roseschies


Setelah menemui Sabil sebentar lalu berpamit dengan Mama, Tama akhirnya pergi menuju lokasi yang sudah dikirimkan oleh nomor yang tidak dikenal itu.

Lumayan memakan waktu lama untuk Tama sampai di titik lokasi tersebut, di sebuah cafe yang ada di pusat kota.

Tama memarkirkan mobilnya di tempat parkir khusus mobil lalu turun dari mobilnya setelah dirasa mobilnya sudah terparkir dengan benar.

Untungnya tempat parkir dan cafe dimana tempat janjian tidak terlalu jauh maka dari itu hanya butuh lima menit kurang akhirnya Tama sampai di cafe tersebut.

Tama lupa dirinya kan tidak tahu yang mana orang tersebut.

Tapi setelah Tama terlihat seperti orang bingung, seseorang dari ujung memanggil namanya membuat Tama mendongakkan kepala melihat kearah sumber suara.

Di sana ada 1 pria dan 1 wanita sedang duduk berdua dan melambaikan tangannya ke arah dirinya.

Tama membawa kakinya untuk mendatangi mereka.

“Adhitama, kan?” Tanya si pria tersebut lalu berdiri dari duduknyq, mengajak Tama untuk berjabat tangan.

Tama mengangguk lalu ikut menjabat tangan pria tersebut, “Iya bener kok.”

“Ohiya! Gue Arga, ini Nesya.” Ucap pria bernama arga kemudian menunjuk kearah wanita yang ada disampingnya dan memperkenalan wanita tersebut ke Tama.

Nesya yang diperkenalkan oleh Arga langsung berdiri dari duduknya lalu tersenyum lebar dan menjabat tangan Tama, “Hai, adhitama. Gue Nesya, majikannya Arga.”

“Ngomong lo yang bener Nesya.” Arga memukul pelan lengan Nesya membuat Nesya tertawa sedangkan Tama hanya terkekeh dan mengangguk.

“Eh duduk duduk, gue manggil lo apa nih nama lo kepanjangan btw.” Tanya Arga sambil menyuruh Tama untuk duduk di depannya membuat Tama mengangguk dan duduk di depan Arga.

“Panggil Tama aja.”

“Ok Tam. Nyantai kan?? Pesen dulu gih, gue sama Nesya baru pesen minum, makannya bareng sama lo aja.”

Arga memberikan satu buku menu untuk Tama kemudian Tama terima buku menu tersebut. “Nyantai kok, Ga. Lo berdua mau pesan apa??”

“Heh, lo mau pesen apaan? Main hp mulu bocahnya.” Arga menyenggol siku Nesya membuat wanita itu berdecak kesal.

“Apaan aja lah ngikut lo, bentar dulu ini kerjaan.”

Arga langsung menggelengkan kepalanya lalu menghadap Tama yang masih membolak-balikkan buku menu.

“Lo pesen apa Tam? Biar gue yang pesen, bills on me, don't worry.”

“Aihh, om banyak duit om.”

“Bacot Nesya.”

Tama terkekeh, pasangan yang aneh menurut Tama. Eh, mereka pacaran kan?

“Lo rekomen deh Ga, gue bingung. Anyway, thanks ya.”

“Oke, gue pesen dulu.”

Kemudian Arga memanggil waiters untuk memesan pesanan mereka dari makan sampai minum bahkan dessert untuk Nesya.

Setelah memesan semua pesanan, Nesya meletakkan ponselnya lalu menatap Tama yang baru juga meletakkan ponselnya.

“Tama, lo ganteng gini anjir, buta apa ya si Johan berlian macem Tama malah di buang. Ga, lo masih mau ngga sama gue? Kalo ngga gue sama Tama aja dah.” Ucap Nesya tiba-tiba membuat Arga menaikkan satu alisnya.

“Heh Nesya jadi cewe kok gatelan banget anjir. Kayak yang Tama mau aja sama lo. Sorry ya Tam, dia matanya kalo liat cowo ganteng suka begitu.”

Tama hanya tertawa mendengar hal tersebut. “Bisa aja.”

“Ehiya Tama, sorry ya gue sama ni cewe satu tiba-tiba ngechat ke nomor lo, oh iya itu nomornya Nesya save aja gapapa.”

“Iya save aja Tam, semisal lo bituh temen jalan gitu ya nggak.”

“Lo gue tampol atau diem Sya.”

Melihat Arga sudah jengkel, Nesya hanya tertawa. “Hehehe ampun Ga sumpah ampun.”

“Mau nunggu kelar makan atau gimana enaknya Tam?”

“Gue ngikut aja Ga.”

Arga mengangguk-anggukkan kepalanya lalu menyenggol siku Nesya memberi kode untuk wanita itu mengeluarkan berkas yang ada di dalam tasnya

Nesya mengeluarkan satu berkas berisi banyak kertas di sana lalu ia letakkan di atas meja. Tama yang melihat tumpukkan kertas itu langsung melongo kaget.

“Ini, beberapa informasi yang mau gue sama Nesya kasih tau ke lo. Entah tentang Johan atau wanita yang ada di depan Johan kemaren.”

Arga membuka map tersebut lalu memberikannya pada Tama.

“Amanda?”

Arga mengangguk, “Nama orang yang kemarin bareng sama Johan di resto.”

Tama kembali membaca biodata yang ada di depannya, meneliti satu persatu informasi yang ada di situ meskipun hanya informasi basic yang Tama ngga tau bakal kepake atau ngga.

Tama kembali membuka lembaran lainnya begitu seterusnya. “Ini udah dapet sebanyak gini bukti, Johan tau?”

Arga mengangguk, “Johan udah tau semuanya, Tam. Kecuali ada beberapa yang belum soalnya baru ditemuin sama bokapnya Johan. Sebenernya ini juga punya bokapnya Johan semua sih, seperti yang gue bilang bokapnya Johan bilang kalo lo pilihan tepat dan mungkin pilihan terakhir buat Johan, Tam.”

“Gue sebenernya ngga tau kenapa bokap Johan percaya banget sama lo, tapi karena bokapnya Johan percaya, gue juga harus percaya sama lo.” Lanjut Arga kemudian Tama kembali membalikkan lembar-lembar lainnya.

“Ini?”

Kali ini giliran Nesya yang mengangguk, “Iya itu rumah.”

“Dari Johan buat Amanda?”

Nesya mengangguk lagi, “Buka deh dibelakang ada beberapa foto sama penjelasan, gue yang ketik btw.”

“Lo TMI banget sumpah Nesya.” Celetuk Arga membuat Nesya menjulurkan lidahnya, terserah dia dong.

“INI? SUMPAH?” Tama tiba-tiba sedikit berteriak akibat terkejut melihat foto dan deskripsi yang katanya ditulis oleh Nesya di sana.

Tetapi Nesya kembali mengangguk mantab, “Semua yang lo baca itu beneran Tama, gue, Arga, dan bokapnya Johan udah cari selama setahun ini, kayaknya. Tapi, fakta yang itu Johan belum tau soalnya gue juga baru tau beberapa minggu belakangan ini karena Amanda cerita.”

Mendengar ucapan Nesya, Tama menatap Nesya heran, “Amanda cerita ke lo?”

“Ohiya gue lupa bilang, gue temennya Amanda.”

“Cih temen tapi ngebongkar rahasia temennya di belakang.” Celetuk Arga membuat Nesya mencubit siku Arga.

“Heh, informasi gue berguna ya buat bantu lo dan bokapnya Johan.”

Tama jadi bingung mau bilang Nesya teman supportif atau teman yang nusuk dari belakang ya.. Tapi informasi dari Nesya benar-benar mencengangkan.

Tama akhirnya paham kenapa Papa benar-benar sekeras itu sama Johannes tentang perjodohan ini.

Mungkin salah satunya ingin menyadarkan Johannes tentang Amanda, meskipun pada akhirnya Johannes akan tetap tutup mata.

“Ini soal kecelakaan nyokapnya Johan?” tanya Tama sambil menunjuk satu lembaran di depannya.

Arga mengangguk.

Tama kembali membaca dan matanya berkali-kali melotot terkejut, yang benar saja.

“Johan udah tau yang ini?”

Arga mengangguk lagi, “Udah Tam. Tapi lagi-lagi dia buta akan hal itu, soalnya emang sebelum keberangkatan Johan sama nyokapnya itu, Amanda bareng sama Johan terus.”

“Tapi, Johan nggak tau tentang fakta yang ini,” Arga menarik satu lembar lainnya lalu ia letakkan di depan Tama.

Tama membaca pelan kemudian dirinya menutup mulutnya terkejut, “Sinting. Gila.”

“Alasannya kenapa? Nggak mungkin ngga ada alasan kan Ga?” Tanya Tama lagi membuat Arga menarik lembaran lain lalu meletakkan lemaban tersebut di depan Tama.

“Itu, alasan yang dijabarin Amanda ke Nesya. Amanda cerita semua ke Nesya.”

Manusia, gila semua.

Tak lama kemudian makanan satu persatu sudah dihidangkan membuat Arga langsung membersihkan berkas-berkas tersebut lalu ia taruh di tas Nesya.

Ketiganya makan dengan khidmat kecuali Tama yang kepalanya sedang penuh dengan banyak pikiran. Tama tak habis pikir ada seseorang sejahat itu.

Dan sayang, Johannes buta akan kejahatan Amanda karena yang ia tahu Amanda selalu ada untuk dirinya.

“Kalo gue jadi Johan mah udah mending sama Tama aja daripada si Amanda. Kaga ada benernya dah tu cewe.” Celetuk Nesya sambil membereskan barang-barangnya karena ketiganya sudah selesai membicarakan banyak hal tentang Johan, juga Amanda.

Mendengar ucapan yang diceletukkan oleh Nesya, Arga langsung menggelengkan kepalanya, “Temen lo anjir Sya.”

“Bodoamat gue muak banget ngomongnya ke dia juga.”

“Ohiya Tam, nanti kalo lo butuh apa apa langsung chat ke gue aja ya Tam. Sengaja ke gue soalnya kalo Arga sibuk, anaknya sok sibuk sebenernya.” Ucap Nesya kemudian berdiri sambil memakai tasnya.

Tama terkekeh, “Oke thanks ya Nesya.”

“EH TUNGGU GUE LUPA!” Nesya tiba-tiba kembali duduk dan menyuruh Arga juga Tama yang sudah berdiri kembali duduk kemudian mengeluarkan satu map yang tadi tidak Tama lihat sama sekali.

“Apa lagi anjir Nesya.” Arga mengerang sebal dengan kekasihnya itu.

“Ini, lo pegang buat lo aja Tam. Biasanya setiap hari sabtu, Amanda selalu ke club ini bareng pacarnya itu, kadang sabtu kadang jumat, pinter-pinter Amanda aja biar ngga ketauan Johan.”

Nesya membuka lembaran pertama berisi informasi tentang club yang biasa didatangi oleh Amanda dan pacarnya itu.

“Cuma kemaren Amanda ngomong sama gue katanya sabtu ini dia bakal ke sana. Lo dateng aja jam 11 an. Oh iya, nih foto Amanda barang kali lo lupa bentuk wajahnya gimana. Sama ini, plat mobil Amanda, ini plat mobil pacarnya. Semoga belum ganti, Amanda main bersih banget Tam soalnya, gue juga ngga tau dibelakang dia punya kendaraan lain lagi apa ngga.”

Nesya menjelaskan satu persatu sambil menunjuk fotonya satu persatu memberi tahu kepada Tama, Tama mengangguk paham.

“Thanks banget Nesya, ini ngebantu banget. Gue bakal datengin nanti.”

Nesya mengangguk lalu kembali berdiri dan menggandeng tangan Arga.

“Thanks juga ya Tam udah mau dateng.” Arga kembali mengajak Tama untuk berjabat tangan.

Tama membalas jabatan tangan Arga kemudian tersenyum, “Gue yang makasih sama lo berdua.”

“Sumpah Tam, lo kalo senyum manis banget, iri gue. Ngga kayak Arga, manisnya ngga ada.” Ucapan Nesya dihadiahi cubitan kecil di tangan Nesya dari Arga.

Tama tertawa, “Jagain Ga cewe lo hahaha.”

“Biarin aja dia mah emang cewe gatelan, nanti juga kalo bosen baliknya ke gue lagi.”

Mendengar candaan Arga, Tama hanya bisa tertawa.


@roseschies


Hari ini Tama memutuskan untuk membuntuti Johannes dari kejauhan.

Dan sampailah Tama di sebuah restoran di mana Johannes sedang menarik bangku lalu mempersilahkan wanita yang ada di depannya untuk duduk di sana.

Tama ingin muntah melihat wajah Johannes yang seperti anak abg sedang jatuh cinta. Menggelikan.

Tama curiga sebenarnya Johannes diberi love potion oleh wanita itu.

Oke, lupakan.

Tama kembali melihat kearah wanita yang ada di depan Johannes.

Cantik. Anggun. Tipe wanita yang akan disukai oleh banyak pria di luar sana. Pantas saja Johannes sampai menentang dan tidak rela melepas wanita itu.

Jika dilihat dari luar, wanita itu terlihat wanita yang sangat baik, terlihat dari bagaimana wanita itu sesekali mengelus pelan tangan Johannes yang bahkan Tama sama sekali belum pernah memegang tangan tersebut — Selain ketika Johannes mabuk, bahkan wanita itu sesekali mengelus lembut pipi milik Johannes.

Johannes juga beberapa kali terkekeh dan tertawa ketika berbicara dengan wanita yang ada di depannya, lembut sekali seperti pantat bayi. Bahkan Tama tidak tau jika Johannes benar-benar ada sifat yang seperti ini.

Berbeda dengan Tama yang rasanya terlalu bar-bar untuk Johannes.

Sebentar....

Tama, ini bukan waktunya lo buat bandingin diri lo sama tu cewek. Batin Tama mengingatkan kembali isi pikirannya untuk kembali fokus.

Tama terlalu fokus melihat kegiatan keduanya sampai sampai ia bengong dengan buku menu yang ada di depannya.

“Jangan terlalu sus, Tama. Ayo pura-puranya lo lagi makan juga disini. Anjirlah ini makanan mahal amat, si Johan duitnya lari ke perut tu cewe doang apa gimana?” Tama bermonolog sambil membulak-balikkan buku menu tersebut.

Matanya masih tidak bisa lepas dari pandangan dimana sekarang Johannes sedang mengelap pinggir bibir wanita tersebut. Bukannya sakit yang dirasakan Tama, ia merasa geli. Johannes????? Ia seperti manusia yang kesurupan, berbeda sekali.

Terlalu fokus memerhatikan mereka, Tama tidak sadar kalau wanita tersebut sadar akan kehadiran Tama di sana.

Tama langsung menatap kesembarang arah dan kembali menatao buku menu yang sejak tadi ia belum juga memutuskan mau beli makanan apa.

Wanita tersebut seperti memberi tahu pada Johannes bahwa ada seseorang yang memerhatikan mereka membuat Johannes langsung melihat kearah dirinya.

Beruntung punya tubuh kecil, ketutup satu buku menu. Aman, pikir Tama.

Tidak, tidak jadi aman.

Johannes tiba-tiba berdiri dari tempatnya lalu berjalan menuju tempat duduknya.

Johannes menarik lengan Tama kencang membuat Tama sedikit memekik kesakitan.

“APAANSIH?!” Tama berteriak kesakitan lalu menarik tangannya dari cengkraman Johannes.

Tanpa menjawab ucapan Tama, Johannes kembali menarik tangan Tama lalu membawa lelaki itu menjauh dari wanita tersebut.

“LEPASIN GUE! SADAR DONG TENAGA LO TUH KUAT!” Tama kembali menarik tangannya lalu terlepas dari cengkraman kuat Johannes.

Johannes menatap Tama dengan tatapan tidak suka, “Kamu tidak sopan, Adhitama.”

“Ngapain kamu sampai ngikutin saya? Saya juga punya privacy.”

Tak menjawab ucapan Johannes, Tama menunjuk wanita yang tadi bersama Johannes menggunakan matanya, “Oh, itu wanita yang dimaksud?”

“Kamu pulang sana. Jangan buat keributan di sini, Adhitama.” Johannes mengusir Tama dari restoran tersebut tetapi yang diusir hanya berkacak pinggang.

Dengan lantang Tama berteriak sampai hampir seisi restauran menatap kearahnya, “Harusnya dia malu udah ngerebut suami orang!”

“ADHITAMA.” Johannes menampar wajah Tama sedikit kencang sampai meninggalkan kemerahan di pipi putih milik Tama.

“TAMPAR GUE TERUS TAMPAR! Harusnya lo malu Johan!”

Tama langsung membalikkan tubuhnya menuju meja yang sebelumnya ia duduki lalu mengambil tasnya, ia tak lupa memberi tip tanda permintaan maaf pada restoran tersebut karena sudah menimbulkan sedikit keributan.

“JOHANNES BRENGSEK PRADIPTA.”

Tama mencatat dan mengingat wajah wanita tersebut, tetapi ia lupa, ia hanya tau wajah, bagaimana caranya ia bisa mengetahui seluk beluk wanita tersebut.


@roseschies


Sesuai dengan niatnya, Tama sudah duduk di depan meja kecil yang ada di dalam kamarnya. Bukan menunggu Johannes, lebih tepatnya Tama menunggu pembuktian tentang sesuatu yang sudah menjadi dugaannya dari 4 hari lalu.

Bodohnya Tama selama ini baru menyadari sesuatu tentang itu.

Ah, mungkin karena terlalu sering Johannes pulang ke rumah dengan keadaan mabuk dan bau alkohol yang menyeruak maka dari itu Tama baru sadar ketika lelaki itu sudah lama tidak pulang dengan bau alkohol melainkan bau yang berbeda.

Tepat pukul sepuluh malam, pintu kamar terbuka dan terpampanglah wajah Johannes dengan kemeja yang sedang ia pegang, dasi yang ia gunakan pun sudah ingin lepas dari leher.

Kasihan, bahkan dasi saja enggan berlama-lama di tubuh Johannes. Batin Tama tertawa sedikit.

Tentu sudah tidak kaget jika keduanya tidak saling sapa.

Tetapi Tama langsung berdiri dan sengaja melewati tubuh Johannes yang ingin berjalan menuju kamar mandi, mungkin ingin membersihkan tubuhnya.

“Mas.” Tama menghentikan jalannya setelah melewati tubuh Johannes membuat Johannes ikut memberhentikan langkahnya tanpa menjawab panggilan Tama.

“Bau parfummu kok aneh ya Mas? Kayak percampuran wangi parfum laki-laki sama perempuan jadi satu gitu.”

Mendengar ucapan yang dilontarkan Tama membuat Johannes membalikkan tubuhnya lalu menatap Tama sambil menaikkan alisnya, lalu?

Tama menggedikkan bahunya, “Atau emang bener bau parfum perempuan gitu ya?”

Johannes tersenyum kecil sambil menatap Tama, “Now you know, Adhitama. Kemana saja kamu? Saya memang punya wanita yang saya sayangi sejak awal jauh dari sebelum kamu datang di hidup saya. Saya sudah bilang, kamu bakal menyesal kalau terus melanjutkan perjodohan ini, Adhitama.”

Di bulan kelima atau enam, bahkan mungkin sebenarnya sudah tujuh bulan, akhirnya Tama mengetahui alasan mengapa Johannes selalu pulang malam atau pagi. Lelaki itu bertemu dengan wanita yang dimaksud.

Sakit? Tidak. Tama tersenyum kecil lalu membalikkan tubuhnya mengabaikan Johannes yang terlihat tersenyum menang.

Curiga Tama di empat hari lalu ternyata benar. Bau parfum yang berbeda dan parfum khas wanita.

Ah, apa tadi Johannes bilang? bahwa ia memang memiliki wanita yang ia sayangi sejak awal jauh dari sebelum Tama datang di kehidupan Johannes.

Tetapi, satu yang Johannes lupa, Tama jauh lebih dulu datang di kehidupan Johannes.

Bahkan tanpa Johannes sadar, lelaki bernama Adhitama Bagaskara, lebih dulu singgah di hati miliknya, sejak kecil.

Lelaki yang ia tangisi kepergiannya sampai pingsan. Lelaki itu bernama Adhitama Bagaskara.

Sayang, Johannes lupa dan tidak tau. semua ucapan pedasnya dulu, hanya untuk cari perhatian.

Sayang, johannes tidak tahu, bahwa lelaki itu sekarang sudah ada di depannya.

Tujuh bulan, menjadi suaminya.

“Sebaik apasih, wanita itu, gue mau tau, kenapa lo sampai masih setia sama dia disaat lo sendiri udah nikah secara resmi selama tujuh bulan.” Tama tersenyum miring, meminta jawaban dari Johannes yang langsung memberhentikan langkahnya lagi setelah mendengar pertanyaan Tama.

“Jangan berbicara yang tidak tidak, Tama.”

Jika itu cara main Johannes, maka tama akan memperlihatkan cara mainnya.

Tama bukan lelaki yang bisa terus ditindas oleh Johannes.

Maka dari itu, tujuh bulan, Tama akan memperlihatkan cara mainnya, pada Johannes. Si keras kepala dan mulut pedas.

Oh, apa kata Johannes? Tama? Menyesal?

Kita lihat siapa yang akan menyesal diakhir nanti, Johannes Pradipta.


@roseschies


Tama benar-benar membawa Sabil ke rumah Mama. Tama pun masih bungkam tentang kejadian beberapa hari lalu.

Mama masih belum tau alasan kenapa Tama menitipkan Sabil di rumah Mamanya, yang Mama tau, Sabil merindukan dirinya, bukan yang lain karena itulah yang disebutkan Tama sebelum menitipkan Sabil.

Tama tidak benar benar meninggalkan Sabil di rumah Mamanya, Tama akan tetap bermain dengan Sabil dan akan pulang ketika Sabil tidur dan akan datang tepat ketika Sabil bangun.

Alasan kenapa ia tidak tidur di rumah Mamanya karena kamarnya sudah dipakai Sabil, dan kamar miliknya tidak akan cukup untuk dirinya dan Sabil. Selain itu, ia menghindari pertanyaan Mama.

Tama cukup paham pasti Mama sudah punya banyak pertanyaan, kenapa dan kenapa di kepalanya.

Alasan lain lagi kenapa Tama tak kunjung bercerita pada Mamanya karena ia takut Mamanya akan terus menyalahi dirinya tentang perjodohan ini.

Ini sudah hari ketiga Sabil dititipkan di rumah Mama, anak itu sedang bermain lego di kamarnya sewaktu Tama sampai setelah membelikan makanan di luar. Setidaknya Tama punya alasan bahwa sebelum Sabil bangun, Tama beli makan keluar terlebih dahulu, tidak meninggalkan dirinya.

Mama yang melihat Tama masuk langsung meminta izin pada Sabil untuk bermain sendiri sebentar karena Mama ingin berbicara dengan Papinya— Tama.

Tama dan Mama turun kebawah menuju dapur untuk menyiapkan makanan yang baru saja Tama beli.

“Tama, Nak.” Mama menepuk pundak Tama membuat anak itu sedikit ketar ketir, sepertinya Sabil sudah cerita.

Terlihat dari raut wajah Mama yang mulai merasa bersalah.

Tama menghadapkan dirinya kearah Mama, “Iya kenapa Ma? Eh, Ma ini tadi Tama beli risol kesukaan Mama.”

Mama mengangguk, “Sayang, kam—”

“Mama, Sabil tuh boleh makan gorengan ngga ya?” Potong Tama sebelum Mama bahkan menyelesaikan ucapannya.

Mama menghela nafas lalu mengangguk, “Sedikit aja, jangan banyak-banyak. Nanti batuk.”

Tama mengangguk lalu memindahkan beberapa untuk dirinya, Sabil, dan Mama.

Mama menepuk pundak Tama pelan, “Udah aja ya sayang?”

“Mama minta maaf udah bikin berat hidup Tama.”

Tama menunduk, pura-pura sibuk menyiapkan makanan padahal dirinya sudah gelisah, ia ingin menangis sekarang juga.

“Maaf ya Mama ngga tau sama sekali tentang gimana anak Mama di sana sama suaminya. Mama cuma bisa percaya sama semua kalimat Tama kalau Tama dan Johan baik baik saja.”

“Udahin aja ya?”

Tama menggeleng, “Ma, Tama bahkan belum mulai apa apa, apa yang harus diudahin?”

“Tama, sayang..”

“Ma, anak mama ini masih kuat. Tama kuat buat Mama dan Sabil. Tunggu ya Ma. Tama ngga akan diam aja, Ma. Tapi Tama titip pesan, jangan bilang ke Papanya Johan ya Ma, tentang semua ini. Biar Tama yang selesaiin semuanya, ya Ma?”

Mama mengangguk paham, Mama percaya dengan anaknya ini, ia pasti punya banyak cara yang sudah dipastikan sebelumnya dipikirkan secara matang-matang.

“Mama, Tama titip Sabil.”

Mama mengangguk namun wanita itu terdiam masih mengelus pundak anaknya, tegar sekali anaknya ini.

Tama membersihkan tangannya karena ia sudah selesai menyiapkan makanan di tiga piring lalu ia menghela nafas dan menatap kedua mata milik Mama yang sangat teduh.

“Ma, Tama bohong. Tama bohong tentang semuanya. Tama dan Johan ngga baik baik aja from the day one sampai sekarang. Ma, Tama ngga bisa ngubah sifat Johan pun Tama ngga bisa ngubah semua yang memang sudah ada di dalam diri Johan.”

“Awalnya Tama pikir, Tama bisa seiring berjalannya waktu, Johan juga akan menyerah dan mencoba buat mencintai Tama perlahan. Tapi nggak Ma. Tama salah. Johannes ya Johannes. Tama ngga bisa ngerubah semuanya bahkan fakta Evano.”

“Tama nggak tau Ma, apa yang ngebuat Johannes sebegitunya. Tama tau, Evano—maksud Tama Johannes itu memang keras kepala dengan mulut pedas. Tapi Ma, ini udah beda. Johannes nggak punya hati Ma.”

Runtuh. Runtuh semua tiang-tiang yang sudah dibangun oleh Tama.

Sejatinya ia tetap membutuhkan tempat mengadu, dan itu hanya Mamanya.

Mama mengangguk-angguk kepalanya mengerti, Mama sudah mendengar beberapa dari Sabil terlebih fakta Papanya yang sempat meninggikan suaranya di depan dirinya.

Bahkan anak itu berbicara pada grandmanya, “Grandma, Papa engga mungkin benci sama Sabil kan? Kemarin pasti Papa lagi capek, Sabil juga kalau capek suka marah marah tapi habis itu engga lagi deh... Ya kan grandma? Papa sayang Sabil kan grandma? P—papa....” Kemudian anak itu menangis memanggil nama Papanya.

Bagaimana bisa Johannes menyakiti anak semanis Sabil, bahkan disaat seperti ini Sabil terus meyakini dirinya bahwa Papanya itu menyayangi dirinya meskipun Johannes terlihat tidak peduli dengan keberadaan Sabil juga Tama.

“Mama minta maaf, Tama.. Nak, udahin ya?? Semua Mama bantu asal Tama dan Sabil bahagia.”

“Sedikit lagi Ma.. Tama masih kuat, Mama percaya sama Tama kan?”

Mama mengangguk lagi lalu memeluk sebentar anaknya itu memberikan sedikit kekuatan.

“Ma, dengerin Tama. Mama ngga usah merasa bersalah ya? Mama ngga salah sama sekali. Jalan ini dari awal udah Tama yang pilih. Mama sama sekali ngga pernah memaksa Tama untuk terima tapi Tama yang punya keinginan menerima perjodohan ini. Tama ngga akan mau ngakhirin sesuatu yang udah Tama pilih tanpa ada hasil akhir Ma.”

“Ma, Tamanya di dengerin lho.... Ya Ma?”

Mama yang masih menunduk rasanya sangat malu lalu mengangguk.

“Yaudah yuk Ma, kasihan Sabil nungguin di atas.”

Mama mengangguk lalu membawa piring miliknya dan milik Tama sedangkan Tama membawa piring milik Sabil dan minuman.

Ketiganya menghabiskan waktu di dalam kamar Tama dulu sambil bersenda gurau.


@roseschies

Membaca pesan yang dikirim oleh Papanya bahkan Papa berkali-kali menelpon Johannes membuat Johannes memukul meja kerjanya lalu mengambil tas kantornya. Johannes mematikan ponselnya kemudian menuju parkiran, ia memutuskan untuk pulang ke rumah.

Sampai di rumah, Johannes membuka pintu dan bertemu dengan Sabil yang sedang menonton TV sambil memakan camilan di sana. Anak itu sendirian karena Tama sedang membuat makanan ringan lainnya untuk Sabil di dapur.

“SABIL.” Johannes meninggikan suaranya sambil berjalan menuju Sabil membuat Sabil tersentak kaget mendengar suara kencang yang tiba-tiba keluar dari mulut Johannes.

Tangan sabil gemetar, ia takut menatap kedua mata Papanya yang sudah menatap dirinya seperti ingin memakan hidup hidup.

“P—papa....” Suara Sabil mengecil, anak itu menunduk tidak ingin menatap mata Papanya.

“Kok kamu jadi anak ngaduan ya Sabil. Persis seperti Papi kamu padahal kalian sama sekali ngga sedarah. Saya sama sekali ngga pernah ngajarin kamu buat mengadu seperti itu.”

“Gara-gara kamu, saya jadi kena semprot Papa saya!”

Johannes membentak tepat di depan wajah Sabil, Sabil hanya bisa menunduk dan menggigit bibir bawahnya. Ia benar benar takut.

Air mata pelan-pelan menetes dari pinggir matanya, Sabil menahan tangisannya.

“MAS!” Mendengar suara Johannes yang menggelegar membuat Tama langsung buru buru mematikan kompor dan berlarian menuju Sabil yang badannya sudah gemetar namun Johannes terlihat tidak peduli, wajahnya masih merah akibat emosinya yang memuncak.

Tama mendorong tubuh Johannes menjauh dari tubuh Sabil. Tama memeluk erat tubuh Sabil membuat anak itu menangis sejadi-jadinya.

“P—Papi....”

“Sshhh— Ayo sini, Papi gendong, kita masuk kamar ya sayang.”

Tama langsung membawa tubuh Sabil yang masih gemetar kemudian membawa Sabil masuk ke dalam kamar Sabil meninggalkan Johannes yang langsung menjatuhkan tubuhnya di sofa dan memijat pelipisnya.


Butuh waktu lama sampai akhirnya Tama berhasil menenangkan anaknya itu sampai tertidur.

Tama memijat pelipisnya, pusing. Tama tau, pasti kedepannya Sabil akan merasa takut jika melihat Johannes.

Sabil akan trauma dengan suara kencang dan wajah Johannes.

Tama kelabakan mencari keberadaan Johannes, semoga saja lelaki tinggi itu tidak kabur dan tidak bertanggung jawab sudah melakukan hal sefatal ini pada Sabil.

Tama mencari di ruang TV namun lelaki itu tidak ada di sana. Mobil milik Johannes juga masih terparkir rapih di garasi.

Maka dari itu, Tama buru buru menuju kamarnya, ia membuka mendobrak kencang pintu kamar.

Benar saja, Johannes sedang duduk di atas kasur.

Kepala Tama mendidih, emosinya memuncak melihat Johannes yang terlihat tidak merasa bersalah sama sekali.

“Lo boleh marah-marah ke gue, lo boleh bentak-bentak gue. Tapi ngga dengan marah-marah dan bentak-bentak Sabil, Johannes! Dia itu anak kecil. Papa titipin Sabil ke kita berdua buat diurus bukan dijadiin samsak lo! Mikir dong Johannes! Apa yang udah lo lakuin ke Sabil bakal terus jadi pikiran kedepannya buat Sabil! Lo beneran udah keterlaluan, Johannes.”

Tama mendekatkan dirinya kearah Johannes sambil berteriak-teriak memarahi Johannes.

“Dia duluan yang sudah mengadu ke Papa saya, Adhitama!”

“Dia bukan ngadu, Johannes. Lo ngerti ngga sih? Dia cuma cerita ke Papa karena lo nggak pernah ada buat dia! Kapan sih lo ngasih waktu lo buat Sabil? Hah? KAPAN GUE TANYA??!! LO GAPAPA NGGA NGASIH WAKTU LO BUAT GUE, LO GAPAPA MARAHIN GUE. TAPI JANGAN SABIL, JOHANNES.”

“Gue mohon. Udah cukup, Johannes.”

Tama mengacak rambutnya frustasi, dia sudah ngga tau Johannes ini harus diapakan lagi supaya bisa berfikir dengan otak yang jernih. Otaknya seperti sudah rusak.

Tanpa menjawab ucapan Tama, Johannes langsung berdiri kemudian keluar dari kamarnya meninggalkan Tama yang sudah terduduk di pinggir kasur, menangis karena emosi yang terlampau meluap.

Kenapa harus Sabil.


@roseschies


“GRANDMAAA GRANDPAAA!!!” Sesampainya Tama, Sabil, dan Johannes di kediaman Papa Johannes, Sabil langsung berlarian dan berteriak memanggil kakek neneknya itu yang sedang mengobrol.

Mama yang mendengar suara Sabil langsung melihat kearah sumber suara dan tersenyum sambil merentangkan kedua tangannya, menangkap Sabil dan menggendongnya, “Halo Sabil!”

“Loh Sabil, Papa sama Papi kemana sayang?”

Sabil menunjuk Tama dan Johannes yang sedang berjalan, “Itu grandma.”

Papa tersenyum senang melihat Tama dan Johannes berdiri berdua sebelahan, apa rencana dia berhasil?

Papa langsung memeluk dan menjabat tangan Tama dan Johannes bergantian lalu menepuk pundak Johannes, “Anes, gimana kabarnya?”

“Baik Pa.” Johannes menjawab seadanya tanpa ekspresi wajah yang memperlihatkan bahwa dia bahagia bahagia saja. Terlalu datar.

“Tama, gimana nak kabarnya?”

Tama menjabat tangan Papa, “Baik Pa. Papa gimana kabarnya?”

Papa tersenyum dan melirik sebentar kearah Johannes, “Baik kok. Ayo makan sini.”

Papa mengajak Johannes dan Tama untuk masuk ke dalam sedangkan Sabil sudah asyik mengobrol dengan Mama atau neneknya Sabil.


Johannes pamit izin untuk ke kamar lamanya, katanya ingin mengambil barang yang tertinggal. Nyatanya lelaki itu langsung menelpon seseorang yang tak lain dan tak bukan adalah Amanda.

Sedangkan Tama asyik mengobrol banyak hal dengan Mama, ia sangat merindukan Mamanya. Biasanya hari-hari Tama hanya diisi oleh canda tawa dengan Mama, sekarang hari-harinya hanya diisi oleh makian demi makian untuk Johannes.

Kalau Sabil tentu bersama dengan Grandpanya. Mereka sedang di taman belakang, menikmati kicauan burung milik Papa.

Grandpa,”

“Kenapa Sabil?”

“Papa kenapa jarang di rumah ya grandpa?”

Tanpa menjawab pertanyaan Sabil, Papa semakin memasang kupingnya mendengar cucunya ini sedang mengadu pada dirinya tentang Johannes, anaknya.

Grandpa, Papa engga suka ya sama Sabil? Papa engga suka ya kalau Sabil ada di rumah?”

Ucapan Sabil membuat Papa tau, kalau ternyata Johannes sama sekali tidak berubah setelah adanya Sabil. Johannes, anaknya masih sama seperti sebelumnya.

Papa menepuk pahanya, “Sini, Sabil duduk dipangkuan grandpa.”

Sabil menggeleng, “Kasihan grandpa, Sabil beraatt.”

Namun Papa tidak mendengar ucapan itu, Papa langsung menarik pelan tubuh Sabil lalu mendudukkan tubuh Sabil dipangkuannya dan mengelus surai lembut milik Sabil.

“Sabil. Papa Sabil mungkin lagi sibuk sama kerjaannya.Maaf ya harus ninggalin Sabil terus. Engga kok, Papa pasti suka sama Sabil.”

“Papi juga bilang begitu ke Sabil, grandpa.”

Papa mengangguk, ia tahu, menantunya itu memang paling bisa diandalkan.

“Uhuk— Sabil, sebentar ya, Sabil ke Papi dulu gih, Uhuk—” Papa menyuruh Sabil untuk masuk ke dalam, pelan-pelan Papa menahan batuknya agar tidak mengenai Sabil.

Grandpa kenapa? grandpa sakit??” Tanya Sabil menatap Papa khawatir, Papa hanya menggeleng lalu menutup mulutnya dan kembali menyuruh Sabil masuk ke dalam.

Sabil langsung lari menuju Tama yang sedang duduk di sofa bersama Mama.

Sabil menarik kemeja yang digunakan Tama, “Papi, grandpa sakit Papi... Grandpa batuk batuk.”

Tama mengelus pelan surai Sabil lalu menyuruh anaknya untuk duduk disebelah Mama sedangkan dirinya mendekat kearah Papa.

Papa masih batuk batuk seperti tadi namun terlihat ditutupi.

“Pa?”

Papa sedikit tersentak setelah mendengar suara Tama.

“Papa sakit?”

Papa menggeleng, “Ngga kok, ini cuma batuk batuk aja. Kayaknya sakit tenggorokan biasa. Nanti Papa minum obat.”

“Mau Tama ambilin Pa?”

Papa menggeleng lagi, “Ngga usah nak. Papa bisa kok. Yuk masuk ke dalam. Anes, masih di kamarnya?”

Tama mengangguk.

Akhirnya Papa dan Tama masuk ke dalam rumah berdua dan ternyata Johannes sudah turun dan sedang duduk di meja makan sambil meneguk minumannya.

“Pa, Anes pulang ya??”

Papa mengangguk, “Yasudah.”

Johannes menatap Tama mengajak suaminya itu pulang, Tama hanya mengangguk patuh.

“Yuk sayang, kita pulang.” Ajak Tama membuat Sabil langsung mengangguk dan berdiri dari duduknya lalu melambaikan tangannya kearah grandpa dan grandmanya.

Johannes, Tama, dan Sabil akhirnya pulang setelah beberapa jam bermain di rumah Papa.


@roseschies


Sabil itu sebenarnya anak yang gampang sekali berbaur dengan orang baru jika orang tersebut mendekatkan diri pada Sabil terlebih dahulu.

Seperti saat ini, Sabil sudah tertawa cekikikan di gendongan Deon kemudian mencubit hidung Anan. Sabil benar benar senang karena ia merasa diterima oleh kedua teman Tama.

Pun Tama, Sabil sangat menyayangi Papinya itu. Tama adalah orang yang selalu menerima dirinya di rumah dan menyirami dirinya dengan banyak pujian.

“Sabil udah lupa yaa sama Papi, asik banget digendong om Deon nihh.” Goda Tama melihat anaknya yang asyik di gendongan Deon membuat anak itu malah kembali meledek Tama sambil menjulurkan lidahnya.

“Dadaahh Papiiii~” Ucap Sabil kemudian memeluk erat leher Deon membuat Tama melengkungkan bibirnya, sedih Sabil lebih memilih Deon.

“Sabil gitu yaaaa.”

Sabil kemudian menepuk pundak Deon meminta turun lalu berlari menuju Tama dan memeluk kaki Tama, “Ihh engga Papi, Sabil bercanda. Papi jangan sediihh. Sabil cuma sayang sama Papi.”

Mendengar itu Tama jadi ingin mengerjai anaknya itu kemudian menatap sembarang arah membuat Sabil rasanya ingin menangis, Papinya ngambek beneran.

“Papiiiiiiiiiii.”

Anan dan Deon yang melihat itu hanya menggelengkan kepalanya, anak kecil ketemu anak yang masih pengen kecil begini ya ternyata.

“Papi ngambek sama Sabil.”

“Ihh Papii, Sabil engga gitu, Sabil bercanda. Ya ya ya Papii, gendong ya Papi. Ih Om Deon bantuiinn Papi ngambek gara-gara Om Deon!” Sabil menghentakkan kakinya kemudian menarik Deon, meminta bantuan. Tama susah payah menahan tawanya, anak ini.

“Anjir lo kayak anak kecil sumpah Tam.” Bisik Deon setelah sampai di sebelah Tama.

“Abis lucu liatnya, gemes.”

Deon memutar bola matanya malas mendengar jawaban dari Tama.

“Papii, engga ngambek lagi kan sama Sabil?? Gendong Papii.” Sabil mendongak kemudian mengangkat kedua tangannya, minta digendong oleh Tama.

Tama terkekeh gemas lalu mencubit hidung milik Sabil, “Papi mana bisa marah sama Sabil. Sini Papi gendong.”

Akhirnya Sabil kembali ke pelukan Tama.

Ketiganya lanjut jalan mengitari tempat wisata ini, sebenarnya mereka juga udah bingung mau naik wahana apa karena sejak tadi udah lelah lari-larian dengan Sabil yang mau naik ini itu.

Tak lama kemudian terdengar suara dengkuran halus di dekat kuping Tama membuat Tama langsung paham bahwa Sabil tertidur di gendongannya.

“Anaknya tidur nih, kecapean kayaknya lari larian.” Ucap Tama sambil menunjuk Sabil dengan kepalanya membuat Deon dan Anan langsung mengintip kearah Sabil yang sudah terlelap.

“Ngga berat Tam?”

Tama menggeleng, “Masih aman kok.”

“Lo sama Sabil padahal baru seminggu lebih ya? Udah sedeket itu.” Tanya Anan tiba-tiba, Tama mengangguk, ia juga merasakan hal itu kok. Sabil benar-benar definisi manusia yang cepat beradaptasi jika ia nyaman dengan seseorang.

“Johan gimana Tam?”

Pertanyaan yang dilontarkan oleh Deon membuat Tama hanya menggedikkan bahunya.

“Interaksi sama Sabil kalo sarapan bareng. Abis itu Johan kerja. Pulang kerja jam 11 malem, kadang juga ngga pulang. Masih kayak biasa. Semuanya ngga ada yang berubah, yang berubah cuma gue makin punya tanggung jawab ke Sabil dan Johan sama aja kayak dulu, nganggep gue dan Sabil hanya angin lewat.”

Deon sudah menggelengkan kepalanya, sudah nggak paham lagi dia sama kelakuan Johan.

“Bokapnya Johan tau?”

Tama menggeleng, “Bokapnya ngga tau, nyokap gue juga taunya kita bertiga baik-baik aja. “

“Lo kenapa ngga cerita sih Tam?”

“Gue males berantem adu mulut sama Johan Nan. Dia selalu nyuruh gue tutup mulut ini itu, kadang kalo bokapnya tau sendiri pasti gue yang dituduh. Sumpah, gue juga cape banget, tapi gue beneran males adu mulut sama dia. Keberadaan Sabil diantara gue sama Johan beneran udah cukup buat gue ngerasa waras.”

Deon dan Anan mengangguk paham. Benar juga, semakin dipaksa semua yang ada Tama semakin lelah dengan dirinya sendiri.

Akhirnya ketiga lelaki itu mendudukkan diri di tempat duduk yang ada di sana sambil memesan es krim masing masing satu.

Sabil masih setia di gendongan Tama. Tangan Tama memang kram, tapi nggak masalah, yang penting Sabil nyaman tidurnya. Kasihan anak ini sudah terlalu lelah.

“Lo masih yakin kalo Johan keluar cuma buat minum kopi doang Tam?” Tanya Deon tiba-tiba, Tama menggeleng.

“Nggak. Gue yakin ada sesuatu.”

“Maksud lo?”

“Ya sesuatu. Gue yakin dia keluar malem karena ada sesuatu. Tapi gue belum nemu clue sama sekali.”

Mendengar itu Deon dan Anan ikut berfikir, apa lagi kali ini.

“Tam, ketakutan lo waktu itu, ngga beneran kan?” Tanya Anan tiba-tiba membuat Tama menatap Anan bingung.

“Ketakutan gue yang ma— Oh...”

Tama menggedikkan bahunya.

“Gue sukanya sama Evano, Nan.”

“Tapi Evano sama Johan satu orang, Tam.”

“Biarin gue mikir sampe sekarang kalo mereka dua orang yang berbeda, Deon. Biarin gue nyaman sama pelukan Evano tiap malem. Biarin gue nyaman sama ucapan manis yang keluar dari mulut dia setiap mabuk.”

Ucapan yang keluar dari mulut Tama membuat Deon dan Anan masing-masing menghela nafasnya.

“Tama...”

“Susah ya Nan, Yon. Susah banget buat mikir mereka itu beda. Iya, mereka itu satu orang. Tapi tolong biarin gue nyaman sama sosok Evano yang ada di tubuh Johan.”

Anan menepuk pundak Deon kemudian menggeleng kecil, memberikan kode untuk Deon supaya berhenti. Semua rasanya udah berat buat Tama.


@roseschies


Sudah hampir beberapa bulan Tama dan Johannes resmi menjadi sepasang suami. Bahkan Tama sama sekali ngga pernah menyangka ia bisa sesabar ini menghadapi mulut pedas Johannes.

Intensitas Johannes pulang malam juga sudah tidak bisa dihitung lagi pakai jari dan hal itu semakin lama membuat Tama menjadi terbiasa.

Tama tidak peduli. toh, dia masih ingat, Johannes menolak semua pernikahan ini.

Tetapi Tama juga manusia, ia lelah.

Tama tidak tinggal diam ketika Johannes terus menerus pulang malam, lelaki itu marah karena ia juga butuh seseorang yang menemaninya terlagi Johannes adalah suaminya, bukan orang lain.

Iya, fakta itu Tama tidak bisa menyangkal mengingat cincin yang masih tersemat di jarinya.

Beberapa kali juga Johannes pulang dengan keadaan mabuk dengan badan yang selalu bau alkohol. Dan lagi, kejadian malam itu, dimana Johannes memeluk tubuh mungil Tama, selalu terulang kembali.

Ada satu malam, satu malam yang bagi Tama itu adalah malam termenyedihkan yang ada diantara keduanya.

Johannes menangis, tepat dipelukannya. Lelaki itu menangis tersedu-sedu sambil memanggil nama mamanya. Ia mengeluarkan semua curahan hati yang ada di dalam pikirannya secara sembarang sambil memeluk tama.

“Ma, Mama lagi disini ya bareng Anes? hangat ma pelukannya. Terima kasih ya ma.”

Tama rasanya ingin menghilang, pelukan ini, bukan pelukan Johannes dengan mamanya melainkan pelukan ini, pelukan Johannes dengan dirinya, Adhitama Bagaskara.

Sempat Tama pikir jika Johannes hanyalah anak yang kurang kasih sayang, tetapi rasanya sangat aneh karena setau Tama, Papanya Johannes adalah Papa yang sangat menyayangi anaknya.

Hati Tama selalu terenyuh setiap kali Johannes pulang dalam keadaan mabuk. Karena lelaki itu jauh lebih jujur dan mengucapkan banyak sekali curahan hatinya tiap kali ia mabuk.

Meskipun terkadang abstrak, tapi rasanya Tama ingin sekali merengkuh tubuh yang lebih besar ini kedalam pelukannya.

Tetapi berkali-kali Tama selalu ditampar oleh realita kalau ini JOHANNES.

Paginya ia langsung mendapat omelan lagi-lagi mengenai dirinya yang memeluk Johannes.

Rasanya mendengar kalimat kalimat pedas yang keluar dari mulut Johannes sudah menjadi makanan sehari-hari Tama.

Namun kembali tama menggumam kecil, “Lo beneran Evano yang gue kenal. Si keras kepala dengan mulut pedas.”

Mungkin malam malam sebelumnya, Tama tidak terlalu sadar karena ia pasti sudah tidur setiap Johannes sampai.

Namun, pagi ini, kebetulan Tama baru selesai mandi dan Johannes baru pulang dari 'kantornya' dan lelaki itu terlihat sangat berantakan.

Entah tama sama sekali tidak menghitung, tetapi yang Tama ingat, mungkin ini bulan kelima atau enam setelah pernikahan mereka dan tepat hari ini tama sadar akan sesuatu.

“Mas, sejak kapan kamu suka pakai parfum baunya kayak parfum wanita?”

Iya, lima atau enam bulan, Tama benar-benar sudah membiasakan diri memanggil Johannes dengan sebutan mas, juga setelah mama dan papanya tau bahwa tama masih saja ber gue-lo dengan johannes, lelaki itu mulai membiasakan memakai sebutan aku kamu sampai akhirnya Tama benar-benar terbiasa.

Johannes melihat kearah Tama lalu tersenyum miring, “now you know. Saya memang punya wanita yang saya sayangi sejak awal jauh dari sebelum kamu datang di hidup saya. Saya sudah bilang, kamu bakal menyesal kalau terus melanjutkan perjodohan ini, Adhitama.”

Di bulan kelima atau enam, bahkan mungkin sebenarnya sudah tujuh bulan, akhirnya Tama mengetahui alasan mengapa Johannes selalu pulang malam atau pagi. Lelaki itu bertemu dengan wanita yang dimaksud.

Di bulan ketujuh, Tama sadar, ia sudah mulai terbiasa dengan Johannes si keras kepala dan mulut pedas.

Entah karena sentuhan tiap malam ketika Johannes mabuk membuat Tama lupa semuanya.

Yang pasti, Tama rasanya ingin tenggelam.

Di bulan ketujuh, lelaki itu sadar sepenuhnya, ia sudah memiliki rasa untuk Johannes. lelaki si keras kepala dan mulut pedas. hanya karena perlakuan lelaki itu setiap mabuk.

Bilang tama gila jika ia menginginkan suaminya itu terus mabuk saja.

Karena ketika Johannes sadar, Tama akan kembali menjadi seseorang yang sangat membenci Johannes. suaminya itu.

Tama rasanya seperti memilki perasaan ganda, atau memang Johannes saja yang memiliki kepribadian ganda.

Ah, Johannes bilang, bahwa ia memang memiliki wanita yang ia sayangi sejak awal jauh dari sebelum Tama datang di kehidupan Johannes.

Tetapi, satu yang Johannes lupa, Tama jauh lebih dulu datang di kehidupan Johannes.

Bahkan tanpa Johannes sadar, lelaki bernama Adhitama Bagaskara, lebih dulu singgah di hati miliknya, sejak kecil.

Lelaki yang ia tangisi kepergiannya sampai pingsan. Lelaki itu bernama Adhitama Bagaskara.

Sayang, Johannes lupa dan tidak tau. semua ucapan pedasnya dulu, hanya untuk cari perhatian.

Sayang, johannes tidak tahu, bahwa lelaki itu sekarang sudah ada di depannya.

Tujuh bulan, menjadi suaminya.

Setelah mendengar jawaban dari Johannes, Tama hanya tersenyum. “Sebaik apasih, wanita itu, aku mau tau, kenapa kamu sampai masih setia sama dia disaat kamu sendiri udah nikah secara resmi selama tujuh bulan.”

“Jangan berbicara yang tidak tidak, Tama.”

Tidak, hatinya sama sekali tidak sakit. Sudah Tama bilang, dia ini banteng, bisa menyeruduk. Jika itu cara main Johannes, maka tama akan memperlihatkan cara mainnya.

Tujuh bulan, Tama rasanya bingung, perasaannya campur aduk. Tetapi Tama bukan lelaki yang bisa terus ditindas oleh Johannes.

Maka dari itu, tujuh bulan, Tama akan memperlihatkan cara mainnya, pada Johannes. Si keras kepala dan mulut pedas.


@roseschies


Pagi ini Tama bangun dari tidurnya secara tidak terhormat. Tiba-tiba saja tubuh Tama terasa didorong membuat lelaki itu tersentak dari tidurnya.

Tama membuka kedua matanya pelan kemudian melihat kebelakangnya dimana Johannes sedang melihat kearahnya dengan tatapan tidak suka.

“Ada apa sih masih pagi.” Ucap Tama sambil memandang Johannes sebal karena pinggangnya yang tiba-tiba didorong.

“Kamu ngapain peluk peluk saya?!” tukas Johannes kemudian ia berdiri di samping kasurnya sambil masih menatap Tama tidak suka.

Tama memutarkan bola matanya kemudian duduk di kasur, kembali menatap Johannes.

“Lo tuh yang meluk gue! Kenapa? Enak kan meluk gue?? Baru tau lo.” Tama mencibir Johannes sedangkan yang dicibir tidak percaya bahwa dirinya yang memeluk lelaki mungil itu.

“Adhitama. Kamu ngga sopan sama suami kamu.”

“Sopan sopan, hih lo ngomong gitu suka ngaca nggak sih?”

“Adhitama.” Tegas Johannes membuat Tama mendengis kesal. Terserah, ia tidak ingin membuang tenaganya dipagi hari yang cerah ini meskipun sudah terlihat suram.

Tama kembali menidurkan tubuhnya di kasur lalu mengambil ponselnya, membiarkan Johannes yang sedang ke toilet entah untuk apa Tama tidak peduli.

Tak lama kemudian Johannes keluar dari kamar mandi lalu menatap Tama yang masih cekikikan dengan ponselnya.

“Adhitama.”

“Adhitama.”

Panggilan kedua Tama belum juga menjawab panggilan Johannes membuat Johannes mendekat kearah Tama yang masih sibuk dengan ponselnya, bertukar pesan sama dua temannya.

“Adhitama. Kamu ini begini ya ternyata.”

“Apaansih Mas??!”

“Kamu bukan suami yang baik. Kenapa kamu masih tiduran dan mainan ponsel bukannya nyiapin makanan buat saya?”

Ucapan Johannes membuat Tama menatap Johannes aneh.

“Itu tugas kamu Adhitama. Untuk apa kamu di rumah ini kalau hanya tiduran dan bermain dengan ponselmu?? Rumah ini bukan hotel. Saya suami kamu.”

Sedangkan Tama udah bernyenye ria, dasar orang gila banyak mau. Giliran begini, bisa bawa bawa suami kamu suami kamu.

Tama tidak membuka mulutnya sama sekali lalu langsung keluar dari kamar untuk menyiapkan makanan dirinya dan Johannes.

“Tai lo tai. Lo juga suami gue, dasar orang aneh!” Teriak Tama sampai menggema diseisi lorong rumah yang sedang ia lewati.

Sedangkan Johannes yang sedang berjalan tidak jauh dari Tama langsung memasukkan ponselnya ke dalam saku celananya. “Adhitama, saya dengar.”

“Bagus lah, gue kira lo udah tuli atau pendengaran lo rusak kayak akal sehat lo, rusak.”

Tiba-tiba saja tangan Tama ditarik oleh Johannes membuat lelaki itu limbung dan tak sengaja setengah memeluk Johannes.

“Saya nggak suka dengar kamu berbicara sekasar itu, Adhitama. Yang sopan.”

Lengan Tama dicengkram keras oleh Johannes membuat lelaki mungil itu meringis kesakitan.

Johannes itu sadar nggak sih tenaganya besar sekali.

“Sakit. Lepas!” Ucap Tama lalu menarik lengannya sampai terlepas dari cengkraman Johannes dan meninggalkan kemerahan disekitarnya.

Sebelum Tama melanjutkan jalannya menuju meja makan, Tama kembali membalikkan tubuhnya lalu menunjuk Johannes tepat di wajah lelaki itu.

“Denger ya, Johannes. Sebelum lo ngomongin tentang sopan santun, sebaiknya lo nilai diri lo sendiri, apa lo udah sesopan itu ke orang lain? Terutama gue, SUAMI LO. JOHANNES.”

“ADHITAMA.”

Tama langsung mempercepat langkahnya menuju meja makan meninggalkan Johannes yang sepertinya semakin jengkel dengan lelaki mungil itu.


Sepasang suami itu dengan khidmat memakan makanan masing-masing di meja makan tanpa suara sedikit pun. Bahkan hanya terdengar dentingan sendok dan piring yang terdengar nyaring mengisi seisi meja makan.

“Ini kamu yang masak?” Tanya Johannes setelah membalikkan garpu dan sendoknya diatas piring tanda ia sudah selesai makan.

Tama mengangguk, lelaki itu masih sibuk memakan makanan miliknya.

“Rasanya biasa saja.” Ucap Johannes lalu bangun dari duduknya mengambil ponselnya dari saku celana kemudian mengangkat telepon yang masuk di ponselnya dan meninggalkan Tama yang sudah membidik sasaran pisau yang tepat dengan sasarannya, Johannes.

“Biasa aja biasa aja, tapi abis. BILANG MAKASIH KEK LO WOI. ASTAGA BOTAK GUE LAMA LAMA. AWAS AJA GAK GUE MASAKIN BESOK BESOK BIARIN LO MATI KELAPERAN!!!!!” Teriak Tama menggema namun Johannes sudah lebih dulu berada di ruangan lain, menerima panggilan dari seseorang yang tak lain dan tak bukan adalah Amanda.

Bener. Mulut pedes Johannes, sangat mirip dengan mulut pedes Evano.


@roseschies.

Tama terus merasa resah di tempat tidurnya itu, ia berkali-kali hanya kesana kemari mencari posisi pas untuk dirinya di tempat tidur barunya.

Sesuai dengan pesan yang diberikan Johannes tadi, Johannes benar-benar tidak pulang bahkan sampai jam 12 malam saat ini. Tama tidak peduli, bahkan ia tidak penasaran dimana Johannes berada.

“Kata Mama, gue disuruh jadi suami yang baik buat Johan. Gimana ya, gimana caranya. Gue aja ketemu sama Johan bisa diitung pake jari padahal udah kayak mau seminggu gue sama dia jadi sepasang suami.”

“Bikinin sarapan gitu ya jadi suami baik? Lah, pagi pagi aja gue udah ngga liat batang idungnya si Johan.”

“Mandiin si Johan termasuk jadi suami baik ga sih? Pengen gue guyur pake air panas biar mendidih itu sebadan-badan.”

“Kok gue jadi kayak suami yang jahat si. Ngga boleh Tama, lo itu baik hati dan menggemaskan. Ngga boleh gitu.”

“Apaansih, gue menjijikan sekali. Udahlah gue tidur aja. Masalah jadi suami yang baik buat Johan biar gue pikirin kedepannya.”

Setelah bermonolog sambil menatap langit-langit kamarnya, akhirnya Tama memutuskan untuk menutup matanya, menjemput mimpinya.

Namun, bibirnya kembali bergumam, “Johannes... Gue masih ngga percaya, lo itu Evano..”

“ARRRGGGH” Tama berteriak frustasi rasanya ia ingin membanting semua barang yang ada di kamar ini.

Dari sekian banyak orang, kenapa harus Evano itu Johannes?!

Tama menghela nafas kemudian kembali menutup matanya. Dia harus tidur, ini sudah jam berapa, besok pagi ia harus kembali bekerja.

“Eh, lupa, gue kan udah resign disuruh Mama. TERUS BESOK PAGI GUE NGAPAIN ANJING. PENGANGGURAN BANGET GUE.”

Sudahlah, besok pagi biarkan menjadi pikiran besok, malam ini, Tama harus tidur.


Tepat pukul jam tiga pagi lewat, Johannes membuka pintu kamar dirinya dengan Tama.

Akhirnya, Johannes benar-benar menapaki kakinya di rumah ini. Rumahnya dengan Tama setelah tadi pagi tanpa basa basi ia langsung lari menuju apartemen kekasihnya, Amanda.

Dengan kepala yang sedikit pusing, Johannes menutup pintunya pelan kemudian berjalan sempoyong menuju kasur tanpa terlebih dahulu mengganti bajunya.

Tidak peduli dengan bau alkohol dan rokok yang masih menempel di tubuh dan bajunya itu, Johannes langsung menidurkan tubuh di kasur.

Johannes masih sedikit mabuk, sepertinya ia lupa fakta bahwa ada lelaki mungil di kasur yang sama dengannya.

Kepala Johannes rasanya ingin pecah, masalah dengan Amanda kali ini rasanya sedikit lebih rumit. Wanita itu ngamuk ketika tau akhirnya Johannes menikah dengan Tama. Berkali-kali Johannes menjelaskan pada Amanda, berkali-kali juga Amanda membentak Johannes.

Johannes membalikkan tubuhnya lalu memeluk tubuh yang ada di sampingnya- tubuh Tama yang sedang tertidur.

Lengan kekar itu memeluk tubuh mungil milik Tama tanpa sadar kalau yang ia peluk itu Adhitama Bagaskara.

Johannes mendekatkan tubuh ke punggung Tama, memberi sedikit kecupan kecil di sana.

Sedangkan Tama yang sebenarnya terbangun akibat merasakan seseorang yang tiba-tiba tertidur dan memeluknya langsung terdiam.

Demi Tuhan, Tama tidak bohong, jantungnya berdebar, lelaki itu deg-degan, sungguh.

Johannes terus menerus memberi kecupan kecil dipunggung Tama, Tama terus-terusan menutup matanya, mengabaikan kecupan yang diberikan oleh Johannes.

Bau alkohol menyeruak dari sampingnya membuat Tama sadar, Johannes masih mabuk. Pantas.

Tetapi, TIDAK BEGINI DONG. Sudah dibilang, Tama itu, lemah. Jangan seperti ini, berhenti mengecupi punggungnya.

Entah seperti mendengar racauan batin Tama, Johannes memberhentikan kecupannya lalu kembali memeluk erat tubuh mungil milik Tama.

Johannes mendekap tubuh itu seperti tidak ingin kehilangan barang sedetikpun.

Johan, jangan begini, sana pergi, yang jauh.

Berbeda dengan batinnya, pelukan ini mengingatkan akan sesuatu.

Benar, ini Evano.

Hangatnya pelukan Johannes, sama persis dengan hangatnya pelukan lelaki beberapa puluh tahun lalu yang memeluk dirinya sebelum akhirnya ia memutuskan untuk pindah rumah.

Fuck you, Johannes.

Akhirnya, Tama menutup matanya, mengabaikan jantungnya yang terus berdebar dan mengabaikan lengan kekar yang masih setia melingkar pada tubuhnya. Mengabaikan Johannes, yang bertingkah seperti orang aneh.


@roseschies