roseschies

032.

“Eh, kalian abis ini mau langsung pada pulang apa gimana?” tanya Yudha setelah akhirnya mereka berlima menyelesaikan permainan 2 jam badmintonnya itu di satu lapangan.

Permainan kali ini rasanya lebih terasa lelah karena pemainnya hanya lima dan gantian waktunya terasa cepat sekali, jadi 2 jam terasa melelahkan untuk kelimanya.

“Gue sih bebas, lagi free juga gue.” jawab Jovan dan diikuti anggukan oleh Jeve, Aksa, dan Tarendra.

“Roti bakar belokan deket lapangan yuk, kayaknya enak deh roti bakarnya, rame terus gue liat kalau lewat situ.” saran Jeve setelah ia mengingat kalau ada satu tempat makan di dekat lapangan yang selalu ramai. Ditambah dirinya juga ingin roti bakar saat ini. Sedangkan Yudha mengambil ponselnya yang tadi ia taruh di ransel yang ia bawa.

Yudha membuka ponselnya lalu melihat dirinya menerima beberapa panggilan tak terjawab dan sebuah pesan, mengatakan kalau malam ini ia ada job dadakan di sebuah club.

“Duh, gue baru aja dikabarin sama senior gue ini dapet kerjaan dadakan, gue gak bisa ikut kalau pergi lagi, lu pada mau ngikut gue atau mau ke roti bakar aja?” ucap Yudha membuat Aksa dan Tarendra bingung karena memang keduanya juga tidak tahu pekerjaan Yudha itu apa dan tiba-tiba saja diajak ke kerjaan Yudha.

“Dia DJ, jadi kerjaannya emang malem. Cuma, kalau kalian gak biasa ke club, kita ke roti bakar aja, makan lah laper juga nih.” Jeve yang paham dengan situasi dan mimik wajah Tarendra dan Aksa yang bingung akhirnya membantu menjelaskan apa pekerjaan Yudha membuat Tarendra dan Aksa.

“Iya roti bakar aja, kalian pasti gak pernah ke club juga kan, mending nggak usah. Biarin aja Yudha udah gede nggak perlu ditemenin.” lanjut Jovan sambil meledeki Yudha membuat Yudha melemparkan handuk kecilnya ke arah Jovan.

“Bilang aja lu berdua mau double date setan.” kali ini Yudha yang meledeki Jovan ditambahan meledeki Jeve juga, membuat keduanya memberikan mata sinis milik keduanya ke arah Yudha. Apapula, double date?

Aksa mengangguk-angguk saja sedangkan Tarendra hanya diam karena sebetulnya ia juga lapar, sih.

“Boleh kak, ke roti bakar aja langsung, gue sama Tarendra juga nggak kemana-mana sih.” jawab Aksa membuat Tarendra mengangguk, ia lapar juga.

“Yaudah, Jev, minjem motor lu dong, lu bareng Jovan dulu aja, gue kan nggak bawa motor sekarang.” Yudha berdiri sambil menepuk celana pendeknya dari debu-debu lapangan yang baru saja ia duduki lalu Jeve melemparkan kunci motornya ke arah Yudha, mereka memang sudah sedekat itu, saling meminjam motor sudah biasa.

“Gue cabut duluan ya, guys.” pamit Yudha lalu meninggalkan Jovan, Jeve, Tarendra, dan Aksa, keempatnya hanya melambaikan tangan ke arah Yudha yang tak lama kemudian sudah hilang dari balik pintu lapangan.

“Sa, bawa motor?” tanya Jeve setelah Yudha menghilang dari balik pintu dan dijawabi anggukan dari Aksa.

“Motor lo gue bawa, Tarendra bareng sama Jovan gimana ke roti bakarnya?” ucapan Jeve membuat Aksa diam-diam tertawa kecil dalam hatinya lalu lihat-lihatan dengan Tarendra, sedangkan Tarendra sudah melototi Aksa, ia tahu apa yang di dalam pikirannya Aksa.

Tarendra mengangguk, menerima saja, ia tahu diri, yang sedang dekat itu kan Jeve dan Aksa, masa Tarendra dengan tidak tahu diri minta dibonceng oleh Jeve?

“Iya kak, gapapa, aman aja. Gue bareng kak Jovan.” final Tarendra sedangkan Jovan mengangguk-angguk saja, terserah apa kata Jeve.

“Yaudah yuk, siap-siap kita langsung ke tempat roti bakarnya aja.” ajak Jeve membuat ketiganya mengangguk dan berdiri dari duduknya di lapangan sambil menepuk celana masing-masing.

Butuh beberapa menit keempatnya merapihkan barang-barang yang mereka bawa, tidak terlalu banyak sih karena hari ini juga tidak ada yang membawa mobil, biasanya Tarendra dan Aksa akan membawa lumayan banyak barang karena ada Winan yang membawa mobil. Jadi hari ini, Tarendra dan Aksa hanya membawa barang-barang penting yang pasti kunci motor milik Aksa, tempat minum dan uang.

Sesampainya Tarendra di depan motor berwarna kuning milik Jovan, Tarendra terdiam karena ia tidak pernah menaiki motor seperti ini, bagaimana pula naik motor milik Jovan ini.

“Bisa nggak naiknya, Tarendra?” tanya Jovan melihat Tarendra hanya diam di samping motornya ketika Jovan sudah naik ke motornya sedangkan Jeve dan Aksa sudah menunggu dengan motor milik Aksa di depan keduanya.

Tarendra menggaruk tengkuknya yang tidak gatal itu, “Gimana caranya, Kak?”

Jovan tertawa kecil, maklum, jika ingin menaiki motornya memang harus diajarkan dahulu oleh si pemilik, makanya Chavian malas diboncengi oleh Jovan, karena motor Jovan susah sekali dinaiki, apalagi saat berkendara, yang dibonceng harus memegang erat atau bahkan memeluk sipengendara.

“Kakinya naik dulu ke footstep, terus pegang pundak gue buat naik, pelan-pelan aja, gue jagain motornya kok biar nggak jatuh.” instruksi Jovan membuat Tarendra mengangguk, mungkin Tarendra bisa saja berfikir kalau Jovan sedang mencari kesempatan dalam kesempitan, Tarendra harus memegang pundak Jovan, tapi setelah Tarendra pikir lagi, memang seperti itu cara naiknya kalau tidak kakinya akan kesakitan.

Setelah mendengar instruksi Jovan, Tarendra menaikkan kakinya ke footstep motor milik Jovan lalu tangannya memegang pundak Jovan dan akhirnya ia duduk di motor milik Jovan. Pandangan Tarendra terlihat sangat tinggi, baru pertama kali ini ia menaiki motor seperti ini.

Sorry gue nggak bermaksud modus, tapi daripada lo jatuh, kalau naik motor gue harus pegangan gue, lo cukup pegang tas raket gue aja, gapapa.” ucap Jovan lagi setelahnya Jovan menyalakan motornya dan disambut dengan suara knalpot yang sangat berisik di kuping Tarendra membuat Tarendra tanpa aba-aba dan mau tidak mau memegang tas raket milik Jovan.

“LAMA BANGET WOI, UDAH BELOM BUSET” Teriak Aksa dari depan yang daritadi hanya menunggu dan melihat kearah Tarendra dan Jovan yang tidak kunjung menjalankan motornya itu.

Tarendra mengeluarkan kepalan tangannya lalu berteriak, “Sabar, anJINGGG” dan diakhiri teriakan terkejut karena tiba-tiba saja Jovan menggas motornya, hampir saja Tarendra jomplang sedangkan Jovan hanya tertawa kecil, lucu pikirnya.

“KAK JOVAN PELAN-PELAN ANJIR, KAGET GUE.” omel Tarendra sambil teriak karena benar-benar suara knalpot milik Jovan berisik sekali, ia harus berteriak.

“Lo nggak usah teriak-teriak, gue denger kok.” ucap Jovan sambil tertawa kecil membuka kaca helmnya dan menghadapkan badan ke arah Tarendra yang sedang memasang wajah sebal, ia kan jadi deg-degan, maksudnya deg-degan karena hampir saja jomplang di motor orang, kan nggak lucu.

“Duluan Jev, gue ngikut dari belakang.” ucap Jovan karena sejatinya memang Jovan selalu berada di belakang, selain agar teman-temannya tidak hilang, ia juga sadar motornya ia memiliki knalpot yang berisik.


Sudah hampir satu jam mereka berempat berbincang di tukang roti bakar ini, sudah berlalu-lalang banyak orang disekitar mereka, silih berganti orang disekitar tidak membuat keempatnya memiliki keinginan beranjak dari tempat duduknya.

Di hampir satu jam itu juga akhirnya Aksa memberitahukan pada Jovan kalau dirinya merupakan teman kecilnya dahulu, tetangganya dahulu membuat Jeve tertawa, memang dunia milik Jovan sesempit itu ternyata.

Di hampir satu jam itu juga akhirnya Tarendra dan Aksa mengetahui kalau sebenarnya Jovan sejak pertama kali ketemu sudah tahu kalau Aksa adalah Aksa tetangganya dahulu dan Tarendra adalah teman dekat tetangganya itu. Teman yang selalu mengunjungi rumah Aksa setiap kali Jovan melihat.

“Terus sekarang lo sibuk apa, Kak?” tanya Aksa pada Jovan karena yang Aksa tahu, Jovan saat ini adalah kepala rumah tangga di rumahnya. Itulah yang Aksa tangkap dari cerita Jovan sejak tadi setelah mereka membicarakan tentang masa tetanggaan dulu.

Kepindahan Jovan merupakan terakhir kalinya ia melihat sosok Papa dari hidupnya. Bukan, Papanya masih hidup, kok. Hanya saja, sosok Papa itu sudah pergi, entah kemana Jovan tidak perduli. Saat ini dirinya hanya sibuk untuk dirinya, Mamanya, dan adik satu-satunya.

“Gue sibuk foto aja sih, Sa. Nyokap juga di rumah terus adik gue si Zafira juga masih sekolah jadi mau gak mau gue sibuk cari kerjaan buat nafkahin nyokap dan adik gue sih.” mendengar penjelasan Jovan yang ternyata sesibuk itu hidupnya membuat Tarendra mengangguk-anggukan kepala. Jika ia menjadi Jovan, ia tidak tahu lagi kemana arah hidupnya, menjadi kepala keluarga di umur kepala 2 rasanya sulit, belum lagi harus menafkahi 2 orang di keluarganya itu, semuanya ia emban sendirian.

“Nyokap gue aja sih yang suka berisik di rumah, nanya terus kapan gue nikah kapan gue nikah, mana diem diem liat tabungan gue yang katanya udah siap buat nikah.” lanjut Jovan membuat Jeve tertawa, sedangkan Aksa dan Tarendra dari pertemuannya ini mengenal Jovan lebih dalam, lelaki tersebut ternyata suka sekali bercerita.

“Nyokap lo mau lo juga bahagia kali Jov, masa ngurusin nyokap lo dan adik lo terus, dia juga mau liat lo punya pacar lagi kali.” ucap Jeve yang mengenal Jovan karena ia tahu, sepekerja keras apa Jovan untuk menafkahi Mama dan Adiknya itu.

“Lo lebih pilih kerja jadi fotografer dibanding kerja kantoran apa gimana, Kak?” tanya Aksa karena ia juga sedikit tertarik dengan pembahasan ini, rasanya dunia ternyata luas juga, banyak banget hal yang bisa dipilih dan nggak semuanya harus sesuai dengan tata nilai dunia yang entah siapa yang menilainya itu.

Jovan menggedikkan bahunya, “Gue pernah kerja kantoran kok, cuma banyak banget dramanya anjir. Kayak, lo pada tau nggak sih yang suka ada di drama drama tentang kantor, itu beneran kejadian di kantor gue yang lama, selingkuh sama temen sekantor, terus juga macem-macem lah. Stress emang kantor lama gue.”

Dan di hampir dua jam itu, Jovan bercerita mengenai kantor lamanya yang isinya penuh dengan drama, Jeve tahu cerita tentang itu dan memang Jeve yang menyuruh Jovan bercerita lebih dalam tentang drama kantornya, karena menurut Jeve cerita Jovan itu selalu lucu.

“Kalian tahun depan skripsian kan ya?” tanya Jeve setelah selesai dengan cerita milik Jovan, seingat Jeve seharusnya Tarendra dan Aksa sudah mulai menggarap skripsi mereka tahun depan karena umur mereka tidak terlalu jauh.

Tarendra dan Aksa mengangguk, “Minta saran dong kak, gimana ya menghadapi skripsi.”

Jeve tertawa kecil mendengar ucapan Aksa, Jeve juga baru saja lulus kok, walau telat hampir dua semester karena ia sibuk dengan pekerjaannya sebagai model itu.

“Dikerjain aja sih, Sa. Nanti juga selesai.”

“Yaiya dikerjain lah Kak, kalau nggak dikerjain nggak selesai dong namanya.” sambung Aksa sebal sedangkan Tarendra hanya tertawa.

“Gue mau ngasih saran tapi gue nggak kuliah, jadi nggak tau rasanya ngerjain skripsi lagi, cuma tau rasanya cari duit capek banget, cari kerja capek banget.” ucap Jovan membuat Tarendra kembali penasaran, ternyata hidup Jovan banyak sekali ceritanya ya, bagi dirinya.

“Kenapa milih nggak kuliah Kak?” sekarang Tarendra yang bertanya pada Jovan.

“Karena gue nggak ada dana buat lanjut kuliah, gue lebih mikirin gimana nyokap dan adik gue hidup kalau gue gak kerja nyari uang buat mereka hidup kedepannya. Waktu itu nenek gue mau bayarin gue kuliah, tapi gue tolak, lulus SMK gue mau langsung cari kerja aja biar bisa bantu keuangan keluarga gue.” jawab Jovan, Jeve yang tahu alasan Jovan tidak kuliah hanya mengangguk.

Sedangkan Tarendra dan Aksa juga ikut mengangguk mendengar jawaban dari Jovan.

Tarendra tidak banyak tahu rasanya gimana mencari uang apalagi cari kerja, semuanya masih dibiayai oleh kedua orang tuanya, bahkan kuliahnya saat ini masih dibiayai oleh kedua orang tuanya, apa yang dimau Tarendra masih diberikan oleh kedua orang tuanya.


@roseschies, 2025.

018.

Setelah sekitar 15 menit Tarendra, Aksa, dan Winan menunggu teman-teman Jeve sampai di lapangan. Akhirnya 2 motor yang suaranya sudah terdengar dari kejauhan terlihat dari pandangannya ketiganya.

Jovan yang membawa motor kopling dengan knalpotnya yang agak berisik itu dan Jeve yang berada di boncengan lalu Yudha yang membawa motor matic hitam miliknya dengan Chavian yang berada di boncengan menuju depan lapangan di mana Tarendra, Aksa, dan Winan sudah menunggu mereka.

Butuh beberapa waktu sampai akhirnya keempatnya selesai bersiap-siap turun dari motor sambil meletakkan helmnya masing-masing di motor, kecuali Jovan karena helm miliknya sedikit mahal. Jovan membawa helmnya itu di tangannya lalu keempatnya mendekat ke arah tiga lelaki yang sudah menunggu mereka mungkin sejak tadi.

Salahkan Jeve yang lama sekali bersiap-siap, Jovan rasa Jeve benar-benar menyiapkan dirinya bertemu Aksa karena Jovan bisa mencium wangi parfum semerbak yang digunakan Jeve sejak tadi di motor.

Sorry lama, Jeve lama banget sumpah.” Ucap Jovan sesampainya ia di depan ketiga lelaki yang sedang menunggunya.

Yudha menggeleng, karena dirinya juga paham, menunggu Jovan sampai ditikum sangat lama, padahal motor Jovan bisa melaju dengan cepat, pasti alasannya karena Jeve lama bersiap-siap.

“Aman, kak. Kita aja yang kecepetan.” ucap Tarendra karena Winan dan Aksa lagi sibuk dengan peralatan badmintonnya itu, membiarkan Tarendra membuka suara lebih dulu.

“Yaudah yuk, langsung aja ke lapangan 3, tadi udah bilang kan ya atas nama Yudha ganteng?” Tanya Yudha membuat Aksa mengangguk. Walau saat bertanya mengenai lapangan yang sudah Yudha reservasi membuat Aksa malu sendiri karena harus menyebut nama Yudha Ganteng.

“Yuk.” Ajak Yudha setelah melihat anggukan dari Aksa, akhirnya mereka berjalan menuju lapangan 3 sambil menaruh barang-barang milik masing-masing di bangku yang tak jauh dari lapangan 3.


Setelah 2 jam mereka habiskan waktu berganti-gantian bermain badminton, ke tujuh lelaki itu duduk di bangku yang tersedia sedangkan Yudha, Jovan, dan Chavian duduk di lapangan membiarkan yang lain duduk di bangku sambil mengatur napasnya.

Ternyata permainan pertama ini melelahkan juga bagi ke tujuh lelaki tersebut.

“Capek juga ya anjir, padahal cuma sejam seorang, tapi kayak marathon. Jago juga kalian mainnya.” celetuk Yudha sambil menggosokan handuk kecil miliknya ke leher miliknya yang bercucuran keringat.

Jovan mengangguk setuju. Bahkan ia tidak menyangka lawannya Winan dan Tarendra sejago itu main badminton.

“Jago juga lu Ta mainnya, gila kewalahan gue ngejarnya.” tambah Yudha membuat Winan tertawa, bagaimana tidak, Tarendra memang selalu menjadi orang yang kompetitif dalam sebuah pertandingan, apalagi badminton merupakan olahraga yang paling disukai Tarendra meskipun ia sudah lama tidak bermain badminton.

“Emang kak, si Tarendra paling jago main badmin, coba suruh lari, ketinggalan jauh dia.” ledek Winan membuat Tarendra melemparkan handuk kecil miliknya ke arah Winan.

“Sialan lu, Win.”

“Gue kewalahan gara-gara satu tim gue si Jovan, matanya kemana tau kalau liat Kok.” ucapan Yudha membuat Jeve tertawa, sejak tadi ia memerhatikan permainan Jovan Yudha melawan Tarendra Winan memang Jovan lah yang membuat Yudha kewalahan, karena Jovan selalu miss dalam mengambil Kok.

“Gue udah berusaha ya, Yud.” jawab Jovan setelah meneguk minumannya, tenggorokannya terasa hdiup kembali. Jovan memang sudah lama sekali tidak main badminton.

“Salahin lapangannya, cahayanya nusuk mata gue banget anjir, setiap liat Kok kehalang cahaya.” tambah Jovan, beralasan.

“Alesan aja lu Jov.”

“Dih, coba lu ditempat gue Jev, rasain dah, asli cahayanya nutupin Kok.” bela Jovan lagi dan masih menyalahkan cahaya lapangan.

“Gue setuju dikit sih sama Bang Jov, emang cahaya di tempat itu agak silau, nutupin pemandangan, gue aja beberapa kali kabur liat Kok.” kali ini Chavian membela Jovan karena dirinya saat bermain juga di tempat yang sama dengan Jovan.

“KAN!”

“Eh, foto dulu yuk foto,” ajak Yudha tiba-tiba sambil bangun dari duduknya itu dan diikuti anggukan dari 6 orang lainnya yang sama-sama ikut berdiri dari duduknya.

“Fotoin Jov, lu kan fotografer kita.” suruh Jeve sambil memberikan ponselnya ke Jovan sedangkan Jovan mengeluarkan wajah yang kalau bisa ditranslate seperti berbicara 'dih?'

“TERUS GUE GAK IKUTAN FOTO?” sahut Jovan tidak terima membuat Chavian tertawa, muka Jovan benar-benar tidak terima.

Chavian dengan inisiatifnya langsung meminta tolong pada seseorang yang tidak jauh dari dirinya untuk meminta tolong untuk memfotokan mereka bertujuh di lapangan dan memberikan ponsel milik Jeve pada seseorang itu.

Butuh beberapa waktu sampai akhirnya mereka bertujuh berdiri pada tempatnya, meskipun harus berantem dulu karena Winan selalu meledeki Aksa untuk berdiri sebelah Jeve dan Yudha yang juga meledeki Jeve untuk berdiri sebelah Aksa.

“Makasih ya, Kak.” ucap ramah Chavian pada seseorang yang ia minta tolong tersebut lalu memberikan ponsel milik Jeve pada pemiliknya membuat mereka mengerubungi Jeve untuk melihat hasil fotonya.

“Lu pada fans gue ya deket deket amat ke gue, ntar fotonya gue share ke grup juga kok, bagus udah bagus.”

“Iya bagus, lu keliatan sumringah banget berdiri sebelah Aksa, Jev.” goda Jovan yang menghasilkan pukulan ringan jatuh ke lengan atas Jovan.

“Langsung pada balik, nih?” tanya Yudha seakan-akan memberikan isyarat masa habis main langsung pulang, sih?

“Makan bareng dulu yuk, gue tau nasi goreng deket sini yang enak masih buka.” Aksa membuka suara untuk memberikan saran lebih lanjut dan disetujui oleh keenam orang lainnya.

Lagi pula, habis olahraga terbitlah lapar di perut mereka.


@roseschies, 2025.

005.

Butuh tiga puluh menit akhirnya Tarendra dan Aksa sampai di cafe 'depan'. Betul memang nama cafenya adalah cafe 'depan', bukan cafe yang berada di depan tempat tinggal siapa-siapa tetapi memang nama cafenya adalah cafe 'depan'.

Tarendra melepaskan helm yang ia gunakan yang sebetulnya milik Aksa lalu memberikan helm tersebut apda Aksa dan disambut oleh Aksa lalu ia menaruh helm miliknya di spion kanan dan helm yang digunakan Tarendra di spion kiri.

“Udah pada sampai, Sa?' tanya Tarendra sambil membenarkan poni rambutnya karena terlihat acak-acakan setelah pakai helm.

Aksa menggedikkan bahu tanda ia juga tidak tahu. Setelahnya, Aksa merogoh tasnya untuk mengambil ponsel miliknya dan mengecek ponselnya untuk melihat apakah ada pesan dari sang kakak tingkat — Jeve, ternyata ada satu pesan masuk dari Jeve yang di dalamnya mengatakan kalau Jeve sudah sampai di cafe bersama teman-temannya.

Maka dari itu, Aksa mengajak Tarendra untuk masuk ke dalam cafe untuk bertemu dengan Jeve dan teman-teman Jeve itu.

Dari kejauhan, Aksa sudah melihat wajah familiar milik Jeve yang sedang duduk dengan tiga orang lainnya yang ia ketahui mereka adalah teman-teman Jeve lalu Aksa kembali menarik tangan Tarendra membuat Tarendra mendengus sebal karena tarikan Aksa membuat Tarendra terkejut, dirinya sedang membenarkan baju kemeja yang sedang ia gunakan karena terlihat berantakan.

Aneh tetapi rasanya Tarendra ingin membenarkan apa yang ia gunakan hari ini, ingin terlihat rapi, pikirnya saja sih.

“Hallo, Kak Jev.” sapa Aksa sambil melambaikan tangannya pada Jeve dan ketiga teman Jeve sedangkan Tarendra dibelakang Aksa hanya menganggukan kepalanya kecil, seperti pengikut Aksa saja di belakang diam berdiri.

“Hallo, S—” “AKSA!” Teriak Chavian setelah melihat keberadaan Aksa membuat Aksa terkejut, ternyata ada satu orang yang ia kenal di dalam pertemanan Jeve ini.

Aksa memang memiliki banyak teman di lingkungan kampus bahkan di setiap fakutlas, Aksa memiliki setidaknya satu atau dua teman seperti contohnya Chavian, temannya dari fakultas lain. Sedangkan Chavian sendiri sempat aktif BEM maka ia juga mengenal beberapa orang dari beberapa fakultas.

“Loh, Chav, gak nyangka bisa ketemu di sini.” Ucap Aksa lalu bertos ria dengan Chavian, menghiraukan sapaan Jeve membuat Yudha dan Jovan tertawa kecil dengan diam-diam Jovan melirikkan matanya, melihat lelaki yang sedang sibuk merapihkan kemejanya hanya berdiam diri mengikuti Aksa.

“Gue juga kaget waktu bang Jeve bilang kalau temen yang dia ajak itu lo, Sa. Eh, sini sini duduk.” Ucap Chavian menepuk bangku kosong yang berada di sebelahnya di mana bangku tersebut sebelumnya untuk satu tambahan teman Aksa dan untuk bangku Aksa sudah disiapkan di sebelah Jeve.

Lagi-lagi Yudha dan Jovan hanya bisa tertawa melihatnya karena Jeve sekarang sedang menggaruk kepalanya, kikuk sendiri.

Dengan sigap, Jovan yang paham dengan teman Aksa yang sepertinya introvert itu langsung pindah duduk di sebelah Jeve membiarkan teman Aksa duduk di sebelah Aksa.

Jovan memberikan gesture untuk lelaki tersebut membuat Tarendra mengangguk kecil lalu mengeluarkan suara kecil, “Terima kasih,” dan disambut dengan anggukan dan senyuman kecil dari Jovan.

“Eh, kenalin ini temen gue, namanya Tarendra.” ucap Aksa hampir saja kelupaan kalau ia membawa Tarendra hari ini karena sibuk berbincang dengan Chavian.

Tarendra tersenyum kecil menyapa teman-teman Jeve, “Hallo, Tarendra.”

“Hallo, Tarendra. Santai aja ya sama kita-kita, kita gak gigit kok, paling Jovan aja sih suka gigit.” Yudha membuka suara sebagai tanda perkenalan awal membuat Jovan melemparkan tisu ke arah Yudha sedangkan Yudha menjulurkan lidahnya meledek Jovan.

“Kurang ajar lo.”

Jeve hanya bisa menggelengkan kepala melihat kelakuan temannya ini, bisa-bisa Aksa menilai kalau dirinya sama seperti teman-temannya, padahal memang sama.

“Oh iya, Sa, Ta, kenalin ini temen-temen gue. Ini Namanya Yudha,” Jeve memperkenalkan Yudha terlebih dahuliu sambil menunjuk Yudha yang masih meledek Jovan.

Lalu Jeve menunjuk Jovan yang sedang mengepalkan tangannya seakan-akan ingin menonjok Yudha, “Kalau ini namanya Jovan. Nah, kalau yang ada di sebelah lo udah kenal kan, Chacha.”

“BANG!”

Jeve tertawa, karena panggilan Chacha hanya dilontarkan oleh Jeve, Yudha, dan Jovan untuk Chavian. Panggilan sayang pada adik kecilnya itu, kalau kata mereka. Walau sebenarnya Jeve juga umurnya berbeda setahun dengan Yudha dan Jovan yang lebih tua, tetapi Chavian memang adik kecil diantara mereka semua.


Beberapa jam sudah mereka habiskan untuk mengobrol banyak hal sampai akhirnya Tarendra mulai membiasakan diri karena beberapa kali Jovan mencoba mengajak dirinya berbicara, sepertinya Jovan tahu kalau Tarendra sedikit kesusahan untuk berbaur dengan orang pertama kali.

“Kayaknya seru deh kalau kapan kapan kita bulu tangkis bareng.” ucap Yudha tiba-tiba memberikan ide untuk kegiatan mereka seakan-akan mereka sudah sedekat nadi.

Yudha kepikiran tiba-tiba saja mengajak Tarendra dan Aksa bulu tangkis karena setelah mendengar percakapan sejak tadi, sepertinya teman-temannya dan teman-teman Tarendra dan Aksa memiliki kesamaan.

“Eh, boleh tuh, Kak.” Jawab Aksa diikuti anggukan dari Tarendra menyetujui ajakan Yudha, lagi pula Tarendra belakangan ini mulai jarang olahraga lagi karena banyaknya kegiatan yang ia miliki. Siapa tahu, dengan bertambahnya kegiatan olahraga bersama dengan beberapa temannya ini bisa menambah semangat Tarendra untuk berolahraga.

Idih, otak lo encer juga tiba-tiba Yud.” Sahut Jeve yang sebenarnya meledek Yudha karena tiba-tiba saja Yudha memiliki ide untuk melanjutkan pertemuan ini ke ara yang sehat yaitu berolahraga.

“Ck, gue juga setiap hari otaknya jalan, gak kayak lo, otak pajangan doang, Jev.” Balas Yudha, meledeki Jeve balik.

“Kalau otak lo jalan, berarti lo sekarang gak punya otak dong Bang.” Sahutan Chavian membuat Jeve dan Jocan tertawa bahkan Tarendra dan Aksa yang baru saja mengenal mereka ikut tertawa, ada benarnya juga ucapan Chavian.

Yudha yang duduk di sebelah Chavian langsung memiting Chavian, “Kurang ajar ya adik kecil.”

“BISA STOP GAK?” Chavian paling sebal kalau teman-temannya itu sudah memanggil dirinya adik kecil. Iya, Chavian tahu, ia paling muda diantara teman-temannya itu, sih.

Tarendra yang melihat interaksi mereka hanya bisa tertawa, karena teman-teman Jeve itu sama lucunya dengan dirinya dan kedua temannya — Aksa dan Winan.

Tarendra juga tidak bodoh, sejak tadi ia merasa dirinya sedang diperhatikan oleh seseorang, yang tak lain dan tak bukan adalah seseorang yang berada di sampingnya, Jovan Arun.

Rasanya Tarendra sedikit merinding, takut terjadi sesuatu yang sebenarnya Tarendra tidak ingin pikir lebih lanjut karena Tarendra sudah tidak percaya dengan hal seperti itu.

Rasa suka dan rasa cinta.

Lagipula, apa yang harus disukai dari penampilan Tarendra hari ini, bahkan hari ini Tarendra rasanya sedang tidak rapi seperti biasanya, sangat berantakan, apa yang Jovan lihat dari diri Tarendra.


@roseschies, 2025.

Florist

A Johnten oneshot by roseschies


Pagi ini menjadi pagi yang sama seperti pagi pagi lainnya, toko yang diisi dengan suara omelan Ten pada Dejun dan Kun yang berusaha untuk jadi penengah antara kedua manusia yang sedang adu mulut itu.

“Jun gue kan udah bilang hari ini dateng lebih pagi. Jam 7 bukan jam setengah 8. Lo dengerin gue gak sih?!” Tanya Ten sambil sibuk mengeluarkan beberapa pot bunga untuk dijadikan display di luar toko untuk mempercantik toko ini.

Dejun yang sedang meletakkan tasnya lalu buru-buru memakai celemek untuk menutupi pakaiannya supaya tidak kotor terkena tanah dari pot bunga atau tumbuhan yang ada di sini ketika ia sedang memindahkan pot hanya bisa menjawab dampratan Ten yang juga sama sibuknya, “Gue dengerin sumpah Kak, tapi gue dipaksa Hendery buat sarapan dulu, tadi gue kesiangan bangunnya, kalau gue nggak sarapan dulu yang ada gue kena semprot Hendery juga.”

“Ya lo udah tau mau masuk lebih pagi kenapa tidurnya malem malem! Paling si Hendery juga nih yang bikin lama, emang tuh manusia sebiji bikin pala gue mumet aja kerjaannya.” Ucap Ten kali ini Hendery menjadi sasaran omelan Ten, padahal orangnya saja tidak ada, karena setelah mengantar Dejun ke toko, Hendery langsung menancapkan gas menuju kampunys. Selain ada kelas, ia juga menghindari semprotan Ten. Apapun alasan Dejun telat, Hendery adalah sasaran empuk bagi Ten.

“Udah Ten, yang penting Dejun udah sampai di toko dengan selamat.” Giliran Kun yang selalu menjadi penengah antara Ten dan Dejun.

“Jun, ini antar bucket bunga yang ini ke alamat ini, sama yang lebih gede satu ini ke alamat yang ini ya. Agak cepet ya Jun, udah ditunggu soalnya.” Ucap Kun sambil memberi kertas berisi alamat dan menunjuk dua bungkusan berisi bucket bunga yang akan dikirim oleh Dejun.

Dejun memang memiliki tanggung jawab sebagai delivery di toko ini. Maka dari itu, Ten selalu mengomel ketika Dejun telat, karena pelanggan yang sudah reservasi untuk dikirim pagi hari akan menunggu lebih dari perkiraan yang sudah Ten beri pada sang pelanggan.

Tanpa babibu, Dejun langsung mengangguk paham dan mengambil dua bungkusan tersebut lalu pergi menuju motor delivery yang sudah terparkir rapi di depan toko.

“Duduk dulu Ten. Kita hari ini open jam 8 lebih kan. Ini masih setengah delapan.” Pinta Kun pada Ten yang saat ini masih sibuk memindahkan beberapa pot bunga pada tempatnya masing-masing sebelum closing tiap malam.

Ten mengangguk patuh pada Kun, “Gue kayaknya galak banget ya Kun sama Dejun tadi? Sorry deh, abisan gue gak enak udah janji sama pelanggan mau antar lebih pagi. Takutnya dia butuh banget.”

Kun menggeleng, “Nggak kok. Wajar lo marah karena Dejun juga tadi telat dari waktu yang udah diomongin semalam. Mungkin juga semalam Dejun telat tidur karena sibuk ngerekap akhir bulanan, Ten.”

Ten lupa, semalam memang mereka bertiga sibuk merekap akhir bulanan pembelian bunga pada bulan ini dan bagian Dejun memang agak sedikit banyak dibanding dirinya dan Kun.

“Oh iya ya Kun, gue lupa banget. Duh, jadi merasa bersalah gue Kun.”

Kun tertawa kecil, memang selalu seperti ini ketika Ten dan Dejun adu mulut pasti berujung Ten selalu merasa bersalah. Meskipun begitu, besoknya akan diulangi lagi dan terus begitu.

Heaven's florist. Toko bunga yang saat ini menjadi tempat di mana Ten, Dejun, dan Kun bekerja mencari uang.

Sebenarnya, toko bunga ini pada awalnya dirintis dan dibesari oleh Irene, kakak satu-satunya Ten. Namun, setelah Irene menikah bersama Suho, Irene memutuskan untuk memberikan toko bunga ini pada Ten agar Ten meneruskan dan mengurus toko bunga yang sudah Irene besarkan bersama kedua staff setia toko bunga ini, Dejun dan Kun.

Faktanya memang Kun dan Dejun lebih lama bekerja di toko bunga ini, tetapi bagaimanapun juga Ten adalah atasan mereka berdua. Tetapi, rasanya aneh ketika Kun dan Dejun melihat Ten sebagai atasan, pun Ten rasanya aneh untuk melihat dirinya sebagai atasan Dejun dan Ten.

Pada awalnya memang Ten menolak karena ia sangat malas harus menjaga dan meneruskan toko bunga tersebut. Tetapi lama kelamaan Ten terbiasa juga enjoy karena dirinya bertemu Dejun dan Kun meskipun keduanya selalu menjadi bahan bahan omelan Ten, terutama Dejun. Bukannya Dejun sering telat tetapi karena kekasih Dejun yang bernama Hendery itu selalu merecoki Dejun di toko (tidak termasuk jam istirahat dan jam pulang) dan berujung Kun selalu menjadi penengah bersama Dejun sebelum pada akhirnya Hendery kena gebuk sapu oleh Ten.

Jam 8 lebih 10, teng! Kun membalikkan tanda close menjadi open kemudian dirinya kembali menuju kasir untuk duduk sembari menunggu pelantggan datang walau sekedar melihat-lihat bunga yang ada di display sedangkan bagian Ten adalah menjelaskan bunga-bunga yang ada ketika pelanggan bertanya juga sesekali Ten menyiram beberapa pot.

“Hari ini ada yang janji mau pick-up nggak Kun?” Tanya Ten sambil memerhatikan beberapa bunga yang ada, memastikan bahwa bunga yang dijual oleh tokonya itu bunga kualitas paling bagus dan tidak layu apalagi terkena semut semut tidak jelas yang tiba-tiba sudah menggantung di kelopak atau batang bunga.

Mendengar Ten bertanya, Kun langsung mencari buku yang berisi janji-janji yang sudah ditulis oleh Kun setiap ia menerima telepon dari pelanggan, kemudian Kun menggeleng, “Nggak ada Ten, hari ini cuma ada delivery yang dua tadi sama delivery nanti siang jam 1 an.”

Ten mengangguk lalu teringat jam yang ditentukan adalah jam setelah istirahat siang yang dipastikan Hendery akan datang untuk bertemu sapa dengan Dejun membuat Ten sudah waspada terlebih dahulu, “Awas aja si Hendery ngerecokin si Dejun.”

Kun hanya tertawa mendengar ucapan Ten, “Ten, dendam banget sama Hendery.”

“Ya abisan! Itu manusia suka banget recokin anak gue. Dih, ganteng kali dia.” Ucap Ten sambil memikirkan betapa menyebalkan wajah Hendery ketika menggoda Dejun, menyebalkan.

Kun tertawa lagi, “Lo belum ngerasain jadi budak cinta aja sih, Ten. Mana tau nanti lo kayak Hendery sama Dejun juga.”

“Dih, ogah gue Kun.”

“Btw Kun, tadi gue udah nyiram pot yang luar belum ya?” Tanya Ten pada Kun membuat Kun menggeleng karena seingatnya tadi Ten belum menyiram pot depan setelah Ten menaruh pot-pot tersebut sambil memarahi Dejun yang telat.

Ten langsung beranjak dari tempat duduknya lalu mengambil tempat untuk menyiram bunga-bunga tersebut yang membutuhkan air agar tetap bisa bernafas.


Pagi ini Johnny sedang mengitari komplek bersama dengan Yuta, hari ini keduanya sedang tidak ada kelas kuliah maka dari itu sejak pagi entah apa gerangan Yuta sudah meminta Johnny untuk menemaninya makan bubur di dekat pangkalan tempat biasa Johnny nongkrong.

Beberapa kali Johnny menyapa kawan satu tipenya dipinggir jalan lalu lanjut mendengarkan Yuta yang sedang berbicara. Meskipun Johnny ini merupakan preman yang lumayan terkenal di lingkungan sini, Yuta tidak merasa masalah berteman dengan Johnny. Walau begitu, Johnny tetap bisa memposisikan dirinya ketika dirinya sedang menjadi preman yang sebenarnya bukan preman juga, atau sedang menjadi seorang mahasiswa, atau terkadang menjadi orang biasa seperti saat ini.

Karena sebenarnya, Johnny hanyalah orang yang ingin membantu orang-orang sekitar yang memang harus ia bantu, bukan preman yang akan meresahkan warga seperti tawuran secara tiba-tiba, atau membakar mobil, misal. Lebih tepatnya, Johnny menjadi preman yang disayangi oleh lingkungan ini karena Johnny selalu menjaga ketertiban bagi lingkungan. Seperti, ketika tengah malam Johnny melihat ada perempuan jalan sendiri, maka Johnny akan senang hati menemani perempuan tersebut karena sejatinya orang-orang jahat di sekitar masih banyak sekali di sini.

Johnny memang kuliah, di kampus yang biasa saja sih, lagipula Johnny kuliah juga karena Papanya yang ingin dirinya tetap kuliah.

Menjadi preman? Papanya sama sekali tidak perduli dirinya ini mau jadi apa. Johnny hidup sendiri di Jakarta ini, paling dirinya hanya ditemani dengan Yuta dan Papanya sama sekali tidak menahu bahwa Johnny di sini menjadi preman-premanan.

Merokok dan minum? Tentu, sudah menjadi teman baik Johnny. Namun, lelaki itu masih paham dengan kadar yang masuk ke dalam tubuhnya. Kalau Papanya mengirim pesan pada dirinya, toh pertanyaannya hanya seputar kuliah.

Dan ya, Johnny pintar, kok. Setidaknya menurut dirinya dan juga menurut Yuta. Nilai yang didapat Johnny tidak jelek jelek amat, nggak ada yang D apalagi E, bagi Johnny itu aman.

Yuta terkadang takjub dengan Johnny. Johnny ini, orang yang sangat susah ditebak. Bagian luar ketika melihat Johnny pada pertama kali memang menyeramkan seperti preman pada umumnya yang suka menggodai perempuan secara sembarang, juga catcalling, dan lainnya. Tetapi ketika mengenal Johnny lebih dalam, Yuta yakin, Johnny ini adalah orang yang sangat baik.

Perjalanan menuju tukang bubur yang dimaksud memang memakan waktu lumayan lama karena tempatnya agak jauh dari kosan Johnny. Oh, mereka berdua juga memutuskan untuk berjalan kaki, sekalian olahraga kalau kata Yuta. Banyak gaya, kalau kata Johnny. Tetapi Johnny manut saja dengan Yuta. Benar juga, itung-itung olahraga pagi.

Jalan pagi keduanya hanya diisi oleh curhat curhit lebih tepatnya Yuta yang curhat tentang Jisung -adiknya Yuta, yang sekarang sudah lupa akan eksistensi dirinya (mungkin ini Yuta saja yang terlalu hiperbola) akibat Jisung terlalu banyak main dengan Chenle -kata Yuta dia adalah kekasih Jisung. Yuta memang sangat posesif dengan adiknya, padahal Jisung juga sudah besar kok.

“Makanya Yut, udah waktunya lo yang cari pacar, jangan ngintilin adek lo mulu.” Celetuk Johnny membuat Yuta semakin semangat untuk bercerita seakan Johnny sudah menyebut satu kunci utama yang ingin sekali Yuta ceritakan juga.

“Anjing tapi bener sih Jo, gue ngerasa juga kayaknya gue terlalu sayang sayangin Jisung banget. Ya gimana sih Jo, rasanya gue baru lihat Jisung lahir kemarin dah, eh anaknya udah gede aja. Mana dia cerita ke gue lagi kemarin abis di cium sama si Chenle, sialan.” Cibir Yuta membuat Johnny tertawa, memang dasarnya Jisung mudah sekali membuat Yuta ngamuk lalu menggodai kakaknya itu. Habis, ekspresi Yuta sangat lucu, setidaknya itu yang Johnny tahu dari Jisung. Maka dari itu, Jisung suka sekali menjahili kakaknya.

“Ngomong ngomong tentang gue cari pacar. Sebenernya ya Jo, gue lagi agak deket sama seseorang sih – “

Tiba-tiba saja saluran pendengaran Johnny terhadap cerita yang sedang berlangsung dari mulut Yuta terhenti ketika Johnny tidak sengaja melihat seseorang yang sedang menyiram bunga di depan toko bunga. Lelaki itu sangat serius menyiram bunga bunga tersebut lalu melihat satu persatu kelopak yang ada di sana, benar-benar definisi mencintai bunga sebegitunya. Namun, bukan bunga yang menjadi fokus Johnny. Tetapi, lelaki tersebut.

Entah Johnny yang sudah kehilangan fokus, Johnny membawa kakinya lurus menuju toko bunga tersebut ketika Yuta sudah membelokkan dirinya ke kanan karena jalur menuju tukang bubur memanglah jalur yang dipilih Yuta, bukan Johnny.

“Jo!”

“Johnny!”

“JOHNNY SUH WOI LO MAU KEMANA?!” Teriak Yuta lalu menarik tubuh Johnny yang langsung limbung ketika Yuta menarik tubuh tersebut yang seketika terasa kosong.

Yuta melihat arah mata Johnny yang sedang melihat dua orang lelaki yang sedang adu mulut, yang satu baru saja turun dari motor sedangkan yang satu sedang membawa tempat untuk menyiram bunga.

Johnny tiba-tiba tertawa dengan sendirinya membuat Yuta menatap Johnny horror karena lelaki itu tiba-tiba tertawa sendiri.

“Dasar orang gila, napa lo ketawa ketawa sendiri anjir.”

Johnny menggeleng lalu tersenyum kecil masih dengan pandangan yang tidak putus memandang lelaki yang saat ini sedang mendorong lelaki lainnya yang tadi baru saja turun dari motor kemudian menyeletuk dengan sendirinya, “Lucu.”

“Hah? Siapa lucu? Winwin lucu?” Tanya Yuta, ia masih bingung dengan topik yang dibawa oleh Johnny saat ini.

Johnny memutus pandangannya tadi karena lelaki itu sudah masuk ke dalam toko bunga lalu menghadap ke arah Yuta dengan dahi yang mengernyit, bingung.

“Winwin? Winwin siapa?”

“LO DENGERIN CERITA GUE GA SIH DARITADI?!” Decak Yuta, sebal dengan Johnny yang malah tidak tahu Winwin siapa, padahal daritadi Yuta mengoceh tentang Winwin, si adik tingkat Yuta yang sedang Yuta coba untuk dekati.

“Emang lo cerita apaaan Yut?” Dengan wajah tanpa dosa Johnny menjawab seperti itu pada Yuta membuat Yuta semakin jengkel dengan Johnny yang jiwanya entah kemana sejak tadi.

“GUE CERITA TENTANG GUE DAN MASA DEPAN GUE JOHNNY. Alah tau lah anjing pundung.” Ambek Yuta lalu meninggalkan Johnny dan jalan lebih dulu sedangkan Johnny langsung ikut jalan di sebelah Yuta yang sedang 'pundung' terhadap dirinya.

“Jelek lo, badan gede doang tapi pundungan,”

“Eh Yut, lo pernah beli bunga nggak?” Tanya Johnny tiba-tiba sekali membuat Yuta heran.

“Hah? Lo tiba-tiba napa nanya gitu dah Jo,”

“Kaga, gue ngidam bunga dah.”

Kali ini Yuta menatap Johnny semakin horror, aneh.

“Dih, aneh lo anjir.”

“Lo tuh nggak ngerti Yut,”

“APA YANG GUE GAK NGERTI? LO ANEH, JOHNNY SUH.”

“STOP TERIAK DI KUPING GUE NAKAMOTO YUTA.”

Beberapa orang yang sedang berlalu lalang olahraga pagi hanya menatap keduanya aneh.


Hari ini setelah beberapa hari Johnny selalu terbayang-bayang lelaki yang ia temu sedang menyiram bunga di depan toko bunga tempo lalu, akhirnya Johnny memutuskan untuk mendatangi toko bunga tersebut.

Di sinilah Johnny berada, di dalam toko bunga berdiri tepat di depan lelaki yang Johnny maksud. Sebenarnya Johnny tiadk begit paham dengan bunga, lagipula memang niat Johnny sejak awal bukan untuk membeli bunga, tetapi Johnny ingin bertemu dengan lelaki yang entah seorang pemilik atau hanya pekerja di toko bunga ini.

“Halo, Mas? Mau beli bunga yang mana ya Mas?” Berkali-kali juga Ten memanggil pelanggan yang sejak tadi haya berdiri di depannya, tidak berkutik juga tidak mengeluarkan sebuah pertanyaan.

Ten ini ketika dirinya sedang melihat seseorang, Ten akan melihati orang tersebut dari atas sampai bawah layaknya scanner ketika memasuki wilayah Mal.

Setelah Ten sadar dengan perawakan yang sedaritadi hanya di depannya itu merupakan seorang preman premanan yang memang sering berlalu lalang di lingkungan ini (yang katanya memang menjaga lingkungan ini sih, setidaknya itu yang ten pernah dengar) Ten langsung waswas, lalu Ten kembali bertanya pada lelaki tersebut yang masih saja diam tidak berkutik.

“Halo?” Sekali lagi, Ten sedikit meninggikan suaranya, namun Johnny tak kunjung juga kembali pada sadarnya.

Johnny hanya diam memandang Ten lurus, sedangkan Ten yang semakin waswas berakhir semakin meninggikan suaranya.

“Halo?! Lo mau ngapain di sini?! Mau nagih utang?! Gue gak punya utang, jangan berantakin toko gue!” Suara tinggi milik Ten mendadak masuk ke dalam indera pendengaran Johnny membuat Johnny kembali dalam sadarnya lalu berkedip beberapa kali guna memberi air matanya yang kian mengering.

Mendengar Ten yang sedikit membentak dirinya, Johnny hanya menggaruk tengkuknya yang tidak terasa gatal sama sekali, ia bingung. Tetapi sekon selanjutnya Johnny sadar, kali ini dia sedang menggunakan baju urakan ala premannya itu.

Dasar Johnny bodoh, pantas saja Ten waswas.

Johnny terkekeh guna memecahkan atmosfer canggung yang ada di sekitar keduanya, “Sorry sorry, gue bingung harus beli bunga apa.”

Ten menatap Johnny setengah menyelidiki lelaki yang perawakannya sedang seperti ala ala preman itu, “Lo beneran mau beli bunga apa nggak?”

Johnny mengangguk berkali-kali, “Beneran kok beneran. Ada rekomendasi nggak?”

“Buat siapa?” Setidaknya Ten harus mengetahui bunga yang akan dibeli untuk siapa dan untuk apa supaya rekomendasi yang diberi Ten akan sampai maksudnya pada seseorang yang akan diberi bunga.

Johnny sedikit berfikir sejenak, “Hmm, lo suka bunga apa?”

Mendengar pertanyaan yang dilontarkan untuknya, Ten sedikit terkejut, “Kok gue?”

“Ya siapa tau bunga yang lo suka juga ternyata gue suka juga.”

Ten hanya memutarkan bola matanya, dalam hati Ten menurut Ten lelaki yang ada di depannya ini sungguh tidak jelas.

Ten berjalan menuju sebuah pot yang sudah menanam bunga yang menjadi kesukaan Ten sejak dulu sedangkan Johnny mengikuti Ten dari belakang.

“Gue suka bunga ini, namanya bunga carnation.” Ucap Ten sambil memperlihatkan bunga bernama carnation pada Johnny.

Satu kalimat yang langsung muncul dalam benak Johnny.

“Cantik, kayak yang milih.” Gumam Johnny namun suara kecil gumanan itu dapat diterima oleh kuping milik Ten.

Ten hanya diam dan berusaha untuk tak peduli dengan gumaman tersebut.

“Gue mau ini deh, dibungkus yang rapi. Sama bisa nggak ya pakai surat gitu?” Ucap Johnny yang akhirnya memilih bunga kesukaan ten.

Ten mengangguk, “Bisa kok, ada additional addsnya. Jadi yang ini, ya?”

Johnny mengangguk membuat Ten mengambil bunga tersebut lalu mengajak Johnny menuju kasir untuk melanjutkan transaksi terakhir dan juga membicarakan additional adds yang akan Johnny tambahkan yaitu surat.

Karena hari ini Kun sedang menemani Dejun untuk antar beberapa pesanan yang lumayan banyak, jadi hari ini hanya Ten yang berdiam diri di toko, menjaga toko sendirian, melayani pelanggan sampai transaksi akhir yang biasa menjadi pekerjaan Kun.

Entah dewi fortuna sedang berpihak pada Johnny, tetapi hari ini benar-benar Johnny menjadi pelanggan yang dilayani oleh Ten dari awal hingga akhir.

“Namanya siapa Mas? Buat di surat butuh nama pengirim, nama penerima dan isi surat.” Ucap Ten sambil mengambil surat juga bolpoin untuk menulis di atas surat tersebut.

“Johnny.” Kemudian Ten menulis nama Johnny di bagian pengirim.

“Nama penerimanya siapa?”

“Nama lo siapa?”

Mendengar Johnny yang malah bertanya balik pada dirinya membuat Ten berhenti menulis lalu menatap Johnny bingung, “Hah?”

“Iya. Nama lo siapa?”

“Kok nama gue?”

Pertanyaannya tidak terjawab membuat Johnny akhirnya melihat ke arah nametag yang digunakan Ten.

Ten.

“Buat Ten.”

Lah, buat gue dong?, dalam hati Ten bergumam.

Ten hanya bisa menurut lalu nulis namanya sendiri pada kolom penerima.

“Terus isinya mau apa?”

“Hmm. Tulis aja, semoga bunga ini nggak minder ya, karena kalah cantik sama yang lagi mandangin bunga ini.” Ucap Johnny membuat Ten kembali berhenti menulis dan tanpa disadari pipi milik Ten memanas dan memerah mengingat tadi penerimanya adalah namanya sendiri.

“Oke...?” Tanpa basa basi, akhirnya Ten menulis isi surat yang sudah diucapkan oleh Johnny tadi, lalu memasukkan surat tersebut ke dalam bungkusan bunga dan memberikannya pada Johnny setelah Johnny selesai membayar.

Baru saja Johnny menerima bunga tersebut, namun bunga tersebut sudah diberikan kembali untuk Ten, “Ini kan buat lo, Ten?”

“Dalam rangka apa ya? Gue juga baru kenal sama lo? Oh, bahkan gue juga nggak kenal kenal lo banget?” Ucap Ten, dirinya bingung, ini ada apa sih?

“Kalau gitu, ayo kenalan. Nama gue Johnny Suh. Mungkin lo udah pernah tau gue ya? Hahaha, terserah lo mau ngeliat gue sebagai preman atau apa. Toh, memang itu identitas gue kok. Tenang aja, gue nggak akan apa tadi tuh, berantakin toko bunga lo? Hahaha, nggak kok, gue nggak begitu.” Lalu Johnny tersenyum hingga matanya membentuk bulan sabit.

Setidaknya Ten tahu, senyuman yang diberikan Johnny itu merupakan senyuman dari seseorang yang sangat tulus dan Ten tahu, Johnny orang baik tidak seperti penampilannya yang urakan ala preman-premanan.


Beberapa kali Johnny suka datang ke toko bunga, alibi membeli bunga untuk kakaknya, untuk orang tuanya, untuk sepupunya, padahal Johnny tinggal sendiri di Jakarta, sampai sampai kosannya itu sudah penuh dengan bunga dan berakhir Yuta juga menerima bucket bunga dari Johnny.

“Lo sepengen itu ketemu sama si Ten ten itu ya, Jo?” Tanya Yuta ketika dirinya kembali menerima bucket bunga.

“Lo tuh nggak paham, Yut.”

“Gue paham, lo gila, Johnny Suh.”

“Lo mending diem dan terima bunga itu, Nakamoto Yuta. Gue tau, beberapa bucket bunga yang gue kasih ke lo juga ujungnya lo kasih ke si Winwin Winwin itu kan?!”

Yuta hanya terkekeh, karena apa yang dibilang Johnny adalah fakta.

“Kalian berdua sama anehnya,” Celetuk Jisung ketika lewat ruang tamu sambil membawa minuman untuk ia bawa ke dalam kamar.

Jisung tidak salah juga sih.

Johnny memang sering datang ke toko bunga, tetapi Johnny tidak sesering itu bertemu dengan Ten, Johnny malah lebih sering bertemu dengan lelaki yang lebih tinggi dari Ten (bukan bermaksud ingin bilang Ten pendek) yang setiap Johnny datang mukanya seketika ingin menangis terbirit-birit, padahal Johnny sudah memasang muka seramah mungkin.

Tidak mungkinkan Johnny bertanya pada orang tersebut di mana Ten berada? Toh, mengingat lagi, Johnny juga tidak sedekat itu dengan Ten. Hanya beberapa kali mengobrol ketika Johnny tidak sengaja (yang sebenarnya disengaja) melewati toko bunga di pagi hari dan bertemu Ten yang sedang menyiram bunga di depan toko.

Ten yang mengetahui seberapa takut Kun ketika Kun bercerita dengan Ten dan Dejun saat closingan hanya tertawa mengingat ketika Johnny datang ke toko bunganya itu masih dengan tampilan urakan ala preman.

Hari ini, Johnny datang lagi, namun lagi-lagi keduanya tidak bertemu karena hari ini Ten sedikit sibuk di gudang belakang untuk melihat beberapa persediaan di sana. Ketika Ten kembali ke dalam toko, dirinya sudah di sambut dengan wajah Kun yang seperti ingin menangis terbirit-birit, yang sudah Ten pastikan Johnny baru saja datang lagi ke toko bunganya itu.

Ketika Johnny pergi dari toko, Ten mendekat ke arah Kun dan Dejun yang sedang duduk di depan meja kasir.

“Kenapa? Pada takut amat?” Tanya Ten, menimbrung dengan dua pegawainya.

“Itu, si preman yang waktu itu gue ceritain, datang lagi tadi, pas banget dia baru keluar.” Ucap Kun membuat Ten tertawa, ngakak sekali. Tangan Kun sampai keringat dingin.

Melihat Ten yang tertawa sebegitu lebarnya membuat Dejun memberanikan untuk bertanya pada Ten, “Lo nggak takut Kak? Itu dia preman yang biasa ada di lingkungan kita kan?”

Ten mengangguk, membenarkan pertanyaan Dejun.

“Gue nggak takut kok. Dia baik.”

Mendengar ucapan Ten membuat Dejun dan Kun sedikit melotot karena terkejut.

“KAK??”

“TEN??”

“Kenapa sih? Emang salah kalau gue mikir preman itu baik? Lagi nggak selamanya preman berbuat kriminal kali.”

“Tapi tampangnya cocok jadi orang kriminal, Ten.” Celetuk Kun membuat Ten tertawa.

“Iya juga sih,” Meskipun begitu, Ten menyetujui apa yang diucapkan Kun. Toh, pertama kali pertemuan mereka, Ten juga sempat waswas dengan keberadaan Johnny di dalam toko bunganya.

“Hati-hati kak,”

“Iya Dejunn.”

Setidaknya Ten tahu, kedua pegawainya ini mengkhawatirkan dirinya karena keduanya tahu, Ten dan Johnny terlihat dekat lebih dekat dari sekedar pelanggan dan pegawai toko bunga saja.


Satu minggu, dua minggu terlewati sampai pada akhirnya hari ini Johnny memberanikan diri untuk mengajak Ten makan malam di luar. Ini juga salah satu saran dari Yuta.

Tidak hanya itu, Yuta juga membantu Johnny untuk memilih pakaian yang digunakan malam ini agar lebih proper.

Johnny hanya mengajak Ten ke sebuah kedai, memang tidak terlalu mahal untuk setiap menu tetapi Ten tidak masalah ketika Johnny berbicara mengenai hal tersebut. Ketika Ten mendengar nama kedia yang Johnny maksud, Ten tahu, tempat tersebut memiliki makanan yang enak dan juga enak menjadi tempat tongkrongan. Dan Ten tidak masalah.

Setelah menghabiskan makanan dan minuman yang sudah keduanya pesan, keduanya tidak langsung beranjak dari tempat duduk masing-masing, rasanya keduanya masih ingin mengobrol lebih lama berdua, mengenal lebih dalam lagi.

“Lo nggak ngerokok?” Tanya Ten tiba-tiba karena sejak tadi Johnny hanya diam dan menatap ke beberapa orang yang ada di sekitar, tentu orang orang tersebut sedang merokok.

Johnny mengangguk, “Sahabat gue itu rokok. Kenapa, Ten?”

“Kok lo nggak ngerokok sekarang?”

“Gapapa sih. Gaenak ada lo, takutnya lo nggak bisa nyium asap rokok.”

Mendengar jawaban Johnny membuat Ten sadar, pantas saja sejak tadi Ten melihat Johnny seperti sedang memakan permen, ternyata itu alasannya. Ten jadi salah tingkah sedikit. Rasanya baru kali ini ada seseorang yang benar-benar memerhatikan eksistensi dirinya sampai memikirkan sedemikian rupa dan orang itu adalah Johnny.

Ten tertawa, “Gapapa Jo. Gue juga kadang suka ngerokok sedikit, kalau lagi stress aja sih.”

“Hahaha, gapapa Ten. Gue juga masih bisa tahan kok. Kita hirup udara segar tanpa kebulan asap rokok dulu aja.” Ucap Johnny kemudian meneguk air mineral yang menjadi pesanan tambahan Johnny lalu membuka kembali sebungkus permen sebagai pengganti pemanis mulutnya.

Entah kenapa Ten semakin penasaran dengan Johnny dan hidupnya sebagai preman-premanan itu.

“Lo minum juga Jo?”

Johnny mengangguk, “Iya, cuma nggak sesering itu. Kadang suka ditawarin sama anak-anak lain kalau lagi nongkrong.”

Ten mengangguk paham.

Belum juga Ten sempat mengeluarkan suara, Johnny lebih dulu membuka mulutnya, “Lingkungan gue emang nggak sebait itu Ten. Sorry.”

Ten tersenyum kecil, “No need to say sorry, Johnny.”

Johnny membalasa senyuman Ten, dalam hati ia berterima kasih Ten ingin melupakan fakta bahwa dirinya adalah preman urakan yang suka merokok, minum alkohol dan hidup dalam lingkungan yang tidak baik.

“Boleh nggak gue nanya sesuatu sama lo, Ten?” Tanya Johnny tiba-tiba membuat Ten mengangguk.

“Kenapa lo masih mau diajak kesana kemari sama gue?”

Ten terseyum, “Karena gue percaya, lo orang baik Johnny.”

“Thanks, Ten.”

Setelahnya Johnny dan Ten banyak mengobrol tentang dirinya masing-masing, tentang Johnny yang ternyata juga mengambil kuliah, tentang Ten dan toko bunganya, juga tentang Ten ketika pertama kali bertemu Johnny di dalam toko bunganya sewaktu dirinya jaga sendirian tanpa Kun dan Dejun.

Malam semakin larut dan akhirnya Ten dan Johnny memutuskan untuk pulang. Beberapa kali Ten menolak untuk diantar sampai rumah dengan Johnny. Tetapi yang bernama Johnny Suh itu sedikit keras kepala dan berakhir Ten menurut saja dengan Johnny.

Sesampainya Ten dan Johnny di depan rumah Ten, Ten kembali berterima kasih pada Johnny krena sudah mengajaknya jalan jalan malam ini juga sudah mengantarkan dirinya sampai di depan rumah.

“Santai aja, Ten. Makasih juga udah mau nerima ajakan gue. Good night?”

Ten tersenyum kecil, “Good night, Johnny.”

Lalu Ten menutup pagar rumahnya dan masuk ke dalam rumah meninggalkan Johnny yang sudah ingin terbang sampai langit kesekian, akibat rasa senangnya yang tidak bisa dihitung lagi seberapa senang malam ini untuk Johnny.

Tanpa Johnny sadari, sejak diperempatan ketika keduanya keluar dari kedai, ada seseorang yang mengikuti keduanya dan mulai menandai sosok Ten yang berdiri di sebelah Johnny.

Ten senyum sendiri di belakang pintu ketika dirinya menutup pintu rumahnya, lalu tangannya ia bawa untuk memegang pipinya yang kian memanas, rasa aneh menjalar pada tubuhnya, Ten merasa aneh pada dirinya sendiri dan itu semua berkat Johnny.

Semua perlakuan juga ucapan yang keluar dari Johnny membuat Ten merasa lebih dihargai.

Irene yang tiba-tiba muncul kemudian memergoki Ten yang sedang malu malu di belakang pintu. “Hayo, tadi pulang diantar siapa, dek?”

Mendengar suara Irene membuat Ten terlonjak kaget, “Kak!”

Irene tertawa, “Kenapa sih dek? Kaget banget begitu hahaha.”

“Kak Irene ngapain di rumah?”

“Loh, emang Kak Irene nggak boleh dateng ke rumah Ten?”

“Y-yaa, boleh boleh aja. Kak Suho ikut juga?”

Baru saja orangnya ditanya oleh Ten, Suho sudah ikut menongolkan kehadirannya di belakang Irene, “Ya ikut dong, Ten.”

“Kak Irene sama Kak Suho tumben ke sini?”

“Katanya Irene kangen sama adeknya yang namanya Ten Lee.” Ucap Suho membuat Irene mencubit lengan Suho karena sudah ember pada adiknya itu.

Irene kemudian mengajak Ten untuk duduk di ruang tamu sedangkan Suho sudah mengikuti Irene dari belakang dan Ten hanya manut lalu duduk di sebelah Irene.

Ten tahu, pasti sejak tadi sebenarnya Irene sudah melihat dirinya yang diantar Johnny.

“Dari mana, dek?” Tanya Irene pada Ten tanpa basa basi.

“Makan malem di kedai Dream, Kak.”

Irene mengangguk, “Bareng yang nganter tadi ya?”

Ten mengangguk.

“Berdua aja?”

Ten mengangguk lagi.

“Hati-hati dek. Kak Irene tau dia siapa. Dia itu preman yang suka nongkrong di deket lingkungan sini kan? Kok Ten bisa deket sama dia?”

Suho yang melihat Irene mulai bawel karena khawatir pada Ten langsung mengelus pundak Irene untuk pelan pelan memberitahu pada Ten.

Ten hanya diam, ketika teman-temannya berbicara seperti ini, Ten akan dengan tegas bilang bahwa Johnny itu orang baik, tetapi ketika kakaknya sendiri yang berbicara, maka Ten hanya bisa diam.

“Lingkungan preman itu nggak bener, Ten. Ten pasti tau kan?”

“Gimana kalau orang-orang yang nggak suka sama preman itu tau kalau Ten teman dekatnya dia dan Ten yang diincar.” Lanjut Irene mengeluarkan pemikiran khawatirnya itu terhadap Ten. Sebenarnya alasan kenapa Irene datang ke rumah karena ia sudah melihat dari CCTV yang ada di toko bunga, makanya Irene ingin memastikan dengan mata kepalanya sendiri secara langsung dan berbicara pada Ten.

“Johnny emang dari luar keliatan kayak anak nggak bener Kak. Ten juga tau, Johnny itu preman. Tapi Ten tau kalau Johnny itu baik, baik banget setidaknya Johnny nggak pernah macem macecm sama Ten dan bahkan Johnny jagain Ten dari bahaya, Kak.” Akhirnya Ten menggunakan mulutnya untuk membela Johnny.

“Tapi Ten, bisa aja sebenarnya si Johnny Johnny itu emang lagi nyari perhatian ten biar Ten percaya sama dia kalau dia itu orang baik. Ten-”

“Apa yang dibilang Ten bener, Irene. Apa yang dibilang Irene juga bener, Ten.” Ucap Suho sedikit memotong ucapan khawatir Irene pada Ten.

“Mungkin Ten nggak tau, tapi irene tau, Kakak juga mantan preman kok. Orang yang bareng sama Ten itu, tipe preman yang baik, seperti apa yang Ten baik. Tapi, kekhawatiran Irene juga nggak salah, karena pasti ada aja preman yang seperti itu dan nggak sedikit.” Ucap Suho sebagai penengah antara kakak beradik ini.

Irene memang tahu kalau Suho dulunya adalah preman, tetapi Irene nggak mau mengingat fakta tentang itu.

Tapi, lihat Suho sekarang, Suho baik baik saja kan dengan semuanya dan Irene juga percaya sama Suho. Padahal, pertemanan preman Suho sampai sekarang belum juga terputus kok.

“Kak, Ten tau, Kak Irene khawatir, tapi Ten bisa jaga diri Ten sendiri. Kak Irene nggak usah terlalu khawatir sama Ten. Kak Irene kan lagi hamil? Kak Irene harus happy biar janin kak Irene ikut happy.” Ucap Ten membuat Irene mengangguk lalu mengelus perutnya yang semakin membesar.

Irene akhirnya beranjak dari duduknya lalu menuju kamar karena dirinya sudah mulai mengantuk dan menyisakan Suho dan Ten di ruang tamu.

Suho mendekat ke arah Ten, “Ten, meskipun begitu, Ten harus tetap hati-hati ya? Orang jahat ada aja tetapi nggak semua orang juga jahat, yang baik pasti ada. Tinggal Ten aja yang pinter pinter jaga diri Ten. Irene lagi hamil, jadi banyak pikiran juga, Irene pasti pahamin Ten kok karena dulu kami berdua sama kayak Ten dan si preman itu. Pelan pelan, tapi Kakak tau, Irene pas setuju sama semua pilihan Ten. Ganti baju gih, dari luar kan?”

Ten tersenyum mendengar ucapan yang diucapkan oleh Suho, “Makasih Kak Suho, Ten ganti baju dulu ya. Tolong jagain Kak Irene ya, Kak.”

Suho mengangguk lalu keduanya beranjak dan masuk ke dalam kamar masing-masing.

Keesokan paginya, Ten berangkat sekitar jam delapan pagi karena hari ini toko buka jam setengah sembilan, memang khusus di hari Jumat.

Ten memang jarang membawa kendaraan pribadi, Ten lebih sering berjalan kaki dari rumahnya menuju toko sambil menghirup udara segar di pagi hari. Ketika malam, Ten biasanya meminta Kun untuk mengantarkannya ke rumah, karena kalau meminta Dejun, Dejun juga sama seperti dirinya, bedanya Dejun diantar jemput oleh kekasihnya yaitu Hendery.

Ketika Ten melewati gang yang terkenal sepi, tiba-tiba saja pipi Ten terasa ditonjok dari arah kanan oleh seseorang yang bahkan Ten tidak tahu siapa orang tersebut.

Tonjokan diarahkan sekali lagi dari arah kiri membuat pipi milik Ten saat ini terasa sakit kanan kiri, dan sekali lagi tonjokan diarahkan pada wajah Ten membuat bibirnya terasa nyerih dan Ten dapat merasakan anyir dari darah yang keluar di bibir Ten. Bibirnya luka akibat tonjokan terakhir yang terasa lebih keras daripada dua tonjokan sebelumnya.

“DI MANA JOHNNY?!” Tanya orang tersebut sambil membentak Ten yang sudah tersungkur di bawah jalan sana sedangkan orang tersebut berdiri di dekat Ten lalu menendang kaki Ten.

“Ngapain cari Koko?” Tanya Ten dengan intonasi suara lebih berani menandakan bahwa ia tidak takut dengan orang tersebut yang perawakannya seram dan besar. Ten tidak ciut, Ten tidak takut.

“Si Johnny Johnny itu udah macem-macem sama anak buah gue, dia udah nonjok anak buah gue sampai bonyok, KAYAK GINI!”

Buagh!

Satu tonjokan sekali lagi mengenai wajah milik Ten membuat bibir milik Ten yang tadi luka semakin terasa nyeri.

“Anak buah gue udah ditonjok sama Johnny sampai masuk rumah sakit! Dia juga harus kayak anak buah gue!” Lanjut orang tersebut membuat Ten melotot terkejut mendengar ucapan yang sudah dilontarkan oleh orang tersebut.

Johnny? Yang benar saja Johnny sudah menonjok seseorang sampai masuk rumah sakit?

“GUE GAK TAU JOHNNY DI MANA DAN JANGAN TANYA GUE!” Teriak ten tepat di depan wajah oarng tersebut lalu Ten menendang alat vital orang tersebut membuat orang tersebut tersungkur.

Tanpa Ten ketahui, orang tersebut membawa 2 orang anak buah lainnya yang sudah siap sedia di belakang sejak tadi lalu kembali menghabisi Ten yang hampir saja kabur dari jangkauan mereka.

Ten terus ditonjok oleh mereka sampai babak belur dan pingsan.

Ten mengerjapkan matanya, membiasakan cahaya yang masuk ke dalam jangkauan penglihatannya. Bibir, pipi, tulang hidung, rahang, dahinya, dan pinggangnya terasa sakit. Bibirnya yang luka akibat tonjokan terasa perih.

Ketika Ten akhirnya bisa melihat dengan jelas, pemandangan Ten kali ini adalah wajah panik Dejun dan Kun.

Kun membantu Ten untuk duduk sedangkan Kun sudah mengeluarkan berbagai pertanyaan yang langsung memadati indera pendengaran Ten.

“KENAPA BISA BABAK BELUR?!”

“SIAPA YANG NONJOKIN LO KAK?”

“APA SI PREMAN JOHNNY JOHNNY ITU YANG NONJOKIN LO?”

“Berisik, Jun.” Ucap Ten tanpa menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh Dejun.

Kun memberikan satu gelas air mineral dan membantu Ten untuk meneguk air tersebut karena Ten beberapa kali meringis akibat bibirnya yang seperti sobek terkena air.

“Makasih Kun.”

Ten memegang beberapa tempat yang ada di tubuhnya dan luka-luka Ten sudah diplester yang artinya luka Ten sudah diobati entah oleh Dejun atau Kun.

“Jadi itu kenapa, Ten?” Tanya Kun. Ten kembali membenarkan duduknya dan ingin memulai cerita.

Belum juga Ten membuka mulutnya, pintu toko sudah berbunyi tanda seseorang masuk ke dalam toko. Ten pikir seorang pelanggan atau yang lebih parahnya itu adalah Johnny. Tetapi ternyata yang masuk ke dalam toko adalah Irene dan Suho dengan wajah panik setengah mati yang tercetak di wajah Irene sedangkan Suho berusaha menenangkan Irene. Pasti Irene sudah melihat dari CCTV, belum lagi saat ini memang Irene dan Suho sedang ada di rumah Ten yang jaraknya lebih dekat ke toko daripada rumahnya yang memang jauh dari lingkungan ini.

Irene berkali-kali melihat ke arah wajah Ten yang babak belur dan melontarkan berbagai macam pertanyaan sampai pada akhirnya nama Johnny lagi lagi keluar dari mulut penanya membuat Ten terdiam.

Apa sebenarnya selama ini sebenarnya Johnny nggak sebaik itu? Apa yang dibicarakan orang tersebut tentang Johnny yang sudah menonjok seseorang hingga babak belur dan sampai masuk rumah sakit itu benar adanya? Kenapa dan hanya kenapa yang berputar di kepala Ten tentang kebenaran Johnny.

Pagi ini Ten tetap bersikukuh untuk tetap bekerja di toko membantu Dejun dan Kun, karena hari ini menjadi hari yang lumayan sibuk, beberapa orang sudah menjadwalkan untuk pick-up dan juga ada beberapa delivery membuat Dejun pasti membutuhkan bantuan Kun untuk mengantar bunga bunga tersebut agar bisa mengejar waktu.

Irene sudah berkali-kali meminta Ten untuk tetap beristirahat dan biarkan Irene yang menggantikan dirinya tetapi Ten tidak mau dan keras kepala krena Irene sedang mengandung maka dari itu Irene tidak boleh terlalu capek.

Dan di sinilah Ten, menjaga toko sendirian karena Kun sedang membantu Dejun untuk mengantarkan bucket bunga.

Terdengar suara pintu dibuka yang berarti ada seseorang masuk ke dalam toko membuat Ten mengangkat kepalanya dan tersenyu siap menyapa pelanggan, “Selamat dat- Pergi.”

Senyuman Ten seketika hilang ketika Ten melihat siapa yang baru saja masuk ke dalam tokonya, wajahnya berubah menjadi tanpa ekspresi dan menyuruh orang tersebut untuk pergi dari tokonya sekarang juga.

Johnny terkejut melihat wajah Ten yang saat ini sudah banyak tertempel plester.

“Keluar! Jangan berani nginjakin kaki di toko gue lagi!” Teriak Ten membuat Johnny terdiam. Johnny bingung dan juga panik melihat wajah babak belur Ten meskipun sudah diobati dan tertutup plester, tetapi Johnny tahu, wajah itu babak belur.

Johnny ini memang keras kepala, sudah diteriaki oleh Ten untuk keluar, tetapi Johnny malah membawa kakinya semakin mendekat kearah Ten.

“Wajah lo kenapa Ten?”

Ten mendorong tubuh Johnny yang semakin mendekatkan diri dengan dirinya, “PERGI!”

Johnny menggeleng lalu mencoba untuk menyetuh pipi babak belur milik Ten namun tangan Johnny langsung ditepis oleh Ten, Ten melengos, menghindari tatapan Johnny.

“Gue nggak nyangka, gue pikir lo sebaik yang gue kira, Jo. Gue pikir stigma tentang preman yang ada di kepala manusia tentang buruknya preman itu bisa gue tepis. Ternyata bener, semua sama aja.”

Johnny bingung dan mencoba mencerna apa yang dimaksud Ten.

“Lo udah buat seseorang masuk rumah sakit Johnny! LO JAHAT! Kenapa lo gebukin orang sampai masuk rumah sakit?! Lo punya rasa kemanusiaan nggak sih Jo?!” Ten kembali berteriak di depan Johnny dengan wajah yang tidak berekspresi, dirinya marah, tentu. Marah dengan fakta yang ada di depannya, fakta tentang Johnny yang menerjang dirinya. Ten marah, kuat kuat Ten menahan tangannya untuk tidak menampar Johnny saat ini.

Johnny diam dan kembali berfikir lagi apa yang dimaksud Ten. Sekon selanjutnya Johnny teringat tempo hari dirinya habis menggebuki preman gang sebelah ketika Johnny sedang tak sengaja lewat malam malam. Johnny melihat preman tersebut sedang macam-macam dengan seorang perempuan.

“Orang yang udah gue gebukin itu, dia orang yang udah macem-macem sama seorang perempuan. Beberapa hari lalu, gue lagi jalan malem sendirian dan nggak sengaja ngelewatin gang sebelah. Gue ngeliat dengan bantuan cahaya lampu jalan, ada beberapa orang yang lagi ngelilingi seorang perempuan. Mereka ngelecehin perempuan itu, bahkan hampir melucuti pakaian si perempuan itu. Waktu gue liat itu, gue langsung nonjok dan gebukin mereka satu persatu, Ten. Ketika mereka semua akhirnya lari karena mereka juga udah babak belur, gue ngedeket ke perempuan itu. Dia nangis, Ten. Badannya gemetar sewaktu gue coba buat bantu dia dengan pegang tubuh dia buat bantu berdiri. Gue telat, Ten. Trauma yang ada di perempuan itu belum tentu bisa hilang seperti babak belur yang udah di terima sama preman itu karena gue. Masuk rumah sakit? Mereka, preman gang sebelah itu nggak tau, segimana berjuangnya si perempuan itu bat ngilangin rasa trauma. Gue emang udah nggak ketemu lagi sama perempuan itu, karena yang gue tau, dia trauma untuk keluar rumah, Ten.”

Johnny mencoba untuk menjelaskan dengan pelan alasan kenapa Johnny bisa meluncurkan bogem mentah pada seeorang yang katanya sampai masuk rumah sakit.

Mendengar penjelasan Johnny, Ten ikut terdiam dan terkejut. Ten merasa bingung, dia semakin merasa bersalah karena sudah memikirkan yang tidak tidak tentang Johnny tanpa tahu alasan Johnny sampai bikin seseorang masuk ke rumah sakit.

“Mungkin emang image preman udah jelek banget di mata banak orang, maka dari itu lo bisa mikir gue sejelek itu. Tapi Ten, gue nggak begitu.”

Terlalu bingung ingin menjawab apa, Ten memajukan tubuhnya lalu memeluk tubuh Johnny, “Maaf. Jo, gue minta maaf. Maaf udah buruk sangka tentang lo. Gue pasti udah nyakitin hati lo, Jo. Padahal lo juga ngerasa bersalah karena merasa lo telat untuk bantu perempuan itu.”

Johnny menggelengkan kepalanya, “It's okay Ten. Karena gue yang diincer dan mereka tau lo deket banget sama gue belakangan ini, lo yang jadi diincer dan kena getahnya. Gue rasa mereka ngikutin kita semalam karena kita habis jalan berdua. I'm sorry Ten, is it hurt?”

Ten menggelengkan kepalanya, “Udah nggak kok.”

“Udah diobatin?” Tanya Johnny sambil melihar ke arah luka luka di wajah Ten.

Ten menggelengkan kepalanya lagi, “Dejun sama Kun lagi nganter keluar jadi nggak ada yang bantu obatin,”

“Let me help you, Ten.” Ucap Johnny membuat Ten memberikan kotak P3K pada Johnny kemudia Johnny membantu mengobati luka Ten dengan telaten dan pelan karena beberapa kali Ten meringis kesakitan membuat Johnny juga ikut meringis melihat Ten kesakitan.

“I'm sorry, Ten.”

Ten menggeleng, “Don't be sorry, Johnny. It's not your fault.”

Johnny tersenyum hingga matanya membentuk bulan sabit persis pada saat pertemuan pertama mereka, ketika Ten percaya bahwa Johnny adalah orang baik. Ten tidak pernah salah, Johnny memang orang baik.

Dejun dan Kun yang baru saja selesai mengantar barang ketika masuk ke dalam toko dan melihat Johnny yang sedang duduk di sebelah Ten langsung berisik dan menunjuk hingga memarahi Johnny, terutama Dejun membuat Ten kembali memarahi Dejun karena sudah memarahi Johnny. Akhirnya Johnny menceritakan alasan dan juga meminta maaf pada Dejun dan Kun, sekaligus kembali meminta maaf pada Ten, lagi.


@roseschies, 2025.

Universe — 0

A Johnten oneshot by roseschies

Dengan langkah yang sedikit terpontang-panting sambil membenarkan sepatunya yang masih belum masuk dengan benar di kakinya, Johnny mengejar Kakaknya — seseorang yang selalu merawat Johnny — yang berada di depan sambil berteriak, “Tunggu, Kak! Ish — tunggu sebentar, aku belum selesai pakai sepatu?!”

Sedangkan wanita yang akhirnya mensejajarkan tubuhnya di sebelah Johnny langsung tertawa dan merangkul Johnny, “Kamu pakai sepatu aja lambat banget sih, Jo. Jadwal check-up ku keburu lewat kalau harus nungguin kamu.”

Mendengar hal tersebut Johnny menggerutu, “Ya terus kenapa ngajak aku terus?! Lagi nanti di sana, aku cuma diam nungguin Kakak berjam-jam, bosan tahu!”

Wanita tersebut kembali terkekeh, gemas dengan adik kecil — yang sebetulnya bukan adiknya juga tetapi sudah dia anggap sebagai adik kecilnya. “Soalnya cuma Jo yang mau temenin Kakak check-up setiap minggu. Makanya, nanti Jo main jalan jalan, kan di belakang ada taman? Siapa tahu nanti Jo ketemu teman sebaya Jo. Nanti ajak kenalan? Gimana?

Johnny mengangguk dengan semangat, “Okay! Ayo, Kak!”

Setelahnya Johnny menarik tangan wanita tersebut membuat keduanya berlarian seperti dikejar waktu, walau kenyataannya memang sih. Waktu check-up juga waktu untuk Johnny yang ingin menjelajahi taman di belakang — karena sebelumnya Johnny tidak pernah tahu, lebih tepatnya Johnny biasanya hanya diam duduk di kursi menunggu sampai jam check-up selesai lalu pulang.

“Daah Kak!” Pamit Johnny sambil melambaikan tangan sedangkan wanita tersebut mulai masuk ke ruangan.

Akhirnya, Johnny mengangkat pantatnya yang sudah mulai panas akibat menunggu terlalu lama di bangku — menunggu antrian check-up yang ternyata lumayan memakan waktu lama — Johnny membawa tubuhnya menuju taman belakang yang sebelumnya sudah diberitahu oleh petugas yang sedang berlalu-lalang.

Dengan tangan yang mengerat memegang tas ranselnya, Johnny menyusuri taman yang terasa asing, namun sekali datang, Johnny merasa nyaman karena suasananya yang begitu sunyi begitu menenangkan hati.

Mata milik Johnny mulai melihat satu persatu keadaan sekitar, hanya ada segelintir orang yang berada di sini, terlebih lagi hanya orang tua dan beberapa orang yang memang seperti Johnny — menunggu seseorang yang sedang check-up.

Langkah kaki milik Johnny semakin maju, tangannya semakin mengerat ketika kedua bola matanya melihat seseorang yang mungkin sebaya dengannya sedang duduk di kursi roda dengan berbagai alat yang ada di tubuhnya, matanya yang terlihat lelah juga fokusnya yang hanya menghadap ke depan dengan seseorang yang sedang mendorong kursi roda tersebut. Terdapat tanda pengenal menggantung di lehernya, yang mungkin seseorang tersebut merupakan seorang caretaker untuk seseorang yang berada di kursi roda.

Mata milik Johnny seperti terkunci, langkahnya tiba-tiba berhenti ketika kedua orang tersebut semakin mendekat ke arah Johnny. Kakinya terasa berat, matanya tidak berhenti menatap lelaki sebaya yang berada di kursi roda tersebut.

Tidak bersuara, sampai akhirnya Johnny tersadar bahwa kedua orang tersebut sudah melewati dirinya yang mematung, terdiam.

Bukan, bukan rasa kasihan yang ada di dalam diri Johnny. Melainkan hal lain yang sebetulnya Johnny sendiri tidak mengerti apa itu.

Siapa dan kenapa menjadi pertanyaan utama yang berada di dalam kepala Johnny.

Entah pertanyaan tersebut akan terjawab atau tidak, tetapi ketika Johnny kembali datang — tentu untuk menemani Kakaknya seperti biasa, Johnny langsung membawa dirinya menuju taman tersebut dengan sebuah harapan ia akan bertemu dengan lelaki tersebut, lagi.

Mata milik Johnny menemukan seorang lelaki yang tengah duduk di ujung sedang menusuk sedotan di minuman miliknya lalu menyedot minuman tersebut sambil menatap sembarang.

Itu, lelaki yang kemarin mendorong kursi roda lelaki sebaya yang menjadi perhatian di kepala Johnny belakangan ini.

Tanpa mau membuang waktu, Johnny bangun dari duduknya lalu membawa dirinya menuju lelaki tersebut, tak lupa masih menggendong tas ranselnya yang saat ini sedang menjadi pegangan untuk dirinya.

“K— kak...?” Panggil Johnny dengan suara terbata-bata, setengah takut tetapi ia tetap memberanikan diri. Bagaimana tidak takut, anak SMP sekecil ini menyapa seseorang yang lebih tua, belum lagi itu orang asing.

Suara Johnny ditangkap dengan baik oleh orang tersebut membuat ia melihat ke arah Johnny dan tersenyum — amat manis. “Eh, iya, kenapa?”

Terasa asing namun tidak terlalu asing

“Mmm.. Kok sendirian, Kak? Yang di kursi roda kemana, Kak?”

“Lagi tidur sekarang, jadi Kakak keluar sendiri. Kok, kamu tahu?”

Johnny menggaruk tengkuknya yang tidak gatal itu, dengan malu-malu ia kembali mengeluarkan suaranya, “Minggu lalu, aku ketemu sama Kakak dan dia di sini. Aku, lagi cari teman sebaya di sini, lalu ketemu dia. Dia, seumuran sama aku kan, Kak?”

Gemas. Itu yang pertama kali muncul di kepala Nickhun — nama orang yang saat ini berada di depan Johnny.

Nickhun terkekeh gemas lalu mengangguk, membenarkan apa yang diucapkan oleh Johnny. Lagipula, memang kelihatannya mereka sebaya, “Iya, kayaknya seumuran sama kamu ya. Sini, duduk sebelah Kakak. Nama kamu siapa?”

Johnny langsung amat senang dan duduk tepat di samping Nickhun — entah seketika Johnny merasa nyaman untuk mengobrol dengan orang yang terbilang sangat baru ini.

“Johnny! Nama Kakak siapa?”

“Nickhun, panggil Nick aja nggak apa-apa.”

“Kalau begitu, Kak Nick panggil Jo aja!”

Nickhun terkekeh, “Boleh. Oh iya, Jo sendirian di sini?”

Johnny menggelengkan kepalanya lalu menunjuk satu ruangan tempat di mana Kakaknya sedang check-up mingguan. “Nemenin Kakak check-up.”

Nickhun mengangguk kemudian ia tersadar sejak tadi membawa dua buah roti, sepertinya memang sudah direncanakan alasan mengapa Nickhun ingin sekali membawa dua roti ke taman ini. Nickhun menyodorkan satu roti untuk Johnny, “Ini buat Jo, Kakak bawa dua. Kita makan sama sama ya?”

Mata milik Johnny berbinar melihat roti yang diberikan Nickhun untuk dirinya lalu mengambil roti tersebut dengan senang hati tak lupa mengucapkan terima kasih, “Terima kasih, Kak Nick! Jo makan ya rotinya?”

Nickhun mengangguk lalu ia mengambil pula roti satunya — roti miliknya, untuk dimakan bersama dengan Johnny. Harap harap hal ini dapat terjadi kedepannya bersama dengan sang adik, Chittaphon.

“Mm, Kak Nick. Yang kemarin itu, siapanya Kak Nick?”

“Oh, itu adik kakak. Namanya Chittaphon.”

Chittaphon, Chittaphon. Nama tersebut berputar di kepala Johnny.

“Kenapa, Kak?”

Ingatkan? Hanya siapa dan kenapa yang berdiam di kepala Johnny selama seminggu ini dan kedua pertanyaan itu mendapat jawaban setelah seminggu lamanya berdiam di kepala Johnny.

Nickhun bercerita dengan kalimat yang dapat dengan mudah di cerna oleh otak mungil milik Johnny — singkatnya menjelaskan sebab dan akibat mengapa adiknya bisa seperti itu sampai duduk di kursi roda dengan alat yang ada di tubuhnya.

Mendengar penjelasan yang sebetulnya mudah dipahami, Johnny hanya mengangguk-angguk, ia memahami hanya 30% dari penjelasan Nickhun.

Bisa mendengar, bisa melihat, namun tidak bisa berbicara dan bergerak.

Setidaknya itu yang bisa Johnny tangkap. Walau pada awalnya Nickhun menyamakan Chittaphon dengan tumhuhan sedangkan yang ada di kepala Johnny adalah Chittaphon menjadi tumbuhan.

Nickhun menunggu reaksi lain dari Johnny setelah ia menceritakan keadaan adiknya itu.

“Kak Nick, Jo boleh jadi teman Chittaphon?”

Pernyataan tersebut membuat Nickhun berhenti melakukan kegiatannya mendadak. Nickhun tersenyum dan mengusak kepala Johnny, sembari berterima kasih pada Johnny yang malah ingin menjadi teman adiknya walau adiknya sudah tidak bisa ngapa-ngapain lagi.

“Boleh, boleh. Jo boleh jadi teman Chittaphon.”

“Besok, Jo datang lagi ke sini, ketemu sama Chittaphon, boleh?” Ucap Johnny ketika melihat seseorang sudah melambaikan tangannya ke arah Johnny yang berarti check-up Kakaknya sudah selesai.

Nickhun mengangguk, “Boleh, besok ketemu sama Chitta, ya? Nanti kakak sama Chitta, main di sini, bareng sama Jo.”

Johnny mengangguk lalu berdiri dari duduknya dan berpamit dengan Nickhun, “Terima kasih, Kak Nick! Jo pulang dulu ya?”

“Hati-hati ya Jo!”

Terima kasih, Jo.

Nickhun tersenyum melihat punggung Johnny yang sebenarnya tertutup dengan tas ranselnya itu, sambil berlari-lari menuju seseorang yang ternyata sudah menunggu Johnny di sana.

“Kak! Besok antar Jo ke sini lagi, ya? Jo sekarang sudah punya teman! Namanya Chittaphon. Tapi hari ini dia lagi tidur siang jadi nggak ketemu.” Ucap Johnny ketika sampai di depan Kakaknya sedangkan Kakaknya tidak banyak omong dan hanya mengangguk lalu merangkul tubuh Johnny, ia percaya adik kecilnya ini bisa pintar dalam memilih teman.


Sesuai janjinya, Johnny benar benar datang kembali keesokan harinya, hari ini ia tidak menemani Kakaknya check-up melainkan bertemu dengan teman sebayanya, Chittaphon.

Setelah turun dari mobil, tanpa berfikir lebih lanjut, Johnny menuju taman belakang di mana tempat tersebut menjadi tempat yang akan ia datangi mulai sekarang, entah menunggu Kakaknya itu atau bertemu dengan Nickhun juga Chittaphon.

Masih terlalu pagi, sebetulnya. Johnny terlalu bersemangat bahkan masih sepi sekali di taman saat ini, hanya ada Johnny dan beberapa orang yang sedang menunggu. Namun seberapa lama Johnny menunggu, ia akan amat sabar menunggu di taman inui sendirian dengan kakinya yang tiddak berhenti bergerak-gerak.

Tak lama kemudian, mata milik Johnny melihat Nickhun yang sedang mendorong kursi roda di mana di sana Chittaphon sedang terduduk dengan beberapa alat. Johnny melambaikan tangan membuat Nickhun yang melihat lambaian tangan Johnny langsung tersenyum lalu mendorong kursi roda Chittaphon menuju tempat di mana Johnny sudah menunggu keduanya.

“Maaf nunggu lama ya, Jo?” Tanya Nickhun sesampainya ia di depan Johnny bersama dengan Chittaphon.

Johnny menggelengkan kepalanya, “Nggak kok, Kak!”

Nickhun melepas pegangan di kursi roda milik Chittaphon lalu membawa tubuhnya ke depan Chittaphon kemudian setengah jongkok untuk mensejajarkan tubuhnya dengan sang adik yang tengah duduk itu.

“Chitta, kenalin ini Johnny.” Nickhun memperkenalkan Johnny kepada adiknya membuat Johnny tersenyum dan ikut berdiri di dekat Chittaphon juga Nickhun, matanya tak berhenti melihat seluruh tubuh hingga kepala dan wajah milik Chittaphon. Tentu pemandangan itu tidak luput dari mata Nickhun, Wajar, Johnny hanya anak kecil yang tidak mengerti dan Nickhun membiarkan itu sambil menunggu ucapan yang akan keluar dari mulut Johnny.

Johnny melambaikan tangannya ke arah Chittaphon, senyumnya terukir dengan manis di wajahnya, menyapa Chittaphon yang kemungkinan besar tidak bisa menyapa Johnny balik. “Halo, Chittaphon! Aku Johnny, panggil Jo aja, ya?”

Johnny tersenyum getir mendengar ucapan terakhir, kalau saja Chittaphon bisa berbicara, pasti adiknya juga ingin memanggil Johnny dengan sebutan Jo saja. Nyatanya, tidak. Tidak sepatah kata pun atau anggukan juga pernyataan setuju dari Chittaphon yang keluar.

Namun, Johnny tetap berbicara di depan Chittaphon tanpa kenal lelah, “Kata Kak Nick, kita seumuran loh! Sekarang Jo lagi belajar banyak di sekolah. Nanti, Jo ajarin Chitta, ya?”

Lagi, mendengarnya membuat Nickhun tersenyum getir, andai adiknya ini masih memiliki otak yang bergerak dengan normal, ia pasti akan sangat senang memiliki teman sebaik Johnny.

“Jo, duduk di situ yuk?” Ajak Nickhun sambil menunjuk tempat duduk yang tidak jauh dari tempat di mana ketiganya sedang berdiam saat ini.

Johnny mengangguk lalu tiba-tiba saja ia mengambil alih pegangan kursi roda milik Chittaphon dan meminta izin pada Nickhun, “Kak Nick, Jo boleh yang dorong kursi roda Chitta? Soalnya Jo nggak bisa narik tangan Chitta buat ke sana jadi Jo yang dorong kursi roda Chitta, boleh Kak Nick?”

Tuhan. Tolong, Nickhun hanya mendengar beberapa baris kalimat yang terlontar dari mulut manis Johnny saja sudah ingin menangis.

Chitta, kamu bisa dengarkan?”

Nickhun mengangguk dan mengizinkan Johnny untuk mendorong kursi roda Chittaphon, sedangkan Nickhun berjalan tepat di samping kursi roda Chittaphon, menjaga adiknya juga Johnny yang terlihat agak kesusahan mendorong kursi roda Chittaphon, tetapi lelaki tersebut berusaha sekuat tenaga. Nickhun ingin tertawa kecil melihatnyat tetapi ia ajuga berterima kasih pada Johnny.

Sesampainya di tempat duduk, Nickhun langsung mengunci kursi roda Chittaphon lalu ia duduk di kursi sedangkan Johnny langsung kembali berdiri di samping Chittaphon, Johnny terlihat sangat bersemangat untuk bercerita banyak hal pada Chittaphon padahal Johnny tahu, Chittaphon tidak akan bisa memberi reaksi apapun terhadap hal yang diceritakan oleh Johnny.

Nickhun hanya bisa tersenyum melihat pemandangan yang ada di depannya ini. Hangat juga sedikit menyakitkan untuk menjadi sebuah realita yang harus dijalankan.


Sudah beberapa mingggu ini, Johnny selalu menemui Chittaphon juga Nickhun ketika Johnny memiliki waktu luang, bahkan beberapa kali Johnny pulang sekolah, ia langsung menghampiri Chittaphon dan Nickhun untuk sekedar menyapa keduanya dan tentu, Johnny dengan cerita yang ia bawa dan diceritakan pada Chittaphon.

Hari ini, Johnny memiliki jadwal untuk menemani sang Kakak check-up mingguan, maka dari itu ketika ia memiliki waktu untuk menunggu sang Kakak, ia langsung membawa kakinya terbirit-birit menuju taman belakang, tentu dengan membawa harapan Chittaphon dan Nickhun ada di sana, karena hari ini jadwal Kakaknya agak sedikit sore sedangkan biasanya Chittaphon dan Nickhun ada di sana setiap pagi hingga menjelang siang.

Gotcha!

“Kak Nick! Chitta!” Johnny berteriak memanggil Nickhun dan Chittaphon sambil melambaikan tangannya sedangkan Nickhun yang sedang mendorong kursi roda Chittaphon langsung tersenyum dan melambaikan tangannya kembali untuk Johnny yang sekarang sudah mendekat ke arahnya.

“Jo, kok tumben sore-sore ke sini?”

“Iya, nemenin Kakak, minggu ini jadwal check-upnya sore soalnya. Jo pikir Kak Nick sama Chitta nggak ada di sini soalnya udah sore.”

Nickhun terkekeh, “Biasanya memang jarang sih, tapi enggak tahu kenapa Kak Nick lagi mau ajak Chitta jalan jalan sore. Jo mau temenin juga?”

Mungkin Johnny juga tidak mendengar sepenuhnya ucapan dan pertanyaan Nickhun tetapi Johnny langsung mengangguk dengan semangat.

Kali ini Johnny membiarkan Nickhun mendorong kursi roda sedangkan dirinya beridri di samping kursi roda sambil berjalan sedikit-sedikit, mengikuti Nickhun yang juga pelan-pelan dalam mendorong kursi roda milik Nickhun.

“Chitta, hari ini Jo dapat permen dari teman Jo. Terus, kemarin Jo jatuh dari tangga di sekolah gara-gara lagi bercanda sama teman Jo, lihat, sakit banget sampai berdarah kemarin.” Johnny terus bercerita sambil memperlihatkan siku tangannya yang terdapat plester karena luka jatuh kemarin, Nickhun yang mendengarkan hanya bisa tersenyum.

“Sakit banget, Chitta. Kemarin waktu jatuh, Jo nangis sedikit. Chitta kalau lihat Jo jatuh dari tangga nangis juga nggak?”

“Lain kali hati-hati ya, Jo? Sudah diobati belum?” Tanya Nickhun disela-sela cerita Johnny. Ia khawatir juga sedikit bersyukur karena mengingat kejadian yang tertimpa adiknya tidak juga menimpa Johnny.

Johnny mengangguk, “Sudah diobatin kok, Kak Nick!”

“Oh iya Chitta, kemarin Jo coba masak kue bareng Kakak, tapi tepung Jo jatuh semua hahaha. Jadinya Jo nggak masak kue, Jo cuma lihatin Kakak masak sambil Jo diomel-omelin karena Jo buang buang tepung. Kapan kapan mau main tepung sama Chitta, boleh nggak Kak Nick?”

Nickhun terdiam mendengar ucapan Johnny. Nickhun juga sangat ingin menjawab boleh, boleh, Jo boleh ajak Chitta main apapun itu. Tetapi lagi-lagi Nickhun tertampar realita. Nggak, nggak bisa, Jo.

Melihat Nickhun yang hanya diam tidak menjawab, Johnny kembali mengeluarkan suaranya, “Nggak apa Chitta! Kita jalan jalan aja, Chitta senangkan jalan jalan sama Jo?”

Senang, Chitta pasti sangat senang, Jo.

Setidaknya itu jawaban mutlak yang ada di kepala Nickhun jika memang Chittaphon bisa mengeluarkan suaranya.

Johnny kembali menceritakan berbagai cerita, dari cerita lucu sampai sedih sampai bikin Nickhun menggelengkan kepala karena terlalu ajaib untuk Johnny yang masih bocah SMP ini. Ya walau dipikir juga, Nickhun seperti itu juga sih.

Tapi jauh dilubuk hati, Nickhun tahu, Johnny mengharapkan sebuah jawaban juga reaksi terhadap cerita-ceritanya. Johnny berharap Chittaphon bisa tertawa ketika Johnny menceritakan sebuah lelucon, Chittaphon bisa menangis bersama Johnny ketika Johnny menceritakan cerita sedih, dan mungkin Chittaphon bisa ikut khawatir ketika Johnny cerita kalau dirinya habis jatuh dari tangga.

“Kak Nick,” Panggil Johnny tiba-tiba membuat Nickhun berhenti mendorong kursi roda Chittaphon karena Johnny juga memberhentikan langkahnya dan menghadapkan diri menghadap ke arah Nickhun.

“Iya, kenapa Jo?”

Johnny melihat kearah Chittaphon sebentar lalu kembali melihat ke arah Nickhun lagi, “Chitta, bisa sembuh nggak? Chitta bisa kayak Johnny lagi nggak?”

Nickhun terdiam, kalau saja Nickhun bisa jawab sesuai keinginannya kalau Chittaphon bisa sembuh, Chittaphon bisa seperti manusia pada umumnya, Nickhun ingin sekali menjawab dengan lantang bahwa Chittaphon bisa, bisa sembuh.

Lagi lagi, nyatanya, tidak.

Diamnya Nickhun, Johnny mengerti, “Nggak apa! Jo janji, Jo janji bakal terus jagain Chitta, bakal selalu ada di samping Chitta. Boleh kan, Kak Nick?”

Kali ini, Nickhun mengangguk.


Setelah beberapa hari Johnny tidak kunjung datang bermain dengan Chittaphon dan Nickhun, hari ini Johnny kembali mendatangi Chittaphon dan Nickhun, tetapi sebelumnya Johnny meminta izin pada Nickhun untuk dijemput di depan karena katanya hari ini Johnny membawa sesuatu untuk Chittaphon. Johnny malu untuk membawanya sendiri, maka dari itu ia meminta pertolongan Nickhun.

Johnny baru saja turun dari mobil sambil memegang erat bunga yang ia bawa hari ini. Iya, bunga adalah barang yang akan ia beri untuk Chittaphon. Bunga cantik yang sudah dipilih oleh Johnny berlama-lama hingga berjam-jam ia berdiri memilah-milih bunga di toko bunga. Bunga tersebut ia beli pakai uang sendiri setelah ia menabung beberapa hari dari uang jajannya.

Dan bunga itu terkhusus ia berikan untuk Chittaphon.

Yang ada di kepala Johnny saat memilih bunga tersebut adalah bunga cantik untuk seseorang yang juga tak kalah cantik dengan bunga tersebut walau hanya diam, sesekali bergerak.

Bunga adalah hadiah yang cocok untuk Chittaphon, pikir Johnny.

Johnny melambaikan tangannya yang kosong ke arah Nickhun membuat Nickhun melihat Johnny dari kejauhan.

Ketika Nickhun menyadari keberadaan Johnny akibat dari lambaiannya itu, Nickhun melambaikan tangan kembali ke arah Johnny membuat Johnny sedikit berlari menuju Nickhun.

Detik kemudian, Nickhun mendengar suara klakson mobil berkali-kali, tubuhnya terkejut bahkan sampai tidak bisa bergerak, mulutnya menganga tidak mengeluarkan satu patah kata pun ketika melihat keadaan yang ada tepat di depan matanya.

Nickhun berani bersumpah detik sebelumnya ia bisa melihat Johnny yang sedang berlari sambil memegang bunga dengan wajah yang sangat cerah membawa kakinya menuju dirinya.

Namun apa ini, detik selanjutnya, pemandangan Nickhun berubah total. Johnny yang tergeletak dengan darah yang bercucuran dan bunga yang masih dengan manis berada pada gengaman tangan Johnny, ditambah beberapa orang mulai mendekat ke arah tubuh Johnny yang berlumuran darah.

Nickhun berdiri kaku, kakinya berat, berat sekali ingin mendekat ke arah Johnny.

Tubuh Johnny tidak bergerak, matanya tertutup, darah terus mengucur dari tubuhnya, bunga yang ia bawa sudah berganti warna menjadi merah darah.

Nickhun bersimpuh, mendekat ke arah tubuh Johnny bersamaan dengan beberapa orang dari rumah sakit yang mendekat ke arah Nickhun, membantu Nickhun untuk mengangkat tubuh Johnny.

Yang Nickhun ketahui, tepat ketika Nickhun menjatuhkan tubuhnya bersimpuh di depan tubuh Johnny yang sudah berlumuran darah itu adalah ketika Johnny menghembuskan nafas terakhirnya, Johnny meninggal di depan Nickhun dengan tangan yang masih setia memegang bunga untuk sang adik, Chittaphon.


Sudah satu minggu lebih sejak kejadian yang sebenarnya tidak ingin Nickhun ingat lagi. Tetapi, Nickhun merasakan bahwa Chittaphon seperti mencari-cari keadaan seseorang belakangan ini.

Iya, Nickhun belum sempat bahkan tidak bisa menceritakan kejadian yang tertimpa oleh Johnny kala itu.

Tapi kali ini, Nickhun semakin melihat Chittaphon yang semakin hari semakin lesu, walau Chittaphon tidak bisa bereaksi, tetapi ia bisa melihat dan mendengar, Chittaphon bisa melihat Johnny sehari-hari yang selalu menemani dirinya, Chittaphon juga bisa mendengar suara-suara Johnny ketika ia bercerita tentang keseharian. Tetapi sudah beberapa hari ini, sosok tersebut tidak ada.

“Chitta..” Ucap Nickhun ketika ia akhirnya berjongkok di dekat Chittaphon, menyetarakan tubuhnya dengan sang adik yang tengah duduk di kursi roda.

Nickhun membawa tangannya untuk mengelus kepala Chittaphon dengan sayang.

“Maaf ya Abang belum sempat cerita,”

“Jo kecelakaan beberapa minggu lalu. Chitta nyariin Jo ya?”

Tidak ada jawaban.

“Chitta, berdua sama Abang, nggak apa-apa kan? Doyoung dan Kun nanti kalau sudah nggak sibuk, pasti nemenin Chitta lagi.”

Chittaphon hanya diam, diam dan diam. Tatapannya hanya memandang lurus dengan mata yang semakin lama semakin menghitam.

Nickhun mendengus lalu berdiri dari jongkoknya kemudian kembali menjalankan kursi roda milik Chittaphon.

Nickhun tahu, walau Chittaphon tidak bisa memberikan ekspresi apapun, tetapi Nickhun tahu. Adiknya sangat kehilangan sosok yang belakangan ini selalu mengisi pandangan juga pendengarannya.


@roseschies, 2025.

Titik Akhir

A Johnten Oneshot by roseschies


Setelah memastikan mobil milik Johnny sudah melaju menuju kantor, Ten menutup pagar rumahnya lalu masuk ke dalam rumah untuk merapihkan bekas sarapan milik dirinya dan Johnny tadi. Dirasa seisi rumah sudah terlihat rapih dan bersih, setidaknya dapat dibilang layak untuk menjadi tempat tinggal untuk manusia, Ten kembali masuk ke dalam kamarnya untuk membersihkan tubuhnya karena ia belum mandi.

Pagi ini, Ten sedikit bangun terlambat karena semalam dirinya membantu Johnny untuk menyortir beberapa kertas sampai larut. Maka dari itu, ia bangun tanpa mandi dan langsung membuat sarapan untuk dirinya juga Johnny dan menyiapkan jas kantor yang akan digunakan Johnny hari ini.

Setelah dirasa tubuhnya sudah terasa tidak lengket dan lebih wangi, Ten merebahkan tubuhnya lalu merampas ponsel miliknya yang sejak tadi ia charge di nakas.

Hari ini, kegiatan Ten tidak banyak maka dari itu Ten memilih untuk me-time dengan menghabiskan waktu berselancar mengitari social media yang ia miliki, melihat unggahan yang diunggah oleh orang lain, lebih tepatnya orang yang sudah menjadi teman Ten di social media, kemudian Ten juga berniat untuk menanam satu tumbuhan di halaman belakang karena kemarin dirinya baru saja membeli bibit baru.

Ah, Ten menyukai tanaman, sama seperti Papanya.

Ketika Ten asyik mengitari social media melihat-lihat unggahan kawan dekatnya, mata milik Ten berhenti di salah satu unggahan seseorang yang lewat di lini masa miliknya akibat seseorang yang sudah ia ikuti menyukai unggah tersebut.

Johnny menyukai unggahan tersebut.

Ten membuka foto yang diunggah oleh seseorang tersebut kemudian langsung menemukan di mana suaminya itu berada.

Ah, ternyata ini salah satu kerabat kerja Johnny karena foto tersebut merupakan foto sekumpulan rekan kerja Johnny. Sepertinya foto ini diambil ketika Johnny mendatangi suatu acara dari kantornya itu dan foto tersebut diambil pada hari tersebut.

Lini masa social media milik Ten rata-rata hanya diisi oleh unggahan yang disukai oleh Johnny karena memang Ten hanya mengikuti lima orang saja. Johnny, Papa, Papi, Kakak, dan akun gosip.

Tangan milik Ten berhenti mendadak ketika matanya melihat satu foto yang berisi banyak orang, seperti satu angkatan, tetapi lagi-lagi Ten dapat menemukan di mana Johnny berada. Johnny berdiri di sebelah seseorang yang Ten kenal siapa itu.

Ketika Ten sekali lagi memastikan pemilik akun, Ten ternyata tidak salah tebak, seseorang yang ada di dalam foto tersebut, yang berdiri di sebelah Johnny adalah Doyoung. Salah satu adik kelas yang bisa dikatakan sangat dekat dengan Johnny ketika Johnny di SMA dulu dan juga salah satu dari bagian masa lalu Johnny yang tentu Ten ketahui, semuanya.

Jantung milik Ten tiba-tiba berhenti berdetak untuk beberapa sekon, perasaan aneh mulai menjalar dalam tubuhnya namun Ten menepis perasaaan tersebut.

Lagi seharusnya tidak jadi masalah bagi teman lama untuk tetap bertemu sapa sampai saat ini, kan?


Keesokan harinya, Ten lagi lagi tidak sedang dalam kegiatan yang sangat padat, waktu yang dimiliki Ten sangatlah luang karena dirinya sudah menyelesaikan beberapa kerjaannya sejak pagi setelah Johnny pergi menuju kantor.

Di sinilah Ten, di atas kasurnya dengan ponsel yang berada dalam genggamannya, lagi lagi Ten kembali dalam kegiatan mengitari seisi lini masa social media miliknya yang hanya diisi oleh kicauan dari akun gosip dan beberapa unggahan yang disukai oleh Johnny sesekali unggahan yang disukai oleh Kakaknya juga lewat, tidak lain dan tidak bukan adalah unggahan yang diunggah oleh sang kakak ipar, Jaehyun dengan unggahan yang selalu menceritakan betapa lucu dan menggemaskan anaknya itu.

Seperti dejavu, jari jempol milik Ten berhenti mendadak begitu juga dengan detak jantungnya yang lagi lagi berhenti mendadak untuk beberapa sekon setelah melihat satu unggahan dari akun yang sudah ia kenali.

Unggahan kali ini lebih membuat jantung milik Ten berpacu lebih cepat dari sebelumnya.

Unggahan tersebut berisi empat foto, dengan tiga foto yang berisi foto anak-anak divisi Johnny, tentu Ten mengenalinya dan foto terakhir adalah foto Ten hanya berdua dengan Doyoung tanpa anak-anak divisi lainnya lagi.

Tolong tegaskan, hanya berdua.

Inti dari deskripsi singkat pada unggahan milik Doyoung tersebut ialah Doyoung yang akhirnya diterima kerja dan akan bekerja di kantor juga divisi yang sama seperti Johnny. Doyoung juga berterima kasih pada Johnny karena Johnny sudah membantu dirinya banyak hal sampai akhirnya dirinya bisa bekerja di bawah gedung dan ruangan yang sama dengan Johnny.

Mata milik Ten sedikit melotot dengan jantung yang semakin berpacu. Bukan hanya melodi yang berpacu, jantung milik Ten kali ini juga berpacu, sangat kencang juga berantakan, tidak seperti melodi yang berpacu indah.

“Johnny, kakak kelas yang paling saya kagumi.” Monolog Ten seraya membaca deskripsi singkat dari unggahan milik Doyoung tersebut.

Lagi lagi Ten berusaha untuk tidak peduli.

Toh, hubungan mereka hanya sekedar adik kaka kelas dan sekarang sudah naik menjadi rekan kerja saja, kan?

Tidak ada yang harus Ten takuti. Ten percaya pada Johnny, tentu Johnny akan selalu menjaga rasa percaya yang sudah Ten berikan padanya, kan?

Tetapi, Ten tetaplah Ten yang selalu tenggelam dalam pemikiran buruknya itu.


Sudah beberapa hari ini Johnny melihat Ten yang lebih diam dari biasanya.

Ketika Johnny bertanya pada Ten, Ten selalu menjawab bahwa dirinya tidak apa-apa, dirinya baik-baik saja, mungkin memang dirinya yang sedang tidak ada energi daripada biasanya. Jawabannya yang dikeluarkan oleh Ten hanya sekitar itu itu saja.

Malam ini, setelah Ten selesai dengan skincare rutinnya juga Johnny yang selesai dipakaikan skincare yang sama dengan Ten, keduanya naik ke atas kasur lalu merebahkan masing-masing tubuh untuk mengistirahatkan tubuhnya.

“Mas besok pulang malam ya Ten. Mas takut lupa bilang besok pagi.” Ucap Johnny sambil meletakkan ponselnya di nakas.

“Iya Mas. Emang mau ada apa kok pulang malam?” tanya Ten, Ten menghadapkan dirinya menghadap ke arah Johnny membuat Johnny dapat memainkan rambut halus milik Ten, sesekali Ten menutup matanya, elusan yang diberi Johnny menimbulkan kantuk pada dirinya.

“Ada schedule makan malam sama anak anak divisi Mas.”

Rasanya Ten menyesal sudah bertanya, padahal sudah lebih baik dirinya hanya tau kalau suaminya itu pulang malam tanpa harus tau ngapain dan sama siapa.

Ten itu sangat tidak pintar menyembunyikan ekspresi wajahnya. Wajah mesem Ten ketika mengangguk tercetak dengan jelas membuat Johnny mengernyitkan dahinya bingung dengan perubahan yang ada pada ekspresi Ten.

“Kamu kenapa sayang?”

Ten menggeleng, “Aku gapapa Mas,”

Ten membalikkan tubuhnya lalu menyamankan tidurnya yang memang biasa lebih sering berlawanan dengan arah Johnny yang biasa tidur memandang punggung Ten.

Johnny mendekatkan tubuhnya pada tubuh milik Ten lalu memeluk tubuh mungil Ten sembari membubuhkan ciuman kecil di punggung Ten sedangkan tangan milik Johnny tak berhenti mengelus rambut milik Ten.

Disentuh seperti itu membuat Ten menangis secara tiba-tiba.

Johnny itu, ketika Ten menolak atau tidak memiliki keinginan untuk bercerita pada dirinya, maka Johnny tidak akan memaksa Ten untuk bercerita.

Karena Johnny masih mengetahui batasan Ten, dan Johnny percaya, pada akhirnya nanti Ten juga akan bercerita pada dirinya ketika sudah waktunya.

Maka dari itu, Johnny hanya bisa memberi banyak sentuhan untuk Ten, mengingatkan Ten bahwa Johnny selalu ada untuknya, Johnny selalu ada di sampingnya. Suaminya itu tidak akan pergi kemana-mana.


Sore ini Ten dikejutkan dengan Johnny yang pulang tanpa kendaraan, tanpa mobil milik Johnny yang tadi pagi ia gunakan untuk menuju kantor.

Setelah bersalaman dengan Johnny dan Johnny yang mencium kening Ten, Ten mengambil alih tas yang dibawa Johnny kemudian bertanya pada Johnny yang saat ini sedang meneguk air minum di depan kulkas, “Kok pulangnya ngga bawa mobil Mas? Mobilnya kenapa?”

“Mobil Mas mogok, Ten. Haduh, untung aja mogoknya masih di depan kantor, kalau nggak bingung Mas.” Ucap Johnny, suara Johnny terdengar melenguh karena kecapekan.

Ten mendekat kearah Johnny lalu membantu Johnny untuk membuka jas yang digunakan oleh Johnny, “Untunglah, Mas. Tadi diantar siapa? Kak Yuta?”

Johnny menggeleng kemudian mengucapkan terima kasih pada Ten, “Nggak. Tadi Mas diantar sama Doyoung. Kamu tau kan, Ten?”

Ten sedikit panik tetapi sekon selanjutnya Ten buru-buru bersikap biasa sebab yang Ten tahu, biasanya Kak Yuta akan mengantar Johnny kalau Johnny lagi terkena masalah mogok atau masalah lainnya seperti ini. Tetapi sekarang sudah berubah jadi Doyoung.

Ten mengangguk, “Tau Mas.”

Akhirnya demi memecah suasana lebih tepatnya supaya topik tersebut tidak semakin menjauh, Ten mengajak Johnny untuk makan malam dengan makanan yang sebelumnya Ten sudah hidangkan.


Siapa bilang Ten sudah lupa dengan pemikiran buruknya tentang hal hal yang terjadi belakangan ini?

Tidak. Sudah dibilang Ten ini akan selalu tenggelam dalam pikiran buruk yang sudah ia buat dengan dirinya sendiri.

Ten percaya pada Johnny, tapi entah pikirannya kali ini lebih menang dan di atas rasa percaya tersebut. Ten rasanya ingin menangis.

Perasaan aneh yang menjalar pada tubuhnya tidak kunjung hilang. Dirinya diselimuti kegelisahan.

Kak Yuta.

Satu nama yang tiba-tiba muncul dalam pikirannya yang sedang berkecambuk itu. Buru-buru Ten mengambil ponselnya yang sejak tadi tergeletak di nakas lalu mencari kontak Kak Yuta, teman satu divisi Johnny yang biasa menjadi tempat Ten bertanya-tanya tentang Johnny.

Ten mengirimkan pesan yang pada intinya ia bertanya mengenai Doyoung meskipun Ten tidak langsung membicarakan dan menyebut nama Doyoung.

Namun sepertinya Kak Yuta sangat tanggap karena jawaban yang diberi oleh Kak Yuta benar-benar tertuju pada yang dimaksud.

Ohh, iya ada anak baru. Namanya Doyoung, Ten. Keliatannya deket banget sih Ten. Gue denger-denger temen lamanya Johnny? Soalnya tadi pagi juga katanya mereka dateng barengan, kayaknya dia dianterin Johnny.

Kira-kira seperti itu balasan Kak Yuta ketika Ten hanya memberikan pertanyaan satu, tetapi jawaban Kak Yuta sudah melampaui informasi yang ingin Ten ketahui.

Tidak berniat ingin menjawab pesan Kak Yuta yang semakin membuat Ten semakin merenung dan semakin jatuh dalam pikiran buruknya itu.

Saat ini hanya ada kalimat buruk yang ada di kepala Ten tentang dirinya.

Apa Mas sudah bosan dengan dirinya?

Apa dirinya ini masih seperti anak kecil dan kurang dewasa?

Apa sebenarnya selama ini dirinya hanya menyusahkan hidup Mas dan saat ini Mas sudah sampai pada titik ia jenuh dan risih dengan dirinya?

Dan berbagai pemikiran buruknya yang semakin memeluk erat kepalanya.

Ten langsung menutup ruang obrolan dirinya dengan Kak Yuta lalu mencari aplikasi social media entah apa yang sudah memasuki pikirannya tetapi kali ini Ten rasanya gatal, jempolnya ingin mengitari akun milik Doyoung. Semakin ia menggulir, rasanya semakin dalam juga Ten jatuh.

Style yang digunakan Doyoung terlihat sangat bagus, pemilihan mix and match yang Doyoung berikan pada tubuhnya yang terlihat sangat bagus itu terlihat semakin cocok. Pahatan wajah Doyoung tegas, tipe lelaki yang akan disukai banyak orang. Bahkan Ten sangat suka melihat pahatan wajah Doyoung, bak dewa.

Jika pahatan wajah Doyoung bak dewa, maka dirinya adalah bak mandi. Setidaknya itu yang ada di pikiran Ten.

Ten bangun dari duduknya itu lalu berdiri di depan kaca, ia memerhatikan dirinya yang terpantul di kaca. Dirinya ini beda jauh sekali dengan Doyoung.

Sekali lagi Ten memerhatikan, style yang dipilih Doyoung benar-benar memikat sedangkan Ten sama sekali tidak paham dengan fashion. Ia hanya memilih untuk memakai baju gombrang yang dipadu dengan celana kain, selesai.

Entah angin darimana tetapi ketika Ten sedang asyik tenggelam hingga jatuh sampai dasar, terdengar suara notifikasi pesan masuk dari Papinya.

Papinya bertanya mengenai kabarnya, yang sebenarnya Johnny lebih dulu sudah chat pada Papi karena kalau sudah begini, hanya Papinya yang bisa membuat Ten cerita. Setidaknya, Ten masih punya tempat untuk mengeluarkan segala jenis uneg-uneg yang dia miliki.

Pada awalnya, Ten hanya membalas seadanya, tetapi ketika Papinya bertanya lebih dalam, Ten berfikir lebih dalam untuk bercerita apa yang sedang ia pikirkan saat ini. dan berakhir Ten menyetop ceritanya agar tidak melebar kemana-mana (sebelum Ten kepleset mengetik nama Doyoung di ruang obrolan dirinya dengan sang Papi) karena Ten takut dirinya akan dicap sebagai suami ambekan dan aduan.

Maka dari itu, Ten berbohong bahwa dirinya akan ada pertemuan dengan beberapa temannya dan ia akan siap-siap. Bahkan Ten meminjam nama Kun dan Winwin pada alasannya kali ini. Dan pembicaraan antara anak dan orang tua kali itu, berhenti sebelum Ten melanjutkan ceritanya semakin dalam sampai membicarakan Doyoung dan masalah yang dibuat pada pikirannya sendiri.


Seperti tersambat, Ten pagi ini berubah menjadi lelaki kalem, tidak manja bahkan berusaha untuk lebih dewasa -dalam kategorinya- setidaknya Ten tidak ingin menjadi kanak-kanak seperti biasanya.

Hari ini hari sabtu, Ten yang biasanya hanya rebahan di sofa bersama Johnny menonton televisi tetapi kali ini berbeda. Lelaki itu sudah menggelar matras untuk berolahraga di ruang serbaguna.

Melihat itu, Johnny sukses terbengong, Suaminya ini, kenapa?

Bahkan, sore harinya ketika Johnny mengajak Ten untuk jalan di taman, pakaian yang digunakan Ten berubah drastis. Johnny rasanya seperti tidak mengenal suaminya sendiri.

Benar-benar bukan Ten yang Johnny kenal.

Johnny masih terbingung melihat berubahnya Ten dalam seharian ini. Johnny merasa aneh.

Ketika keduanya sampai rumah, Ten tiba-tiba merasa lemas. Ten merasa dirinya sangat aneh seperti bukan dirinya. Selain itu, Ten juga merasa lelah karena habis olahraga banyak tadi supaya dirinya bisa punya abs seperti Doyoung.

Johnny yang baru saja mengambil dua gelas air lalu duduk di sofa, duduk di sebelah Ten yang nafasnya terdengar lebih memburu dari biasanya.

Are you okay, Sayang?” tanya Johnny kemudian menyodorkan satu buah gelas untuk Ten minum.

Bukannya menerima gelas tersebut, Ten malah menangis.

Ten bingung dengan dirinya sendiri.

Johnny panik bukan main, “Hey, Ten. Kenapa sayang?”

“Aku takut kehilangan Mas,” ucap Ten disela-sela tangisannya, dahi milik Johnny mengernyit, karena ia bingung. Memang dirinya mau kemana sampai-sampai Ten takut kehilangan akan dirinya.

“Aku nggak mau Mas pergi, aku nggak mau ditinggalin sama Mas. Aku cuma maunya Mas, aku cuma mau sama Mas,” Lagi, Ten berbicara entah kemana arahnya sambil sesegukan. Johnny masih diam, membiarkan Ten mengeluarkan semua pikirannya, Johnny mengelus pelan tubuh Ten, ia bawa tubuh milik Ten ke dalam pelukannya.

Tubuh Ten bergetar seiring tangisannya yang semakin menjadi. “Aku nggak tau kenapa, dan aku juga nggak paham sama diri aku sendiri juga pikiran aku. Aku cuma, takut Mas. Aku takut Mas pergi ninggalin aku karena aku gini gini aja. Aku nggak ada spesialnya dibanding orang lain.”

“Aku bahkan jauh, jauh sangat jauh bedanya dengan Doyoung.” ucap Ten yang sepertinya tidak sadar kalau mulutnya terpleset dan berakhir mengucapkan nama Doyoung ketika merengek di dalam pelukan Johnny.

Mendengar nama Doyoung disebut oleh Ten membuat Johnny terdiam kemudian berfikir, sekon selanjutnya Johnny terkekeh.

Johnny mencium pucuk kepala Ten. Mendengar kekehan yang keluar dari mulut Johnny membuat Ten menatap wajah Johnny yang sedang tersenyum gemas pada dirinya.

Ten menunduk malu, ia sudah tertangkap basah kalau ia cemburu dengan Doyoung.

“Jadi suami Mas dari kemarin lagi kepikiran sama Doyoung, ya?”

Ten diam. Tidak ia jawabpun Johnny pasti tahu jawabannya adalah iya.

“Hehehe, lucu banget sayangnya Mas ini. Lucu.” Ucap Johnny sambil mengusap pipi milik Ten yang meninggalkan bekas air mata milik Ten.

“M-mas....”

Johnny mengangkat wajah Ten mengajak untuk menatap mata miliknya, “Mas nggak akan marah sayang. Kamu juga punya perasaan dan pikiran sendiri. Mas paham. Ten cemburu ya? Maaf ya Mas nggak perhatiin kalau Ten cemburu.”

Ten menggeleng, “Mas nggak salah, Ten yang sa-”

“Ssshh, nggak. Ten nggak salah. Ten cuma salah paham dan terlalu larut sama pikiran yang sudah Ten buat tentang Mas dan Doyoung.”

“Ten, Ten suaminya Mas. Sekarang yang jadi suaminya Mas itu Ten kan? Kenapa? Karena Mas milihnya kamu sayang. Bukan yang lain.”

Mendengar suara teduh yang keluar dari mulut Johnny membuat hati milik Ten melunak, ia sudah salah karena mempermainkan kepercayaan Johnny.

Johnny mengecup kilat hidung milik Ten yang memerah akibat menangis tadi.

“Ten, just be yourself. Mas sayangnya kamu, bukan yang lain. Mas sayang kamu karena diri kamu. Ya sayang?”

“Kalau memang Ten punya pikiran pikiran buruk tentang Mas, cerita sama Mas ya?”

Ten mengangguk, “Maaf ya Mas...”

“Nggak apa-apa sayang.”

“Sini, Mas peluk dulu suaminya Mas yang habis cemburu sama Doyoung.” Goda Johnny kemudian menarik tubuh milik Ten sedangkan Ten pipinya memerah karena malu.

Ia terlihat sangat kekanak-kanakan karena cemburu karena masalah sesepele itu. Tetapi ia beruntung, Johnny memahami dirinya.

“Ten, sayang sama Mas.” ucap Ten dalam dekapan hangat Johnny membuat Johnny tersenyum lalu mengelus dengan lembut rambut milik Ten.

“Mas juga sayang. Sayang banget sama Tennya Mas.”

Ten menangis, menangis bahagia karena ia tidak pernah salah pilih, memilih untuk menghabiskan sisa hidupnya bersama Johnny.


@roseschies, 2025.

always enough for them

Setelah membaca chat dari Papanya itu, Haechan langsung menaruh ponselnya yang sebelumnya ia sempatkan kirim pesan ke Mark kalau ia akan ke kamar Papanya untuk sekedar ngobrol sebentar dengan sang Papa.

Sesampainya di depan kamar Ten, Haechan mengetuk pintu kamar Ten sampai terdengar suara sahutan Ten dari dalam kamar lalu Haechan masuk ke dalam kamar Ten di mana Haechan melihat Papanya sedang terbaring di kasurnya sambil tertawa kecil karena sedang scroll tiktok, katanya tadi.

“PAPA IH KAYAK ORANG ANEH KETAWA-KETAWA SENDIRI LIHAT HP,” Teriak Haechan sambil berlari kecil menuju Kasur Ten dan Johnny lalu menidurkan badannya di samping Ten dan mendekatkan diri ke arah Ten, melihat FYP milik Ten yang sedang terpampang di layer ponselnya itu.

“Kayak kamu nggak aja de, biasa kamu juga senyum senyum lihat HP karena chat dari Mark, kan?” Sahut Ten membuat dirinya malu sendiri, betul juga kata Papanya itu.

“Oh iya de, ayo kita velocity, Papa ajarin dede, Papa udah jago nih. Mau lagu yang mana?” Ucap Ten sambil membuka list lagu trend velocity di aplikasi tiktoknya.

“Ini aja nih Pa, seru tau yang ini.” Tunjuk Haechan pada satu lagu yang bagi Ten itu sangatlah susah, Ten belum bisa untuk lagu tersebut.

Ten menggelengkan kepalanya, “Susah ah de, yang gampang aja.”

“Ih, katanya Papa udah jago.”

“Iya Papa jago yang dung dung tak dung tak itu loh de,”

Haechan tertawa melihat Papanya meragakan trend velocity tersebut karena mimik wajah Ten terlihat seperti orang kebingungan sendiri, mana tangannya salah pula.

“Yaudah yang itu aja, Pa, ayo pakai HP papa ya, HP dede di kamar.” Ajak Haechan lalu Ten mengangguk dan keduanya menuju meja serbaguna milik Ten dan Johnny yang tidak jauh dari tempat tidur untuk meletakkan ponsel milik Ten agar keduanya dapat dengan mudah membuat video.

Setelah setidaknya ada satu jam lebih Haechan dan Ten menghabiskan waktu hanya untuk satu trend velocity, sampai akhirnya keduanya tidak sadar waktu sudah menunjukkan pukul tepat 11.00 malam, akhirnya Ten dan Haechan selesai juga membuat video pendek tersebut.

“Katanya Papa mau ajarin dede, ini jadi dede yang ajarin Papa.” Ucap Haechan diakhir setelah Ten mengambil ponselnya untuk ia edit video keduanya itu.

Ten tertawa karena sejak awal, dialah penyebab video pendek itu tidak selesai juga. Soalnya, Ten selalu tidak sinkron dengan Haechan yang sesuai dengan ketukan lagunya sedangkan dirinya selalu terlambat dan setiap itu, keduanya selalu tertawa dan membuat ulang, kalau Ten lihat bisa sampai ada puluhan draft video di aplikasi tiktok miliknya yang berisikan video miliknya dan Haechan tersebut.

Setelah sadar waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam, Ten akhirnya meminta Haechan untuk kembali ke kamarnya untuk bersiap tidur karena sudah malam dan besok Haechan harus masuk sekolah.

“De, ke kamar gih, udah malam, besok kamu sekolah kan.” Ucap Ten membuat Haechan melihat kearah jam dinding dan terkejut, ternyata selama itu keduanya menghabiskan waktu untuk membuat video pendek tersebut.

Haechan mengangguk lalu membangunkan dirinya setelah memeluk kecil Ten tanda berpamitan.

“Oke Pa, dede tidur dulu ya, selamat malam Paa.” Pamit Haechan lalu berlari kecil menuju pintu kamar Ten dan Johnny. Tak lama kemudian sosok Haechan hilang dari balik pintu kamarnya, menyisakan Ten seorang dengan background suara trend yang baru saja ia buat dengan Haechan karena saat ini dirinya sedang mengedit di aplikasi tiktok.

Tak lama kemudian, pintu kamarnya terbuka melihatkan sosok besar, badan milik suaminya, Johnny yang baru selesai dengan urusan kantornya itu. Johnny mendekatkan diri kearah Ten yang sedang asik dengan dunianya sendiri, “Tumben dede ke kamar, Yang?”

Ten mendongakkan kepalanya lalu sumringah melihat Johnny, “Eh Jo, iya dede bosen katanya karena abangnya belajar terus, jadi ke kamar. Padahal dedenya sama aja kayak babangnya, sama-sama maniak belajar, apalagi kalau lagi ujian.”

Johnny tertawa lalu mengusak kepala Ten dan membawa dirinya menuju lemari miliknya untuk mengambil baju tidurnya.

“Dua anak kita memang sama, yang satu bosen kalau babangnya lagi ujian karena fokus belajar. Yang satu bosen kalau dedenya lagi ujian juga karena fokus belajar.” Johnny menggelengkan kepalanya, bingung dengan kedua anaknya itu.

Kedua anaknya itu obsess sekali untuk belajar kalau lagi ujian sampai Johnny dan Ten apalagi Ten khawatir dan selalu khawatir dengan kedua anaknya itu setiap musim ujian. Padahal sejak dahulu, Ten dan Johnny tidak pernah menekan kedua anaknya untuk mendapatkan nilai bagus.

Menurut Ten dan Johnny, berapapun nilai akhir yang dicapai kedua anaknya, Johnny dan Ten akan selalu bangga dengan proses yang dilalui oleh kedua anaknya dan keduanya tahu, kedua anaknya tidak pernah mengecewakkan mereka.

Berapapun nilainya, bagi Johnny dan Ten itu sudah sangat bagus dan mereka berdua selalu bangga dengan hasil dan proses yang dijalani oleh kedua anaknya.

“Aku mandi dulu ya, Sayang.” Pamit Johnny yang sebelumnya sempatkan mencium kening suami kecilnya itu yang sedang sibuk mengedit video dirinya dan anak bungsunya itu membuat Ten menganggukkan kepala kecil lalu Johnny pergi menuju kamar mandi untuk mandi, membersihkan tubuhnya.


roseschies, 2025.

busy day for his brother

Baru saja satu minggu berlalu Hendery menghabiskan waktunya hanya untuk belajar dan belajar karena saat ini Hendery sedang dimasa ujiannya. Dan sudah satu minggu berlalu Haechan merasa hidupnya terasa jauh lebih sepi apalagi ketika keduanya di rumah.

Satu minggu ini juga sudah Haechan lewati hanya melihat Hendery pulang hingga larut malam dengan wajah yang terlihat lelah, ia tahu abangnya sedang berjuang, memerjuangkan nilainya untuk di semester tersebut.

Beberapa kali Haechan mencoba menjahili abangnya itu dengan mengeluarkan beberapa lelucon atau sekedar melemparkan suatu barang sambil tertawa seperti yang biasa mereka lalukan di rumah tetapi respon yang diberikan sang abang hanya mengambil barang yang dilempar oleh Haechan lalu pergi begitu saja sambil membawa buku yang Haechan yakin isinya Haechan pun tidak mengerti alias materi-materi ujian Hendery.

Haechan menghembuskan nafas sambil mencibir “Gak seru Abang ah.”

Biasanya kalau Haechan mengucapkan hal seperti berikut Hendery akan mengomel atau sekedar mencubit pipinya sampai menguyel-uyel pipinya itu tapi sekarang berbeda, tidak ada reaksi apa-apa dari Hendery.

Rasanya Haechan ingin menangis, ia merasa abangnya seperti marah padanya tetapi pada akhirnya ia mengerti, Hendery sedang lelah dan stress karena masa ujian.

Beberapa hari kemudian, di malam itu, Haechan bangkit dari kasurnya setelah beberapa kali hanya scroll sosial media, ia punya ide lalu membawa kakinya menuju dapur.

Haechan ingat masih ada beberapa makanan kecil seperti kue dan coklat lalu ia membuatkan teh hangat dan meletakkan piring yang sudah ia isi dengan kue dan coklat juga cangkir berisi teh hangat ke atas nampan dan ia bawa nampan tersebut menuju kamar Hendery.

Haechan letakkan nampan tersebut di depan meja beserta surat kecil yang sudah sempat ia tuliskan beberapa kata di dalamnya lalu mengetuk pintu kamar Hendery dan berlari menuju kamarnya setelah misinya selesai ia lakukan.

Hendery yang mendengar ketukan pintu dari pintu kamarnya langsung berdiri dari bangkunya, “Iyaa Pa,” karena Hendery berfikir itu adalah Papanya yang mengetuk kamarnya.

Sesampainya ia di depan pintu lalu membuka pintu kamarnya namun ia tidak melihat siapa siapa di depan pintu kamarnya, ia hanya melihat nampan berisikan piring dengan kue dan coklat di atasnya dan cangkir berisi teh hangat juga sebuah kertas dan ia tersenyum kecil sambil melihat ke arah pintu kamar adiknya itu, Hendery tau dengan pasti kalau hal berikut adalah kerjaan sang adik.

Hendery sadar adiknya beberapa hari belakangan selama ia ujian ini selalu meminta perhatian, sekedar menjahilinya, seperti biasa.

Hendery jongkok untuk mengambil nampan lalu membawa nampan tersebut masuk ke dalam kamarnya dan meletakkan nampan tersebut di atas mejanya kemudian ia bawa tangannya untuk mengambil kertas yang ada di atas nampan.

Semangat belajarnya, Abang jelek. Dede yang tampan ini bosan, cepet selesai ujian, dede gak sabar mau ngisengin babang lebih banyak. Babang kalau lagi ujian jadi kayak monster, ih serem.

Hendery tertawa kecil membaca tulisan di dalamnya, tertawa karena isi di dalamnya dan tulisan Haechan yang seperti cakar ayam, jelek sekali. Hendery tahu, adiknya itu menulis dengan buru-buru.

Niat Hendery selanjutnya adalah mendatangi adiknya dan akhirnya Hendery bangun dari duduknya lalu menuju kamar adiknya yang berada di depan kamarnya itu.

Baru saja Hendery ingin mengetuk pintu kamar adiknya tetapi ia tunda karena mendengar suara tawa adiknya dan disusul dengan suara Mark samar-samar, oh, adiknya sedang video call dengan temannya itu.

“Cih, dasar, anak muda.” Cibir Hendery lalu kembali ke dalam kamarnya dan mendudukan dirinya di bangku sambil mengambil kue yang diberikan adiknya itu.

“Pasti si Mark keenakan tuh,” Gumam Hendery sambil mengunyah kue yang sedang ia lahap sambil sesekali masih mencibir, “Mark tetep nomor satu, gue mah kedua.”

Aslinya Hendery iri.


nostalgia

Dua jam lebih Johnny dan Ten habiskan waktu mereka di dalam bioskop, menonton film yang sudah Ten pilih sebelumnya.

Ten tidak hanya asal memilih, ia sudah hafal dengan apa yang disuka dan tidak disuka oleh Johnny, maka dari itu ketika Ten memilih tontonan apa yang akan mereka tonton meskipun tanpa bertanya terlebih dahulu pada Johnny, Ten sudah menimang terlebih dahulu dan ketika Ten memberitahu pada Johnny, Johnny juga sudah setuju dengan pilihan Ten.

Hal yang tidak pernah berubah sejak dulu adalah ketika keduanya keluar dari bioskop maka keduanya akan berbicara mengenai alur hingga teknik kameramen hingga editan yang ada di dalam film yang baru saja mereka tonton.

Berdebat hingga berkomentar, saling melontarkan pendapat masing masing.

Ten sangat menyukai waktu ketika dirinya dan Johnny membicarakan sebuah alur dari sebuah film yang baru saja mereka tonton. Karena cara pandang keduanya sedikit berbeda namun karena hal tersebutlah membuat Ten maupun Johnny bisa mendapat pencerahan dari pandangan lainnya membuat keduanya menerka-nerka akan ada hal apa lagi di season selanjutnya.

All You Can Eat kali ini menjadi pilihan Johnny dan Ten untuk mengisi perutnya yang kosong sejak tadi (kecuali sarapan, karena keduanya sempatkan sarapan bersama kedua anaknya terlebih dahulu tadi pagi).

Setelah memikirkan apa akan merasa rugi jika makan AYCE dan keduanya sama sama perut karet, maka dari itu akhirnya keduanya benar benar memutuskan untuk makan di sana.

Dengan tangan milik Ten yang melingkar di pinggang Johnny sedangkan tangan milik Johnny merangkul pundak Ten, keduanya berjalan membelah lautan manusia di dalam Mall. Tak lupa dengan pandangan banyak orang yang melihat kearah keduanya sebab keduanya ramai seperti dunia hanya milik mereka berdua.

Restoran yang didatangi tidak ramai membuat Ten dan Johnny langsung mendapat tempat duduknya. Seperti sudah menjadi rules tak tertulis,, Johnny langsung memasak beberapa daging untuknya dan untuk Ten sedangkan Ten menyiapkan rebusan untuk keduanya.

“Yang, tadi sebelah kamu kayaknya seumuran si babang deh,” Ucap Johnny sambil membalikkan daging yang sedang ia masak.

“Keliatannya sih gitu, tadi bareng pacarnya deh duduk di sebelah dia. Eh ngga tau ya pacar apa bukan, tapi kayaknya iya.”

Johnny mengangguk-anggukan kepalanya, “Soalnya tadi pas kita mau lewat, kok rasanya hawa mereka tuh kayak hawa lagi slek slekan gitu.”

Ten tertawa, kebiasaan Johnny lainnya adalah bergosip ketika keluar dari bioskop.

Kadang Johnny suka tiba-tiba kepo dengan urusan orang yang ada di sebelah dirinya atau disebelah Ten bahkan ketika nonton dengan kedua anaknya, ia akan kepo dengan orang yang ada di sebelah Hendery ataupun Haechan.

Salah satu alasan lain lagi mengapa Ten memilih tempat duduk di pojok. Agar Johnny duduk dipojok, tetapi ia lupa sebelah dirinya tetap akan ada orang yang duduk di sana.

Biasanya akan ada Hendery yang menjawab, “Daddy kepoan banget urusan orang jugaaa.”

Tetapi karena apa yang diucap Johnny barusan membuat Ten ikut penasaran juga.

“Kamu inget ngga sih Yang, dulu kita pernah berantem keluar dari bioskop,” Ucap Johnny tiba-tiba membuat Ten tertawa lebar mengingat kejadian tersebut.

Astaga, kesalahpahaman membuat Ten menjadi orang paling bodoh seantero dunia.

“Inget aku, gara-gara kamu lama jemput aku katanya ada urusan di kantor, terus aku malah nemu lipstick cewe di dashboard mobil kamu ditambah parfum cewe juga.”

Johnny tertawa, “Ya aku waktu dulu mana tau Yang ada orang seobsesi itu sama aku. Dan aku baru sadar juga kamu seteliti itu dan aku seceroboh itu. Ditambah waktu itu aku nggak ada bukti apa apa juga.”

Ten tersenyum, ia jadi ingat muka panik Johnny waktu dulu ia tuduh selingkuh pada Johnny sama sekali tidak pernah kepikiran untuk melakukan hal tersebut.

Ten tahu, banyak sekali yang mengincar Johnny sejak dulu. Sedangkan Johnny orangnya tidak peduli tentang hal tersebut, yang ia pedulikan hanya Ten dan Ten.

Banyak sekali orang yang ingin menjatuhkan hubungan keduanya tetapi lagi lagi keduanya bisa melewati hal tersebut.

Akhirnya setelah bergosip dan sedikit nostalgia, keduanya menghabiskan banyak makanan yang sudah diambil tadi.

“Jo, liat twitter deh. Si dede ngeposting foto ada Marknya terus captionnya begitu hahaha. Gemes banget.” Ten memperlihatkan unggahan yang diunggah oleh Haechan pada Johnny membuat Johnny menyeletuk, “Kamu banget. Cara bucinnya mirip.”

Ten tertawa ketika dirinya melihat unggahan yang diunggah oleh Hendery tepat diatas unggahan milik Haechan, “Nah ini, kamu banget. Jahil!”

Johnny melihat unggahan yang diunggah oleh Hendery dari ponsel milik Ten lalu tertawa, anak sulungnya ini senang sekali meledeki adiknya.

“Si abang ya, sehari ngga godain dedenya gatel gatel aku rasa.” Ucap Ten lalu mengunci ponselnya dan ia masukkan ke dalam tas.

Johnny mengangguk setuju, “Tapi begitu juga dia yang paling sayang sama dede.”

Ten tersenyum, benar juga apa yang diucapkan Johnny.

“Udah selesai? Sekarang kita mau ke daerah deket apart?” Tanya Johnny pada Ten membuat Teb mengangguk sambil merapihkan beberapa bekas makan agar pelayan lebih mudah membersihkan meja yang sudah ia gunakan dan lebih mempercepat agar pelanggan lainnya bisa menggunakan meja tersebut.

“Boleh! Ih Jo, ke cafe itu dong apa namanya deket kampus aku yang jadi tempat wajib kita duluu.”

“Ohhh, cafe yooraco itu?”

“Iyaa! Sekalian kesitu nanti, lewat kan? Tempat kencan wajib kita dulu masa ngga kesana sih.”

Johnny mengangguk lalu berdiri dari tempatnya, “Lewat kok, kalaupun nggak lewat nanti aku lewatin. Yaudah yuk ke kasir kita bayar langsung pergi, keburu malem juga nanti ngga kesampaian datengin beberapa tempat dulu.”

Ten ikut berdiri dari tempat duduknya lalu berjalan di sebelah Johnny tak lupa ia lingkarkan tangannya di pinggang Johnny.

Selama di jalan, tangan milik Johnny tak berhenti memegang hingga mengelus tangan milik Ten sedangkan tangan kanannya ia gunakan untuk menyetir.

Satu hal lainnya yang Ten sukai adalah Johnny yang menyetir dengan tangan satu sedangkan tangan lainnya tak lepas memegang tangannya layaknya Ten akan menghilang sepersekian detik.

“Di sini dari dulu macetnya ngga ilang ya,” Ucap Ten tiba-tiba karena mobil Johnny berhenti lagi karena macet.

Johnny tertawa, “Makanya kita beli rumah ngga deket daerah apart dulu. Macet banget Yang. Kasian abang sama dede nanti kalau kemana-mana kejebak macet juga. Untung Jaehyun rekomendasiin aku sama Yuta ke tempat daerah dia.”

Tadinya Johnny akan kembali mampir ketempat dimana dirinya berjuang jam dua malam alias tukang sate dekat apartemennya itu, tetapi terlalu macet jalan menuju tempat tersebut membuat Johnny dan Ten akhirnya langsung memilih menuju cafe tempat wajib keduanya dahulu yang tidak jauh dari kampus Ten.

Dulu, ketika Johnny menjemput Ten, Johnny akan selalu mengajak Ten ke cafe tersebut.

Dipikir, banyak sekali cerita di cafe ini. Bisa dibilang, cafe ini menjadi saksi bisu ketika hubungan keduanya sedang terancam.

Ketika Johnny dan Ten masuk ke dalam cafe, suasana jaman dulu ketika keduanya masih pacaran seperti menyapa.

Sangat nostalgia.

Setelah memesan minuman, Ten akan mencari tempat untuk keduanya duduk dan tak lain tak bukan berada di pojokan sedangkan Johnny menunggu pesanan keduanya selesai dibuatkan.

Tak lama menunggu, akhirnya Johnny datang sambil membawa pesanan keduanya. Hanya memesan minuman dan makanan ringan untuk keduanya.

Desain interior cafe ini memang sudah banyak sekali perombakan karena sudah berapa puluh tahun lalu jika dipikir lagi. Tetapi rasanya tetap sama seperti dulu.

“Dulu waktu kita sempet berantem hebat itu, di cafe ini bukan sih?” Tanya Ten tiba-tiba membuat Johnny terkekeh dan mengangguk.

Jika berantem di bioskop yang dibicarakan tadi hanya karena masalah sepele, beda dengan masalah yang membuat keduanya berantem di cafe ini.

Memang hubungan keduanya tidak berjalan mulus sejak awal sampai sekarang, hubungan keduanya benar benar naik turun kalau dipikir.

Bahkan berantem hebat yang dimaksud di cafe ini membuat keduanya sempat mengakhiri hubungan.

Ten tiba-tiba saja berfikir bagaimana kalau saat itu Johnny tidak mendatangi dirinya dan meminta maaf kemudian mengajak dirinya untuk deep talk ketika kepalanya sudah sama sama dingin.

Mungkin saat ini tidak ada Hendery dan Haechan. Tidak akan ada keluarga kecil nan hangat yang dibesarkan oleh Johnny dan Ten.

Hanya akan ada Johnny dan Ten, dengan hidupnya masing-masing.

Memang jika dipikir lagi, masalah tersebut hanyalah masalah sepele, tetapi saat itu keduanya sedang sama sama lelah dan berkepala panas. Satu masalah bisa jadi besar dan pembahasannya semakin melebar.

Kala itu Ten duluan lah yang memulai dan Johnny yang semakin marah dan memperlebar masalah. Bahkan sampai membuat Johnny meninggalkan Ten sendirian di cafe ini.

Beberapa minggu keduanya tidak berhubungan sama sekali dan di hari kedelapan Johnny tiba-tiba saja mendatangi Ten.

Ingatan tersebut muncul membuat Ten tiba-tiba tersenyum mengingat bagaimana wajah frustasi Johnny yang sebenarnya dirinya juga sudah tidak berbentuk. Keduanya sama sama sudah kehilangan arah, entah harus bagaimana.

Tetapi Johnny kembali, kembali ke dalam pelukan Ten, kembali merangkul Ten, kembali mengajak Ten untuk menyelesaikan masalah yang ada di antara keduanya.

“Makasih ya Jo,” Ucap Ten tiba-tiba membuat Johnny mengernyitkan dahinya bingung.

“Kalau aja waktu dulu kamu nggak berinisiatif datengin aku, kita nggak akan begini. Nggak akan ada Hendery, nggak akan ada Haechan.”

Johnny mengusap tangan milik Ten lalu menggenggam tangan tersebut, “Aku dulu sempet putus asa, aku mikir puter otak. Do i deserve you? Do we deserve more chance? Tapi setelah aku pikir lagi, waktu itu kamu lagi capek begitu juga dengan aku. Masalah kita berhenti tanpa ada penyelesaian apa apa. Putusnya kita waktu itu dipikir terlalu menggantung aku, aku kepikiran terus terusan. Dan sampailah aku dititik dimana aku mikir, kita bisa selesaikan masalah kita. Kita bisa ngobrol dan introspeksi kesalahan masing masing, kita butuh komunikasi satu sama lain. Kita bisa dapet kesempatan lagi. Hubungan kita belum usai.”

“Aku ngga sama sekali nyesel memilih untuk datengin kamu jam satu pagi waktu itu hujan hujan. Apa yang udah aku lakuin, hasil yang aku dapet seperti ini aku nggak nyesel sama sekali. Aku ngga nyesel udah dateng lagi ke kamu, aku ngga nyesel udah ajak kamu balik ke dalam pelukan aku waktu itu. Aku ngga akan pernah nyesel sama sekali di seumur hidup aku udah milih kamu, Ten.”

Mendengar ucapan Johnny membuat Ten tersenyum, Ten menyayangi Johnny lebih dari apapun di dunia ini.

“Terima kasih juga udah mau menerima ajakan aku waktu dulu, karena kalau dulu dari kamu sendiri ngga menanggapi ajakan aku, nggak akan ada kita di sini.” Lanjut Johnny, karena rasanya bukan hanya dirinya yang berjuang untuk mengembalikan hubungan keduanya, tetapi juga Ten.

Ten terkekeh, kencan keduanya kali ini rasanya seperti nostalgia masa masa dulu.

Cukup lama Johnny dan Ten menghabiskan waktu di cafe ini, dari keduanya yang bersedih sedih mengingat masa kelam keduanya di cafe ini sampai Ten tertawa hingga mengeluarkan air matanya akibat lelucon Johnny yang tidak ada habisnya itu.

Rasanya waktu waktu seperti ini tidak ingin cepat selesai.

Bahkan disaat seperti ini membuat Johnny dan Ten lupa waktu, lupa ponsel keduanya, dan lupa bahwa masih ada dua anaknya yang sedang menunggu di depan rumah karena sudah pulang dari kegiatannya dan tidak bawa kunci rumah ditambah Johnny dan Ten tidak menaruh kuncinya di pot seperti yang biasa dilakukan.


@roseschies

kenangan yang tercampur

Setelah beberapa jam perjalanan yang membuat pantat terasa pegal, akhirnya mobil milik Jaehyun terparkir rapih di tempat parkir yang disediakan oleh pihak Panti Asuhan.

Sebelumnya, tentu Jaehyun dan Taeyong sudah izin terlebih dahulu dengan pihak Panti Asuhan. Jaehyun dan Taeyong juga tidak kosong tangan datang ke sana, meskipun sebelumnya mereka sudah melakukan kegiatan yang tentu di dalamnya terdapat acara membagikan kebutuhan primer untuk Panti Asuhan, namun rasanya sangat tidak etis jika keduanya datang kembali membawa rombongan dengan tangan kosong.

Tidak banyak tapi menurut Jaehyun dan Taeyong barang yang mereka bawa sudah lebih dari cukup mengingat keduanya juga tahu ada berapa anak anak yang ada di Panti Asuhan saat ini.

Tentu, Johnny dan Yuta ikut berkontribusi lagi kali ini, bedanya mereka menggunakan uang pribadi bukan uang perusahaan seperti yang lalu.

Jaehyun dan Taeyong jalan terlebih dahulu, disusul dengan Mark dan Jeno lalu Lucas, Hendery, dan Haechan yang mengikut dibelakang.

Mark berhenti sebentar lalu mengeluarkan ponselnya untuk memotret bagian Panti Asuhan yang terlihat cantik juga adem. Mark tersenyum, setidaknya anak anak Panti Asuhan ini dirawat dengan benar benar jika melihat dari luar Panti Asuhannya saja sudah terlihat bersih.

Pihak Panti Asuhan mendatangi Jaehyun dan Taeyong kemudian mempersilahkan mereka untuk masuk ke dalam.

“Mark, sini sayang.” Panggil Taeyong lalu menarik Mark ke dalam rangkulannya sedangkan Jeno sudah di dalam rangkulan Jaehyun dan yang lain masih mengikut di belakang sambil melihat kanan kiri.

“Ini Minhyung, ya?” Tanya salah satu dari pihak Panti Asuhan yang seperti sudah bekerja sangat lama di sini lalu tersenyum ketika melihat Mark.

Mark tersenyum mendengar nama kecilnya dipanggil, rasanya asing tapi tidak seasing itu, hatinya terasa menghangat seketika mengingat masa kecilnya dulu yang suka dipanggil Minhyung.

Taeyong mengelus pelan pucuk kepala Mark, “Beliau salah satu pengurus Panti Asuhan yang masih di sini, salah satu yang masih bertahan dari sebelum Mark di sini.”

Mark mengangguk, ingatan kabur yang tiba-tiba datang secara abstrak ke dalam bayangannya membuat Mark kembali tersenyum.

“Dulu, Minhyung suka lari lari di taman belakang. Mungkin sekarang udah agak beda sih, tapi ada beberapa yang nggak di renovasi, mau liat liat?” Ucap sang pengurus sambil menunjuk taman belakang dan dijawab anggukan antusias dari Mark.

Berbeda dengan Mark yang terlihat antusias, Jeno terlihat sedikit takut juga murung, matanya hanya melihat kesana kemari.

“Haalooo akak gedeeee!!!” Ucap seorang anak kecil yang tiba-tiba memeluk kaki Lucas membuat Hendery tertawa karena Lucas dibilang gede. Ya tidak salah sih, memang Lucas seperti titan, sangat besar bahkan dibanding dirinya dan orang orang yang ada di sini.

Sang pengurus tertawa lalu menggendong anak kecil tersebut yang seperti terlihat penasaran dengan Lucas.

Lucas menyapa anak kecil tersebut, “Haloo, nama kamu siapa?”

“Aku Unaaa, Kakak gede siapa namanyaa? Ih, kakak yang sebelahnya juga gantengg. Haloo kakak gantengg hehehehe. Kakak yang disebelahnya lucuu, Una mau main sama Kakak yang ituu jugaaa.” Anak kecil yang memperkenalkan diri sebagai Una itu menunjuk Hendery sebagai kakak ganteng dan Haechan sebagai kakak lucu mengundang gelak tawa dari Jaehyun dan Taeyong.

“Hihihi Una senang banyak kakak gede dan ganteng ganteengg, Una mau main ya Bibii, bolehh?” Izin Una pada pengurus Panti Asuhan yang sedang menggendong Una dan diberi jawaban anggukan oleh pengurus tersebut.

“Boleh Una. Nanti Una boleh main, ajak temen temen Una yaa? Kita main bareng bareng nanti sama kakak kakak dan om omnya, okay?” Ucap si pengurus Panti Asuhan membuat Una menurut dan menganggukkan kepalanya lucu.

Hendery mendekatkan tubuhnya ke arah Haechan lalu membisikkan sesuatu tepat di kuping Haechan, “Mirip lu de waktu kecil.”

Haechan mengernyitkan dahinya bingung.

“Bawel.” lanjut Hendery lagi membuat Hendery dihadiahi sebuah tinju di lengannya dari Haechan.


Hendery, Haechan, Mark, dan Lucas sudah membaurkan diri dengan anak anak Panti Asuhan di taman belakang. Mereka bermain banyak permainan bersama sampai mengundang gelak tawa dari masing masing individu.

Lucas dan Hendery yang terus menerus mengeluarkan lelucon yang menurut anak kecil lucu hingga mereka tertawa terbahak-bahak sedangkan Mark dan Haechan bermain perosotan hingga ayunan, tentu anak anak yang bermain, Mark dan Haechan yang membantu anak anak tersebut.

Sedangkan Jeno sedang terduduk diam di kursi taman, beberapa kali anak Panti Asuhan mendekat kearah Jeno dengan memanggil dirinya dengan sebutan 'Kakak Ganteng Tiga', Jeno hanya tersenyum ramah lalu mencubit pipi anak anak tersebut dan bilang bahwa dirinya ingin duduk sebentar.

Taeyong yang baru saja selesai berbincang dengan pihak panti mendekatkan diri dengan Jeno lalu duduk di sebelah Jeno sedangkan Jaehyun mendekat ke arah Mark dan ikut bermain di sana.

“Kok ngga main Dek?” Tanya Taeyong sambil melihat Mark yang sedang tertawa melihat salah satu anak nyungsep sewaktu main perosotan membuat ekspresi panik tercetak di wajah Haechan yang sedang membantu di bagian perosotan.

Jeno diam dan hanya memandangi wajah ceria Kakaknya itu.

“Jeno takut.”

Taeyong menunggu anaknya itu melanjutkan kalimatnya sambil tetap melihat kearah Mark yang sekarang sedang membantu Haechan untuk membersihkan rumput yang menyisa di celana anak yang tadi jatuh itu.

“Takut, Kakak kayak udah nyaman di sini. Gimana kalau Kakak nggak mau ikut balik lagi Pi?”

Taeyong terkekeh, gemas sekali ia melihat Jeno yang biasa terlihat cuek tetapi kali ini Jeno terlihat khawatir dan takut dengan sang Kakak. Persis seperti waktu kejadian Mark kala itu.

“Dek kamu bacaan novelnya jangan dibawa sampai kesini Dek, yaampun Hahahaha.”

Taeyong melanjutkan pembicaraannya menjadi agak serius, “Papi tahu mungkin kamu bosen denger ini, tapi inget Dek, Kakak itu udah jadi Kakak satu satunya Adek. Adek itu satu satunya Adeknya Kakak. Nama Kak Mark bukan lagi Minhyung, tapi udah jadi Jung Mark, Kakaknya Jeno. Papi paham, Papi sama takutnya sama Adek, tapi Papi lebih tahu Kakak. Senyamannya Kakak di sini, Kakak lebih nyaman sama keluarga kita, Dek. Kakak nyaman sama Keluarga Jung. Kakak nggak akan ninggalin dan nggak akan pernah mau ninggalin Ayah, Papi, juga Jeno sebagai Adek satu-satunya Kakak.”

Jeno tersenyum mendengar ucapan yang dikeluarkan oleh Taeyong.

“Main gih. Kamu murung gitu yang ada nanti Kakak kamu mikir kamu ngga nyaman di sini dan nggak mau kalau Kakak datang ke sini.” Ucap Taeyong sambil mengelus pucuk kepala Jeno membuat Jeno mengangguk lalu menarik tangan Taeyong.

“Ayo, Papi main jugaa!”

Taeyong terkekeh, “Iya iyaa dek, ini Papi ikutaann.”

Mark yang sedaritadi diam diam melirik kearah Jeno dan Papinya langsung tersenyum lebar membuat Haechan yang berada di sebelahnya dengan tangan yang sedang menggandeng salah satu anak kecil langsung membuka mulutnya, “Kenapa, Kak?”

Mark menggelengkan kepalanya, “Gapapa chan.”

“Kakak seneng?”

Mark mengangguk, “Seneng. Makasih ya chan udah nemenin Kakak di sini.”

Haechan tersenyum lalu mengangguk, “Aku ikut seneng kalau Kakak seneng di sini. Makasih juga udah ngajak aku buat main di tempat yang dulu jadi tempat main Kakak waktu kecil. Aku jadi ngerasa lebih kenal deket sama sosok 'Minhyung' kecil, Hehehehe.”

Mark terkekeh, malu karena nama kecilnya keluar dari mulut Haechan.

“DOOORRR!! Berduaan ajeee lo berdua, tuh liat bocilnya udah narik narik tangan lo deee. Dunia ni bukan cuma ada lo berduaaaaaa.” Hendery tiba-tiba menyempilkan diri di antara Haechan dan Mark, menganggu kegiatan mereka berdua membuat Haechan mutar bola matanya malas.

“BABANG BISA GAK, GAK USAH RUSUH??????” Teriakan Haechan membuat Mark tertawa sedangkan Hendery kembali meledek Haechan lalu mengajak beberapa anak kecil untuk kejar kejaran dengan dirinya sebagai seseorang yang mengejar. Tentu Lucas menjadi provokator membuat anak anak lari terbirit birit ketakutan dikejar oleh Hendery.


@roseschies