap mata Amanda lekat lalu mendekatkan dirinya dengan tubuh Amanda, bahkan jarak mereka bisa diukur dengan penggaris kalau kata Tama. Dengan jarak sedekat itu dan tatapan Johannes yang sudah ingin memakan orang, siapapun pasti akan takut. Lelaki itu sudahlah besar semakin besar saja, Amandapun ciut.

“Aku tadi habis ini, ngebersihin kotoran yang ada di muka rekan kerjaku. Kita beneran cuma rekan kerja, mas.”

“Omong kosong. Selama saya ada di lingkup kerja, saya tidak pernah tau ada rekan kerja yang ngebersihin kotoran rekan kerja lainnya pakai bibir, Amanda.”

“M-mas... Aku-” Amanda tiba-tiba memeluk Johannes, ia bingung harus bagaimana lagi supaya Johannes percaya dan baginya sentuhan dari dirinya akan membuat Johannes melunak.

Tetapi, Johannes tetaplah Johannes. Lelaki itu hanya perlu bukti yang ada di depan mata. Ketika bukti itu benar-benar ada di depan matanya, maka ia akan percaya dan tidak percaya semua ucapan yang keluar dari mulut Amanda.

“Saya kecewa, Amanda.”

Johannes melepaskan pelukan Amanda lalu mendorong tubuh wanita itu, kemudian Johannes meninggalkan tempat tersebut bahkan ia tak lagi menatap mata Tama yang ada di belakangnya.

Johannes lari menuju mobilnya lalu memukul setiran mobil miliknya kencang dan meremas kepalanya.

Ia sudah percaya dengan orang yang salah.

Setelah ini, ia harus apa?

Tama yang melihat Amanda terduduk di sofanya sambil memijat pelipisnya langsung tersenyum kecil lalu Nesya mendekat dan berdiri di sebelah Tama.

Amanda langsung berdiri dan menunjuk wajah Nesya, “Jadi lo kerjasama sama ini orang, Nesya?!”

“Man, gue udah bilang sama lo pake cara yang baik, tapi lo selalu begini. Gue begini juga buat lo Amanda. Udahan Man, pilih satu, jangan semuanya mau lo bawa. Mereka manusia.” Nesya menghela nafas sedangkan Amanda kembali meremas kepalanya frustasi.

Tama tersenyum kecil melihat kearah Nesya ia berhutang pada wanita itu lalu pergi meninggalkan tempat dan masuk ke dalam mobil Deon, menemui Deon, Anan, dan Arga yang sudah menunggu dirinya di sana.

“Pasti lo berhasil ya Tam?” Tanya Arga setelah Tama masuk ke dalam mobil.

Tama mengangguk lalu menyenderkan tubuhnya sambil menatap jalanan.

“Gue tadi liat Johan keluar, mukanya bener-bener ngga bisa di definisikan lagi.” Tambah Arga, Tama hanya diam.

“Dia pasti tau, dia udah salah pilih orang yang bisa di percaya, Ga.” Celetuk Deon dan Arga hanya mengangguk setuju.

“Tam, ikut gue ya?”

“Kemana, Ga?”

“Ikut gue dulu aja, nanti lo tau kita kemana..”

Mendengar ucapan Arga, selain menurut apa lagi yang bisa Tama lakukan. Suara Arga juga terdengar serius.

“Yon, Nan, gue nitip Nesya ya tolong anterin si Nesya.”

Deon dan Anan mengangguk kemudian Tama dan Arga keluar dari mobil Deon dan menuju mobil Arga.

Sesampainya Arga dan Tama di mobil Arga, Tama hanya diam menatap jalanan kosong. Bahkan sudah sepuluh menit perjalanan, Tama sama sekali tidak membuka percakapan.

“Tam, lo udah melakukan yang terbaik.”

Tama mengangguk.

“Gue bingung Ga. Tadi sebelum Johannes pergi gue sempet liat mata dia, matanya bener-bener kayak orang yang bingung harus apa, dia linglung banget.”

Arga paham, ngga cuma Tama, Arga sebagai teman dekat Johannes sejak dulu juga ikut khawatir sedikit dengan Johannes setelah melihat raut wajah Johannes tadi.

“Gue ngga bisa banyak ngasih saran Tam. Kedepannya, semua balik ke lo. Pilih apa yang terbaik buat diri lo sendiri.”

Tama mengangguk kecil mendengar ucapan yang dilontarkan oleh Arga.

Ia harus menuntukan pilihannya kedepan untuk dirinya sendiri.

Entah memaafkan Johannes atau pergi meninggalkan Johannes yang berarti ia juga akan meninggalkan Evano.


@roseschies

// mentioning kissing alkohol rokok dunia malam //


Tama berdiri di depan club yang sebelumnya sudah Nesya beritahukan. Tama itu jarang sekali menginjakkan kakinya di club, seumur hidupnya bisa dihitung pakai jari ia menginjakkan kaki di dunia malam ini.

Tapi Tama juga bukan orang buta tentang dunia malam, setidaknya ia pernah beberapa kali meneguk minuman beralkohol dan merokok itu juga hanya ketika dirinya sedang stress berat maka kedua barang itu jadi teman baiknya.

Tidak ingin ketahuan seperti yang lalu, Tama jalan santai menuju bar yang tak jauh dari pintu masuk lalu ia memesan minuman dengan kadar alkohol rendah. Ia tidak mau mengambil resiko jika ia terlampau mabuk karena meminum alkohol dengan kadar sedang atau tinggi.

Layaknya pelanggan lain, Tama menikmati alunan musik yang dipasang disana dengan mata yang tidak berhenti menelusuri seisi club.

Malam ini club tidak terlalu ramai juga tidak terlalu sepi, memudahkan Tama untuk mencari keberadaan Amanda.

Tama hanya berharap Amanda tidak menggunakan ruangan khusus atau ruangan tertutup.

Baru saja Tama meneguk minumannya, ia melihat paras wanita yang familiar baru saja keluar dari kamar mandi dan menuju meja yang ada di ujung club tak jauh dari tempat dimana ia sedang duduk saat ini.

Tama kembali meneguk minumannya dan menelusuri Amanda yang sedang tertawa di depan pria lain, bukan Johannes.

Jari-jari Tama tidak berhenti mengetuk diatas meja, kakinya tidak berhenti bergoyang, matanya lekat lekat menatap interaksi Amanda dengan pria tersebut seperti Tama ikut dalam interaksi keduanya.

Berkali-kali Amanda tertawa dan menepuk lengan pria tersebut bahkan tangan pria itu melingkar dengan manis di pinggang Amanda.

Benar, itu selingkuhan Amanda.

Tama tersenyum kecil lalu kembali meneguk minumannya.

Tetapi detik selanjutnya, Tama hampir saja menyembur minumannya ketika ia melihat Amanda mencium pria di depannya.

Tama terkejut. Seharusnya Tama tidak terkejut tapi ia tetap terkejut.

Wow. Wanita itu berani sekali mencium pria lain di ruang terbuka, maksudnya mungkin memang Johannes tidak tau tempat ini, tapi bagaimana kalau tiba-tiba Johannes tau?

Tama melihat ciuman keduanya semakin dalam dengan tangan milik pria tersebut menyentuh bagian tubuh Amanda. Tama memijit pelipisnya rasanya pusing.

Bahkan sekarang Amanda sudah pindah duduk di pangkuan pria tersebut, ciuman keduanya semakin dalam.

Tama menggelengkan kepalanya, cewe gila.

Tama bangun dari duduknya lalu membawa dompet dan ponsel miliknya. Entah keberanian dari mana, Tama tiba-tiba menggebrak meja Amanda membuat Amanda yang sedang ada di pangkuan prianya itu langsung tersentak kaget.

“Ada apa s— Lo?!”

Tama tersenyum miring, “Oh ini lo dibelakang Johannes?? Udah gila.”

Amanda berdiri dan membenarkan bajunya itu lalu menatap Tama tak kalah sengit, “Terus, kenapa?”

“Lo tunggu sampe Johannes liat lo sama cowo lain di sini.” Ucap Tama kemudian memencet kontak bernama Mas Johan di ponselnya, ia menelpon Johannes.

“Kenapa lagi, adhitama? Saya sibuk.”

“Mas, aku punya sesuatu yang pasti kamu bakalan suka. Lokasinya aku kirim di imess. Segera datang karena ada tontonan bagus buat mas.” Ucap Tama, ia bela-belain untuk berbicara halus pada Johannes supaya lelaki itu tidak meneriaki dirinya dan meminta dirinya untuk sopan, terlalu memakan banyak waktu.

Tama tersenyum kecil melihat Amanda yang sudah sedikit panik karena tertangkap basah olehnya.

Tama mematikan ponselnya setelah mendengar dengusan nafas dari Johannes yang sepertinya mau menolak tawaran darinya. Tama langsung mengirim titik lokasi pada Johannes kemudian mengirim pesan, Datang, atau kamu bakal nyesel mas.

Tama menaruh ponselnya di saku celananya lalu melipat kedua tangannya di dada dan menatap Amanda yang sudah ketakutan.

“Lo mau apasih?!”

“Gue mau lo ketauan semua busuknya lo di depan Johannes.”

“Hahaha, in your dream, Atama.

“It's Adhitama, you asshole.”

“Apapun itu gue gak peduli. Bener kata Johannes, lo cuma orang yang suka ikut campur masalah pribadi seseorang. Ck. Bangga?”

“Oh, tentu. Ikut campur gue bisa buat bela negara. Emang lo, untungnya apa?”

Pria yang ada di sebelah Amanda hanya bisa diam, mengikuti arah permainan pasangannya itu.

Tama tiba-tiba menunjuk pria tersebut tepat di depan matanya, “Eh, lo dibayar berapa sama ni cewe?”

“Lo jangan kurang ajar!” Sahut Amanda lalu menepis tangan Tama yang sudah menunjuk wajah kekasihnya itu.

“Yang harusnya diajar banyak tuh lo, Amanda. Gue udah kebanyakan ajaran, lo yang perlu gue ajar. Atau lo mau gue hajar?!” Ucap Tama dengan tangan yang sudah melayang hampir ingin menampar wanita tersebut.

Tama itu punya prinsip tidak akan menyakiti anak kecil dan wanita manapun maka dari itu tangannya ia tahan sebisa mungkin.

Tetapi tiba-tiba Amanda memegang pipinya dan meringis kesakitan dan detik selanjutnya Tama dapat mendengar suara yang familiar di kupingnya.

“AMANDA!”

Suara Johannes.

Lelaki tinggi itu mendorong sedikit tubuh Tama yang ada di dekat Amanda lalu memegang tubuh kecil milik Amanda. “Kenapa? Pipi kamu kenapa?”

Amanda meringis, “Pipiku ditampar sama dia Mas, aduh, sakit banget ngga kira-kira namparnya.”

Tama sukses melotot mendengarnya, ia bahkan sudah capek capek nahan emosinya dan nahan tangannya supaya tidak menampar wanita itu, terus apa maksudnya ini.

“GUE NGGAK NAMPAR LO YA?!”

“ADHITAMA CUKUP. Seharusnya kamu tau, tidak baik menampar seorang wanita di ruang publik seperti ini! Kamu tidak malu?!” Johannes meninggikan suaranya membuat Tama mengepalkan tangannya. Ia lupa faktanya semua kalimat yang keluar dari mulutnya akan salah meskipun benar dan semua kalimat yang keluar dark mulut Amanda itu benar meskipun salah.

Tama tertawa, “Hahahah lo berdua sama brengseknya ya ternyata. Cocok. Pantes awet.”

“Adhitama, kamu berbicara apasih!”

“Amanda, mending lo jujur atau gue yang bocorin?!”

Amanda dengan tangan yang masih setia di pipinya langsung mendongakkan kepalanya lalu menatap Johannes dan Tama bergantian.

“Mas, aku dituduh sama suami kamu! Katanya aku selingkuh sama rekanku. Padahal dia yang seharusnya sadar diri udah ngambil kamu dari aku!”

Ucapan yang keluar dari mulut Amanda membuat Tama lagi-lagi melotot, tidak ia sangka.

“PEMBOHONG!”

“ADHITAMA.”

“LO BISA DIEM NGGAK JOHANNES?!”

“Lo harus tau ya, pacar lo ini, abis ciuman sama pria lain dan dia orangnya!” Tama menunjuk pria yang ada di depannya, pria itu diam benar-benar tidak membuka mulutnya.

“Dia? Dia itu rekan kerjaku! Kita lagi ngobrolin tentang kerjaan. Mas, kamu percayakan sama aku? Aw!”

Johannes mengelus lengan milik Amanda pelan, menenangkan kekasihnya yang sedih merintih kesakitan di pipinya yang padahal sama sekali tidaj ada rasa sakit disana.

Johannes mengangguk, “Iya aku percaya kok sama kamu, aku percaya kamu lagi ngobrol sama rekan kerja kamu.”

“PEMBOHONG!” Tama kembali berteriak di depan Amanda dan Johannes.

“ADHITAMA, CUKUP. Bukti. Saya minta bukti kalau memang benar Amanda ciuman dengan rekan kerjanya sendiri.” Ucap Johannes, menatap Tama lekat.

Bukti.

Benar, bukti.

Tama melupakan satu hal yang sangat penting.

Sebuah bukti.

Johannes hanya mempercayai bukti valid atau kejadian yang bisa ia lihat dengan mata kepalanya sendiri.

Tama merutukui dirinya sendiri. Ia melupakan bukti.


@roseschies


Benar saja, perjalanan Tama dari cafe tadi sampai rumah memakan waktu setengah jam lebih sedikit.

Setelah Tama memarkirkan mobilnya di parkiran rumah, Tama keluar dari mobil lalu masuk ke dalam rumahnya yang terlihat sepi. Bahkan rasanya tidak ada tanda-tanda ada Johannes di dalam rumah.

Tama masuk ke dalam kamarnya dan di sana Johannes juga tidak ada. Tama hanya bisa menggedikkan bahunya, tidak peduli juga ada dan tidak adanya Johannes, mungkin lelaki itu sedang mabuk tadi atau apa, terserah.

Tanpa mencari atau mengirim pesan untuk Johannes, Tama langsung mengganti baju dan bebersih diri di kamar mandi.

Mungkin lima menit Tama habiskan di dalam kamar mandi sesudahnya ia kembali keluar dari kamar untuk mengambil minum karena ia merasa haus.

Tiba-tiba pintu utama rumah terbuka kencang dan selanjutnya terdengar suara Johannes yang menggelegar mengisi kekosongan rumah. “ADHITAMA, DIMANA KAMU?”

Tama baru saja mau mengisi air minum ke dalam gelasnya, Johannes yang melihat Tama sedang berdiri di dekat meja makan langsung mendatangi Tama, lelaki itu terlihat sedikit tergesa-gesa dengan wajah yang merah padam, menahan emosinya.

PLAK.

Johannes menampar pipi Tama membuat lelaki itu langsung mengelus pipinya dan menatap Johannes nyalang, “APAAN SIH DATENG DATENG NAMPAR GUE?!”

“Kamu itu sudah berapa kali saya bilang sih? Kenapa belum paham juga?! Tinggalkan saya dan urusan pribadi saya. Jangan mengadu terus tentang saya ke Papa!”

“Papa saya tau kalau saya masih ketemu sama wanita yang kemarin kamu lihat. Selain kamu, siapa lagi yang bisa ngadu tentang itu ke Papa saya?!”

“GUE NGGA PERNAH NGADU, JOHANNES! LO KENAPA SIH SELALU BILANG GUE NGADU NGADUAN.”

“YA KARENA SELAIN KAMU SIAPA LAGI YANG BISA NGADU KE PAPA SAYA, ADHITAMA!”

“Kamu tau akibat dari kamu yang tidak bisa tutup mulut itu?! Wanita itu dibilang pelacur oleh Papa saya! Kami berantem semalaman karena kamu Adhitama! Karena kamu yang ngadu ke Papa saya!”

Tama berdecak kesal, “Ck. She deserves it, kok.”

“APA KAMU BILANG?!”

“DIA PANTAS DAPET KALIMAT ITU JOHAN. LO PUNYA MATA DAN KUPING YANG BAGUS KAN?!”

Johannes mengambil gelas yang seharusnya menjadi tempat minum Tama tadi dan ia lempar gelas tersebut kesembarang arah lalu menatap Tama lekat lekat, “NGOMONG SEKALI LAGI, ADHITAMA.”

“Amanda. Pantes dapet kalimat itu, Johannes. Lo denger semua kalimat gue dengan jelas.”

“Kaget? Kaget gue udah tau?? Gue tau, SEMUA, Johannes. Gue udah tau siapa wanita itu, siapa Amanda, dan apa yang udah Amanda lakukan. SEMUA.”

“Amanda bukan pelacur! Amanda bukan wanita murahan seperti apa yang udah Papa saya katakan pada Amanda, Adhitama!”

Tama mendorong sedikit badan Johannes lalu menunjuk tepat di depan mata Johannes, “Buka mata lo Johan! Dia itu sama sekali ngga cinta sama lo, dia cuma mau harta lo! Stop jadi manusia bodoh!”

Johannes mencengkram lengan Tama lalu menatap mata Tama, “Kamu kalau tidak tau apa-apa dan tidak ada bukti, jangan mengada-ada, Adhitama. Jaga ucapan kamu. Kamu tidak kenal dengan Amanda, jangan macam-macam.”

Tama tertawa keras mendengarnya, “Ck. Lelucon apa ini.”

“Silahkan, silahkan pergi dan lanjutkan pembelaan lo untuk wanita lo itu. Karena diakhir nanti lo akan tau semuanya, kalau wanita yang selalu lo sayang dan cinta itu cuma mau harta lo.”

“Diakhir nanti lo bakal sadar, siapa yang sebenarnya tulus dan selalu ada buat lo itu, bukan dia.”

“Lo bilang gue yang bakal nyesel karena udah terima perjodohan ini, kan? Let's see, diakhir nanti, siapa yang bakal menyesal. Johannes.”

Tama mendorong tubuh Johannes membuat lelaki itu erat-erat menahan kepalan di tangannya lalu membalikkan tubuhnya.

Johannes tiba-tiba memberhentikan langkahnya lalu kembali membalikkan tubuhnya dan menatap Tama dari kejauhan, “Kalau bukan karena kamu, hubungan saya dan amanda akan tetap baik baik saja, Adhitama.”

Tama hanya memutarkan bola matanya malas sedangkan Johannes membalikkan tubuhnya lagi lalu pergi dari rumah dan meninggalkan Tama.

Tama memijat pelipisnya, “Lo kenapa ngga mau dengerin gue sih, jangankan gue, Papa lo aja ngga di dengerin Johannes.”

Tama berjongkok untuk membersihkan bekas gelas yang pecah akibat Johannes tadi.

Kecerobohan Tama kembali terulang, lelaki itu tidak sengaja terkena pecahan beling lagi di telapak tangannya.

Tama meringis kemudian langsung buru-buru mencari obat merah di tempat P3K yang waktu itu sempat ia beli.

Oh, maid di rumah sudah Tama berhentikan semua, kasihan, hanya bisa mendengar suara teriak demi teriakan dari Johannes.

Tama membiarkan pecahan beling tersebut lalu duduk di sofa, pelan-pelan ia obati lukanya lalu ia pakaikan perban di tangannya.

Tama menghela nafas pelan. Bener kata Arga, sebanyak apapun lo ngomong tentang Amanda, anak itu tetap akan terus membela Amanda. Jalan terakhir cuma biarkan Johan ngeliat semuanya pakai mata kepala dia sendiri.

Sabtu besok, gue harus banget ketemu dan mergokin Amanda sama pacarnya. Semoga Nesya ngga bohong tentang ini. Batin Tama lalu berdiri untuk kembali melanjutkan kegiatan membersihkan pecahan beling tadi dengan pelan-pelan.


@roseschies